Sekolah Impian cerdaskan anak pemulung di sudut kota Daeng

Syarifah Fitriani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sekolah Impian cerdaskan anak pemulung di sudut kota Daeng
Salah satu momen lucu yang sering ditemukan di sekolah ini adalah banyaknya siswa yang belum mandi demi mengikuti proses belajar

MAKASSAR, Indonesia — Jauh dari hiruk pikuk kota (Daeng) Makassar yang bising, puluhan anak usia 3 hingga 9 tahun tampak asik belajar membaca dan berhitung, kadang diselingi nyanyian riang dari mereka. 

Di atas bangunan bambu dan balok kayu seluas 5×6 meter itu, para anak pemulung menimba ilmu di Sekolah Impian-nya, seakan tak peduli dengan bau sampah dan pemukiman kumuh di sekitarnya.

Sekolah yang dibangun oleh tim Komunitas Rumah Dedikasi Indonesia (KRDI) Makassar di bawah naungan Yayasan Smart Home itu sudah berjalan sekitar lima bulan, sejak Juni lalu. Hingga kini memiliki 36 siswa Taman Kanak-kanak (TK) dan empat siswa bimbingan khusus yang merupakan siswa SD putus sekolah.

Saat mengunjungi sekolah tersebut, Rappler dijemput oleh pendiri Sekolah Impian yang juga merupakan ketua Yayasan Smart Home, Febriansyah. Maklum, posisi Sekolah Impian itu berlokasi jauh dari pusat kota, tepatnya di Jl Hertasning Baru, Kelurahan Kassi-Kassi, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Jalan menuju sekolah yang becek dan penuh sampah. Foto oleh Syarifah Fitriani/Rappler

Menempuh jalanan becek dan dikelilingi pemukiman kumuh sekitar dua menit, sampailah di Sekolah Impian tersebut. Fasilitas yang sangat minim, tak menyurutkan semangat para siswa untuk mengais ilmu yang diberikan gurunya.

“Semangat anak belajar di sini sangat besar, berbanding terbalik dengan siswa sekolah formal di luar sana. Awalnya kami dirikan sekolah ini karena suatu kebetulan saja,” kata Febri kepada Rappler, Kamis 23 November 2017.

Awalnya, kata dia, tim KRDI Makassar yang telah didirikan 2003 silam, membuat program Berbagi Makanan di Jumat Berkah kepada pemulung dan tukang becak. Pada awal 2017, tim pun secara tidak sengaja menjejakkan kakinya ke pemukiman kumuh itu.

“Di sana kami lihat banyak anak-anak yang bermain padahal saat itu jam sekolah. Kami pun bertanya kepada orang tua mereka, katanya mereka tidak punya biaya untuk menyekolahkan anaknya. Berawal dari itulah niat kami dimulai,” jelasnya.

Sementara itu salah salah satu orang tua siswa Kasriani Kinang, mengungkapkan, dirinya sangat bersyukur dengan adanya Sekolah Impian ini. Selain pendidikannya gratis dan tidak jauh, ilmu yang diberikan pun cepat diserap oleh anak-anak.

Ibu tiga anak ini juga mengaku sering mendampingi anak bungsunya, Karmila, saat belajar di sana. Layaknya pendidikan PAUD pada umumnya, siswa di sini juga diajarkan cara membaca, menulis, berhitung dan tilawah.

“Kelihatannya mereka (siswa) hanya main-main, tapi ternyata mereka menyerap semua yang diajarkan gurunya. Kami sangat terbantu dengan adanya sekolah Impian ini,” katanya sembari tersenyum.

Agar diakui oleh Pemerintah, sambung Febri, pihaknya sudah mengajukan proposal perizinan di Dinas Pendidikan Kota Makassar. Hingga saat ini, perizinan tersebut disambut baik oleh pihak pemerintah karena memenuhi dua poin dari 18 Revolusi Pendidikan yang digalakkan Walikota Makassar, Ramdhan Pomanto.

“Sekarang prosesnya sudah 80 persen, tinggal menunggu Nomor Induk Sekolah untuk Sekolah Impian ini. Semoga dilancarkan,” harapnya.

Tidak mandi demi belajar

Dengan segala keterbatasan, anak-anak Sekolah Impian tetap ceria. Foto oleh Syarifah Fitriani/Rappler

Banyak cerita lucu dan unik saat proses belajar di Sekolah Impian ini. Menurut Febriansyah, salah satu momen lucu yang sering ditemukan di sekolah ini adalah banyak siswa yang bahkan belum mandi demi mengikuti proses belajar.

“Suara saya kadang sampai serak kalau menegur siswa yang belum mandi. Ada juga yang belum mandi karena telat bangun,” candanya.

Maklum, di pemukiman tersebut, jarang ditemukan air bersih untuk mandi dan mencuci. Bahkan tak jarang, warga ditempat itu mandi atau mencuci dengan air kotor.

“Tapi untuk saat ini tidak apalah mereka seperti itu, sambil menunggu bangunan sekolah rampung pengerjaannya. Nanti kalau bangunan sekolah sudah jadi, kebersihan akan diutamakan,” lanjut Febri.

Di belakang tempat belajar siswa, memang tampak sebuah bangunan kayu yang belum rampung dibangun. Bangunan tersebut merupakan bantuan para donatur yang berbelas kasih demi mewujudkan impian anak pemulung. 

Bahkan tanah yang mereka tempati pun merupakan tanah Wakaf dari seorang dermawan. Di atas tanah nantinya, juga akan dibangun sebuah musala dan bangunan sekolah yang terbuat dari kayu.

“Kami tidak ingin meminta-minta, tapi jika ada donatur yang ingin menyumbang untuk kelangsungan sekolah ini, kami sangat berterima kasih. Kami memang sangat membutuhkan donatur, tapi kami tidak akan meminta,” ujarnya.

Digaji seikhlasnya

Untuk memenuhi impian anak pemulung dalam mengenyam pendidikan, tim Komunitas Rumah Dedikasi Indonesia (KRDI) Makassar, butuh kerja yang ekstra. 

Bermodalkan kepedulian dan dedikasi yang tinggi, mereka pun mendirikan sebuah yayasan pendidikan yang digunakan untuk keperluan legalitas dan menawarkan les privat kepada masyarakat luas.

Les Privat ini ditawarkan dengan harga yang murah jika dibandingkan dengan jasa les privat lainnya. Semuanya dilakukan Tim KRDI, agar Sekolah Impian tetap beroperasi tanpa kendala.

“Ini bukan bisnis, hasil les privat ini nantinya kami kumpulkan dan kami bagi, antara lain untuk gaji guru di Sekolah Impian dan untuk keperluan siswa kami di sana,” kata Febriansyah.

Meski digaji seikhlasnya, empat tenaga pendidik Sekolah Impian tidak pernah mengeluh, bahkan tetap semangat mengajar anak pemulung di pemukiman kumuh itu. 

Keempat tenaga pendidik itu antara lain Dian Hardiyanti Ilyas yang alumni Universitas Negeri Makassar (UNM), Nurfatih alumni Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, serta Indri dan Eva yang merupakan alumni Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar.

Kedepannya, Tim KRDI Makassar akan kembali membuka Sekolah Impian anak pemulung di dua lokasi di Makassar. Namun Febri menjelaskan, untuk membuka sekolah lainnya, pihaknya akan mencari tenaga pengajar yang memiliki dedikasi tinggi tanpa melihat jumlah gaji yang diberikan.

“Kami mencari yang betul-betul ingin fokus mencerdaskan adik-adik pemulung tanpa melihat jumlah gaji. Tapi kami fokus dulu agar yang di sini berkembang, karena saya ingin Sekolah Impian ini bisa berkembang lebih besar lagi,” katanya. —Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!