Larang warga etnis Tionghoa punya tanah, Sri Sultan digugat ke pengadilan

Anang Zakaria

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Larang warga etnis Tionghoa punya tanah, Sri Sultan digugat ke pengadilan
"Kalau negara ikut-ikutan berwatak rasis, itu yang tidak benar," kata Handoko

YOGYAKARTA, Indonesia – Handoko, seorang pengacara muda di Yogyakarta, menggugat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dengan tudingan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Lelaki berusia 35 tahun itu gerah karena pemerintah DIY melarang warga keturunan Tionghoa memiliki tanah.

Pangkal masalah datang dari instruksi Wakil Kepala Derah DIY pada 5 Maret 1975. Dalam surat bernomor K.898/I/A/1975 itu pemerintah DIY mengatur proses pelepasan hak atas tanah bagi warga non pribumi.

“Kebijakan itu berlaku internal dan tak bisa berlaku luas (di luar pemerintah daerah),” kata Handoko, Sabtu 20 Januari.

Meski terbatas bagi pegawai dan pemerintahan di bawahnya, Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah DIY juga menjadikan surat instruksi itu sebagai acuan penerbitan hak milik tanah warga beretnis Tionghoa. Sehingga, dalam gugatan yang dilayangkan ke PN Yogyakarta September 2017 lalu, Handoko sekaligus menjadikan Kepala BPN DIY sebagai tergugat selain Gubernur DIY.

Dosen Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Ni’matul Huda, ahli tata negara yang diajukan Handoko dalam persidangan Kamis 4 Januari, mengatakan kepala daerah bukan pejabat yang berwenang menentukan kepemilikan tanah bagi warganegara.

“Itu bukan ranah dia,” katanya.

Sertifikasi tanah, tutur Handoko, menjadi wewenang BPN. Di daerah, BPN Wilayah hanya tunduk pada BPN Pusat dan tak terikat pemerintah daerah. Hubungannya dengan pemerintah daerah sebatas koordinasi. Secara kelembagaan pun tak terikat dengan aturan kepala daerah.

“Kalau BPN melakukan itu (mengikuti aturan gubernur) berarti BPN mencampuradukkan kewenangan,” katanya.

Sayangnya di Yogyakarta, teori itu tak terjadi dalam praktik. Dalam satu penelitian tentang pertanahan di DIY beberapa tahun lalu, ia mendapati kuatnya unsur ewuh pakewuh pada Sultan. Selain menjabat gubernur, Sultan adalah raja keraton Yogyakarta.

Dalam khazanah undang-undang di Indonesia surat instruksi kepala daerah itu juga tak memiliki pijakan hukum. Ketika diterbitkan tahun 1975, sesuai ketetapan MPRS (No.XX/1966), instruksi adalah bagian peraturan perundang-undangan.

Tapi kini ketetapan itu tak berlaku. Sehingga surat instruksi tahun 1975 harus dipahami sebagai kebijakan.

Menurut dia, eksekutif bisa menerbitkan kebijakan asal tak mengabaikan keadilan. Diskriminasi diperbolehkan asal bersifat positif dan tak melanggar undang-undang. Contohnya kuota 30 persen perempuan di parlemen.

Di DIY, diskriminasi sejatinya juga berlaku di pemerintahan. Kepala daerah tak dipilih melalui pemilu. Raja Yogyakarta dan Adipati Pakualaman secara otomatis ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur.

“Tapi instruksi (tahun 1975) itu diskriminsi yang negatif,” katanya.

Anggota Parampara Praja Suyitno, saat memberikan kesaksian di persidangan 9 Januari, mengatakan penerbitan instruksi dilatarbelakangi niat melindungi kondisi ekonomi Bangsa Indonesia dari para pemodal besar. Parampara Praja adalah lembaga bentukan pemerintah DIY dan bertugas memberikan pertimbangan pada gubernur.

“Untuk mengentaskan kemiskinan di DIY,” kata lelaki yang mengaku menjadi dosen luar biasa di Fakultas Hukum UGM itu.

Meski secara yuridis bertentangan, ia mengatakan, penerapan instruksi itu masih relevan. Musababnya, kemiskinan masih tinggi, kesenjangan ekonomi juga masih luas. Bahkan, DIY tercatat sebagai daerah dengan kemiskinan tertinggi di Jawa dengan rasio gini yang besar.

Tapi, ia meyakini suatu saat nanti gubernur pasti mencabut surat instruksi itu. Saat tak ada lagi kesenjangan ekonomi, kesejateraan merata di DIY, kebijakan itu tak lagi relevan.

Ya mudah-mudahan lima tahun lagi,” katanya.

Menurut dia, perubahan selalu butuh waktu. Tak semudah membalik telapak tangan.

“Mohon sabar ya, nanti kalau setelah lima tahun kesenjangan masih tajam ya diteruskan lagi.”

Negara jangan rasis

JANGAN RASIS. Pengacara muda, Handoko, menggugat BPN dan Sri Sultan Hamengkubowono X karena negara dianggap bersikap rasis dengan tidak membiarkan warga Tionghoa memiliki tanah. Foto oleh Anang Zakaria/Rappler

 

Ini langkah hukum ketiga bagi Handoko untuk mencari keadilan. Pada 2015, lelaki kelahiran Yogyakarta tahun 1983 itu pernah mengajukan uji materi tahun 1975 ke Mahkamah Agung. Permohonannya ditolak karena surat instruksi Wakil Kepala Derah DIY tahun 1975 dinyatakan tak termasuk peraturan perundang-undangan.

Gagal di Mahkamah Agung, ia melangkah ke Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta pada 2016. Lagi-lagi, usahanya kandas.

PTUN Yogyakarta tak dapat menerima dengan pertimbangan tak berwenang mengadili. Surat instruksi 1975 itu bukan keputusan tata usaha negara maupun keputusan administrasi pemerintahan.

“Bukan peraturan perundang-undangan, bukan diskresi tapi kenapa masih berlaku,” kata Handoko mengaku heran.

Bagi dia, gagal bukan berarti kalah. Kandasnya dua gugatan yang ia layangkan, justru membuat posisi hukum surat instruksi itu terang benderang. Dalih penolakan MA dan PTUN menjadi amunisi bagi Handoko untuk mengajukan gugatan ke PN Yogyakarta. Ia menyimpulkan, Gubernur dan Kepala BPN melakukan perbuatan melawan hukum.

Ia mengatakan tak sekadar mencari kemenangan untuk gugatannya.

“Saya mencari keadilan,” kata dia.

Menempuh pendidikan S1 Hukum di Universitas Parahyangan Bandung, Handoko melanjutkan S2 di Universitas Diponegoro dan Universitas Soegijapranata Semarang. Sejak masa kuliah, ia banyak mendengar adanya surat instruksi yang mendiskriminasi warga beretnis Tionghoa itu.

Ketika membuka kantor pengacara di Yogya pada 2014, ia melihat sendiri diskrimanasi rasial itu berlaku.

Handoko adalah lelaki keturunan Tionghoa. Kakek buyutnya bernama Han, tapi ia tak pernah tahu detilnya. Mungkin itu pula ada Han di namanya kendati Handoko merupakan nama Jawa.

Bagi dia, kaya atau miskin bukan perkara etnis. Banyak orang Tionghoa kaya raya tapi tak sedikit yang miskin papa. Itu ada di mana-mana.

Juga watak rasis, yang selalu ada di tiap lapisan masyarakat. Apa pun etnisnya.

 “Tapi kalau negara ikut-ikutan berwatak rasis itu yang tidak benar,” katanya. – Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!