Suka duka jurnalis 2017: Dari korban kekerasan hingga terkena PHK

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Suka duka jurnalis 2017: Dari korban kekerasan hingga terkena PHK
Aji menghitung ada 671 jurnalis dari 10 perusahaan media dipecat sepanjang 2017

YOGYAKARTA, Indonesia – Indeks Kebebasan Pers di Indonesia terus mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Reporter Sans Frontieres mencatat Indonesia tahun ini berada di peringkat 124 dari 180 negara. 

Terus melorotnya indeks kebebasan pers di Indonesia antara lain karena masih adanya sejumlah aturan yang bisa memidanakan kebebasan berkespresi. 

“Karena kita memberi ruang pada pemerintah untuk memblokir situs tanpa melalui peradilan. Itu sama dengan memberikan cek kosong pada pemerintah untuk melakukan tindakan tidak demokratis,” kata kata Ketua AJI Indonesia Abdul Manan, Rabu 27 Desember 2017

Undang-undang tersebut antara lain terdapat dalam KUHP, Undang-Undang Intelijen, Undang-undang Pornografi, serta Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Selain ancaman pidana, para jurnalis juga dibayangi ancaman kekerasan sepanjang tahun ini. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menghitung ada sekitar 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi sepanjang 2017. Ironisnya, sebagian kekerasan terhadap jurnalis justru dilakukan oleh warga.

AJI menyebutkan fenomena kekerasan yang dilakukan warga kepada jurnalis telah muncul sejak tiga tahun terakhir. Pelakunya sebagian besar adalah kelompok jalanan. “Sejak tahun 2016 ada sekitar 3 kasus. kekerasan juga terjadi ketika meliput 212, karena dianggap beritanya tidak berpihak pada kelompok intoleran itu,” kata Abdul Manan. 

Puluhan kasus kekerasan itu terdiri dari ancaman kekerasan atau terror sebanyak 6 kasus, kekerasan fisik 30 kasus, mobilisasi massa atau penyerangan kantor redaksi 1 kasus, pemidanaan atau kriminalisasi sebanyak 5 kasus, pengusiran atau pelarangan liputan 13 kasus dan perusakan alat atau data hasil liputan sebanyak 7 kasus. 

Pelaku kekerasan terbanyak oleh warga terdapat 17 kasus, polisi sebanyak 15 kasus dan pemerintah atau eksekutif sebanyak 7 kasus.

Selain kekerasan oleh kelompok jalanan, para jurnalis juga menghadapi kekerasan dalam bentuk lain, yakni intervensi politik yang dilakukan oleh medianya sendiri. Karena kepentingan pemilik media. “Wartawan membuat liputan tapi kemudian tidak dimuat. Ini yang happening sekarang,” kata pengajar kebijakan media Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Masduki. 

Masduki mencontohkan kasus penggusuran warga dalam pembangunan Bandara Kulon Progo. Dalam kasus tersebut banyak wartawan tak bisa meliput Kulon Progo secara kritis karena hubungan media dengan penguasa. 

“Media mungkin memberikan reward pada reporter tertentu tetapi kemudian menempatkan reporter kritis pada posisi yang berbeda,” katanya.

Kekerasan jenis ini, menurutnya, berbahaya karena selain mengancam keselamatan jurnalis di lapangan, juga mengancam peran kontrol sosial sebagai fungsi utama media massa. 

“Secara bisnis medianya berjalan, wartawan masih gajian dan yang lainnya juga. Tetapi pertanyaanya fungsi sosialnya sejauh mana. Memang kekerasan struktural itu bisa jadi wartawannya sendiri tidak merasa karena begitu canggihnya dan terstrukturnya kekerasan ini,” kata Masduki.

Persoalan lain yang dihadapi jurnalis selain pemidanaan dan kekerasan adalah pemecatan. Aji menghitung ada 671 jurnalis dari 10 perusahaan media dipecat sepanjang 2017. 

Di balik ancaman-ancaman tersebut, Aji menilai para jurnalis tetap harus mempertahankan dan meningkatkan profesionalitas mereka. Sebab, sepanjang tahun ini Dewan Pers menerima 600 aduan dari masyarakat tentang kinerja jurnalis.

Sebanyak 600 aduan yang diterima Dewan Pers tersebut antaralain berisi pengaduan terhadap berita yang tidak berimbang, berita yang menghakimi, berita keliru dan berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Dewan Pers harus lebih aktif

Dewan Pers seharusnya bisa bertindak lebih dari sekedar mediator kelompok yang sedang bersengketa. Dewan Pers, misalnya, bisa mengambil peran aktif sebagai advokat  untuk membela jurnalis atau media yang melakukan tugasnya dengan benar atau menindak media abal-abal. 

“Saat ini undang-undang yang ada belum memungkinkan. Tetapi di beberapa negara, di Skandinavia, peran institusi seperti Dewan Pers bukan lagi hanya memediasi tetapi juga mengambil sikap, mengadvokasi dan membela jurnalis atau media yang melakukan kegiatan yang benar,” katanya.

Selain itu, peran organisasi profesi pers juga penting untuk meningkatkan profesionalitas terutama pada tingkat individu jurnalisnya. Organisasi tersebut tidak harus memiliki massa yang besar, namun memiliki fungsi kontrol sosial, meningkatkan kapasitas jurnalisnya, merespon isu publik serta memberikan perlindungan atau advokasi. 

“Organisasi membangun kapasitas diri sebagai institusi serta individunya serta keluar merespon isu publik, seperti kebebasan berekspresi salah satunya,” kata Masduki. Sejumlah organisasi profesi di media selain AJI di antaranya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Pewarta Foto Indonesia (PFI). —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!