13 tahun tsunami Aceh: Seuntai doa di pusara tak bernisan

Habil Razali

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

13 tahun tsunami Aceh: Seuntai doa di pusara tak bernisan
Sampai saat ini Narliani masih belum berani melihat laut

BANDA ACEH, Indonesia – Narliani tak henti-henti meneteskan air mata. Sesekali ia menyeka kedua matanya dengan sapu tangan kuning sementara mulutnya terus melafalkan Surah Yasin.

Perempuan 54 tahun itu tidak sendiri. Bersama ratusan warga lainnya, ia menziarahi kuburan massal korban tsunami Aceh di Ulee Lheue, Banda Aceh, Selasa 26 Desember 2017. 

Ziarah itu dilaksanakan untuk mengenang 13 tahun bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh. Saban tanggal 26 Desember, para keluarga korban mendatangi sejumlah kuburan massal untuk mendoakan korban yang meninggal akibat digulung gelombang tsunami tahun 2004. Tidak hanya di Ulee Lheue, kuburan massal di Desa Siron, Aceh Besar juga ramai diziarahi warga.

“Lima dari tujuh saudara kandung saya hilang ditelan tsunami, saya tidak menemukan jasad mereka,” tutur Narliani memulai perbincangan dengan Rappler. Ia duduk di dekat sebuah batu besar di atas gundukan tanah kuburan. “Sekarang tinggal saya berdua sama kakak.” 

“Mamak Mira juga diambil tsunami,” katanya sambil menunjuk ke arah keponakan di sampingnya. Saat itu, dia tinggal di Geuceu Meunara. Rumahnya jauh dari laut, sehingga tidak terkena air tsunami.

Minggu pagi, 26 Desember 2004 lalu, Narliani sedang berkemas hendak ke rumah saudara kandungnya di Ulee Lheue. Wilayah Ulee Lheue berada di dekat pantai yang berbatasan langsung dengan laut. “Memang setiap hari Minggu kami keluarga berkumpul di sana,” kisahnya.

Belum sempat dia berangkat, gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter menggoyang tanah Aceh. Ia bersama keluarga panik, lalu keluar ke halaman depan rumah. Di rumahnya turut tinggal sejumlah keponakannya asal Kabupaten Aceh Jaya.

Setelah gempa berhenti, ia sempat menyuruh salah satu anaknya untuk mengisi angin ban motornya yang kempes. Rencananya, motor itu akan ia kendarai menuju ke rumah keluarganya di Ulee Lheue.

“Tidak sempat mengisi angin ban motor, anak saya balik lagi ketika mendengar teriakan orang yang berlarian di jalan. Air laut naik, air laut naik,” kenang Narliani. “Saya tidak percaya air laut naik. “Cuaca cerah, hujan tidak ada, kenapa air laut bisa naik. Saya tidak menyangka,” ujarnya. Air mata terus berlinang. Keponakan di sampingnya mencoba memeluk ‘bunda’nya. “Orang lain yang berlarian bilang, Ulee Lheue sudah jadi laut. Tidak ada yang tersisa.”

Keluarga besar Narliani tinggal di Ulee Lheue dan Kabupaten Aceh Jaya. Ia saat itu tidak bisa menghubungi keluarga yang di Aceh Jaya. Tiga hari setelah tsunami, ia baru dapat kabar keluarganya di sana. “Di sana ternyata lebih parah, semua keluarga saya meninggal, yang selamat hanya anak pertama saya ‘si abang’,” cerita Narliani.

Anak pertamanya saat bertemu dengan Narliani bercerita kisah dramatis sehingga ia selamat. Anaknya itu sempat dibawa arus gelombang tsunami dan tersangkut di atas pohon selama enam hari. 

“Mi, gelombang pertama tsunami airnya sangat panas, kedua dan ketiga saya sudah terhempas ke atas sebatang pohon,” kata Narliani menirukan apa yang diucapkan anaknya.

Hampir sama dengan Narliani, Rasyidah terus berlinang air mata saat menceritakan kembali kejadian pahit akibat bencana tsunami. Perempuan asal Desa Blang Oi ini sedikit beruntung, saat tsunami terjadi ia tidak sedang di rumah.  Rumahnya hanya terpaut sekitar satu kilometer dari laut.

Namun, kakak, abang, dan keponakannya hilang ditelan ombak. Mereka saat itu tinggal di rumah Rasyidah yang dihempas tsunami. “Ada 10 orang keluarga dekat yang di rumah, semuanya meninggal dan saya tidak menemukan jasadnya,” tutur Rasyidah.

Usai tsunami, Rasyidah pulang melihat rumahnya di Blang Oi. “Saya pulang semuanya sudah rata, habis semua,” katanya dengan tangis terisak. Kini, kuburan massal salah satu tempatnya melepas rindu atas keluarganya lewat seuntai doa. Semoga keluarganya tenang di alam sana.

Tidak hanya muslim, doa untuk korban tsunami juga dilakukan oleh Mimi, 48 tahun. Tetapi, perempuan Tionghoa ini memilih menabur bunga di jembatan Ulee Lheue. Usai menabur bunga ke laut, ia melafalkan doa-doa untuk keluarganya.

Mimi mengenang keluarganya yang menjadi korban tsunami dengan cara melempar bunga ke laut. Foto oleh Habil Razali/Rappler

“Keluarga saya 12 orang, sekarang tinggal saya berdua dengan adik,” kata Mimi. Saat tsunami terjadi, ia sedang berjualan di sebuah toko di Keudah. Mimi bercerita, dirinya sempat digulung ombak. Beruntung, ia tidak senasib dengan sepuluh keluarganya lain yang tidak ditemukan jasadnya.

Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman mengatakan pihaknya akan mempersiapkan berbagai jalur evakuasi sehingga lebih mudah menyelamatkan diri ketika bencana terjadi. Selain itu, di Banda Aceh juga telah dibangun sejumlah escape building (bangunan untuk evakuasi).

Aminullah juga mengajak warga Aceh untuk bangkit. Ia mengajak warga untuk melihat dan membantu orang-orang yang masih lemah dan masih membutuhkan perhatian dan dorongan. “Agar kita lebih bangkit menuju kota yang gemilang,” kata Aminullah.

Narliani masih bersimpuh. Perasaan trauma mendalam masih ia alami. Setelah bencana tsunami, ia tidak sanggup melihat laut. Baginya, laut ialah maut yang menelan keluarga besarnya. “Sudah 13 tahun saya tidak lagi ke laut, saya masih trauma berat.”

Sementara, Rasyidah terus berusaha tegar. Namun ia tidak melihat laut dengan wajah menakutkan. Semuanya sudah berlalu, Rasyidah dan ratusan warga lainnya memang harus terus bangkit.

Sedangkan Mimi, memulai kembali dari nol usaha jualannya di Peunayong, Banda Aceh. Baginya, tidak ada lagi yang dapat diharapkan selain kembali menjalani hidup seperti selayaknya. Ia tidak pernah takut melihat laut.

Bencana gempa dan tsunami melanda Aceh, pada Minggu 26 Desember 2004, sekira pukul 08:15 WIB. Sebanyak 200.000 jiwa warga Aceh tewas ditelan ombak dengan puncak tertingginya mencapai 30 meter. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!