Strategi pemerintah cegah paham radikal: Bangun dialog di kampus

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Strategi pemerintah cegah paham radikal: Bangun dialog di kampus
Para ekstrimis muda kini muncul dari kampus

SOLO, Indonesia – Bahrun Naim hingga kini masih menjadi orang yang paling dicari polisi terkait serangkaian aksi terorisme di Indonesia, mulai dari bom Thamrin awal 2016, bom Polresta Solo, hingga bom panci Bekasi. Tak disangka, nama Bahrun Naim masuk dalam ‘notable alumni’ Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.


Ketikkan kata ‘UNS’ di halaman Google dan lihat hasil pencarian di urutan teratas. Selain Rektor Ravik Karsidi, komedian stand up Dodit Mulyanto, presenter berita Rory Asyari, dan putri presiden Kahiyang Ayu, terdapat nama Bahrun Naim dalam deretan alumni paling terkenal.

Pihak rektorat pernah memberikan keterangan yang mengakui Bahrun Naim sebagai lulusan UNS dan pernah belajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, tetapi mereka menepis anggapan bahwa universitas itu mencetak seorang ekstremis mengingat apa yang dilakukan alumni merupakan tanggung jawab pribadi dan tak terkait dengan UNS sebagai almamaternya.

Masuknya Bahrun Naim dalam daftar teroris nomor wahid terlanjur menjadi setitik nila dalam sebelanga susu–kecil tetapi merusak–di tengah ambisi keras UNS membangun citranya sebagai universitas berkelas dunia. Satu orang alumni teroris seakan mengalahkan ratusan lainnya yang berprestasi.

Munculnya para pelaku teror dari kalangan terdidik tak hanya terjadi di UNS, tetapi juga di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Dua orang mahasiswanya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Nur Solihin (drop out) dan Khafid (semester IX) terlibat dalam kasus bom panci di Bekasi akhir tahun 2016 lalu.

Penangkapan kedua orang yang diduga jaringan Bahrun Naim itu sempat mengagetkan publik. Karena, kelompok ini merencanakan bom bunuh diri dengan ‘pengantin’ seorang wanita, yakni Dian Yulia Novi yang tak lain adalah istri kedua Nur Solihin yang baru dinikahi tiga bulan sebelumnya secara siri.

IAIN, kampus di bawah Kementerian Agama yang  punya sejarah sebagai pencetak cendekiawan Islam kenyataannya juga menjadi tempat baru untuk merekrut pelaku teror. Pihak kampus membantah radikalisme merupakan produk kurikulum pendidikan Islam di universitas.

Jika menengok sejarahnya, IAIN atau UIN memang dikenal sebagai kampus yang melestarikan pemikiran Islam moderat dan toleran. Di universitas yang kebanyakan mahasiswanya merupakan lulusan madrasah aliyah ini tidak menganut model indoktrinasi dalam pengajaran.

Tak sedikit mahasiswa dan lulusannya yang justru menjadi lebih liberal dan terbuka pada gagasan lain di luar Islam, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan gender. Di Yogyakarta, misalnya, UIN Sunan Kalijaga pernah menggelar pemutaran dan diskusi film Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer meski sempat diwarnai demonstrasi ormas anti-komunis di luar kampus.

Bahrun Naim, Nur Solihin, dan Khafid adalah sedikit contoh dari banyak kasus radikalisme yang lahir dari kalangan terdidik. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat tak kurang dari 21 persen pelaku tindak terorisme pernah belajar di perguruan tinggi–sekitar 5 persen di antaranya putus kuliah.

Muncul dari kampus

Munculnya para ekstremis muda dari kampus negeri ini menjadi tren baru bahwa pelaku teror tak lagi didominasi oleh pesantren radikal dan organisasi Islam fundamental yang menganut paham anti-taghut dan terinspirasi gerakan ‘jihad’ ala Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Teroris kini juga berasal dari universitas yang kental dengan tradisi berpikir kritis.

Karenanya, upaya deradikalisasi BNPT tak lagi hanya berfokus di pesantren dan lapas teroris, tetapi juga lebih proaktif melakukan pencegahan ke perguruan tinggi negeri dan swasta. Salah satunya, lembaga anti terorisme itu merangkul lembaga dakwah kampus serta masjid di lingkungan fakultas dan universitas untuk ikut terlibat dalam menangkal pemikiran radikal.

“Kami mengajak lembaga dakwah kampus untuk aktif mengawasi dan mencegah jika ada kecenderungan radikalisme, misalnya pengajian yang mengarah pada penyebaran paham kekerasan atau kebencian di masjid kampus atau di fakultas-fakultas,” ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen (Pol) Hamli kepada Rappler di Solo beberapa waktu lalu.

“Mereka yang lebih tahu sehari-hari yang terjadi di kampus. Kalau sudah ada yang mengkafir-kafirkan temannya atau negara, itu patut diwaspadai,” katanya lagi.

Untuk meyakinkan tentang bahaya esktrimisme yang menyusup ke dalam kampus, BNPT juga mendatangkan Mustafa alias Abu Thalut–mantan narapidana terorisme dalam kasus bom Hotel Marriot 2002 yang kini sudah bertobat. Ia sering dilibatkan BNPT untuk berbicara mengenai terorisme. Abu Thalut menyampaikan pandangannya tentang potensi lembaga pendidikan tinggi sebagai tempat perkembangan ideologi radikal.

UNS sebenarnya termasuk salah satu kampus negeri yang serius berupaya menjaga keragaman dan toleransi di antara civitas akademis, terutama para mahasiswanya yang punya latar belakang beragam. Perguruan tinggi ini merupakan satu-satunya di Indonesia yang memiliki empat bangunan ibadah dalam satu komplek, yakni masjid, gereja, pura, dan vihara, yang semuanya berdiri berdampingan.

“Kalau UGM disebut kampus Pancasila, UNS adalah bentengnya Pancasila. Semua agama punya tempat ibadah di dalam kampus, saling berdekatan, untuk menjamin kebebasan beragama dan mengajarkan praktik toleransi,” kata Wakil Rektor III Darsono.

Bahkan, kebebasan berpakaian sesuai keyakinan pun dijamin di kampus ini. Belum lama ini, rektor UNS mencabut surat edaran dekan Fakultas Pertanian yang memicu polemik karena mewajibkan setiap mahasiswa berpakaian pantas dan terlihat wajahnya–aturan yang membuat mahasiswi muslimah bercadar keberatan.

“Selain itu, mahasiswa harus disibukkan dengan banyak kegiatan di kampus yang memungkinkan mereka bergaul dengan kelompok yang beragam,” kata Darsono.

Universitas ini juga mendukung sikap pemerintah yang membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan mengeluarkan larangan kegiatan mahasiswa yang terindikasi terkait dengan ideologi yang dilarang oleh pemerintah, yaitu khilafah dan komunis.

Sementara, IAIN Surakarta yang lebih terbuka terhadap beragam mahzab dan pemikiran, memilih lebih banyak mengedepankan dialog sebagai upaya untuk meredam munculnya bibit radikalisme di kampus. Melalui tradisi dialog dan diskusi yang kuat, mahasiswa diharapkan memiliki pandangan yang lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan.

Kampus yang berlokasi di Kartasura ini pernah bekerja sama dengan Kedutaan Iran untuk membuka Iran Corner di kampus. Namun, rencana itu urung setelah diprotes dan dibubarkan massa ormas anti-Syiah yang menuduh Iran Corner akan menjadi tempat penyebaran ajaran Syiah yang difatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.

Pertengahan tahun lalu, Dewan Mahasiswa IAIN Surakarta juga kembali menggelar diskusi dan bedah buku Islam Tuhan Islam Manusia yang menghadirkan penulisnya, Haidar Bagir. Ormas anti-Syiah–yang perwakilannya menolak hadir sebagai pembicara dan penyeimbang diskusi–menuding penulis buku sebagai tokoh Syiah Indonesia, sehingga mereka memaksa agar diskusi dibatalkan. Namun bedah buku tetap berjalan dan dipadati ratusan mahasiswa karena dikawal polisi dan tentara yang sudah berjaga sejak pagi buta.

“Kami selalu berupaya membuat kampus sebagai ruang dialog yang terbuka untuk beragam pemikiran Islam, sehingga mahasiswa belajar berpikir kritis dan tidak terjebak pada konsep tafsir tunggal terhadap agama,” ujar Rektor IAIN Mudofir.

Upaya meredam radikalisme juga dilakukan dengan memberi dukungan pada gerakan Ayo Mondok. IAIN Surakarta menjadi tuan rumah Silaturahmi Daerah Pesantren di Jawa Tengah dan Yogyakarta Oktober lalu. Kampus ini ikut mempromosikan pesantren sebagai tempat pendidikan Islam moderat yang ikut berperan menanamkan rasa cinta tanah air sebagai proteksi terhadap radikalisme.

Disebar melalui dunia maya

BUBARKAN DENSUS 88. Beberapa ormas Islam mendesak agar Densus 88 Anti Teror dibubarkan. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Namun benarkah upaya dari mengajarkan toleransi hingga membuka ruang dialog ini efektif menekan bibit radikalisme?

Menurut mantan napi terorisme kasus pelatihan militer di Aceh Yudi Zulfahri, yang juga merupakan alumni Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), efektifitas deradikalisasi bergantung pada banyak faktor, salah satunya sejauh mana upaya tersebut bisa memengaruhi cara berpikir, karena radikalisme sangat terkait dengan ideologi.

Selain itu, radikalisme saat ini lebih banyak disebarkan melalui dunia maya, sebagaimana pengalaman dirinya yang meyakini ideologi radikal setelah belajar dan menelan mentah-mentah apa yang ia pelajari di internet. Mantan tahanan yang divonis lima tahun penjara itu baru sadar apa yang diyakininya–ideologi Islam dengan kekerasan–itu keliru setelah bertemu terpidana bom Bali Ali Imron dan berdiskusi soal Islam dan jihad selama dua tahun.

Namun, Yudi menganggap deradikalisasi di kalangan anak-anak muda tetap perlu, setidaknya untuk mencegah penyebaran langsung di kampus-kampus. Sementara, pemerintah harus mencari pendekatan lain untuk membuat para penganut ideologi kekerasan sadar dan mau berubah. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!