Kesaksian Hersri Setiawan: Tragedi 1965 membuatku kehilangan separuh paru-paru

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kesaksian Hersri Setiawan: Tragedi 1965 membuatku kehilangan separuh paru-paru
Ia tetap menagih negara meminta maaf atas peristiwa kelam itu

SEMARANG, Indonesia — Hersri Setiawan duduk terdiam di bangku deretan depan Ruang Teater Thomas Aquinas, Unika Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah, pada Selasa, 27 September 2016.

Ingatannya kembali terkantuk pada peristiwa 1965 silam saat ikut menyaksikan pemutaran film Pulau Buru: Tanah Air Beta di kampus katolik tersebut. Hersri menjadi tokoh sentral dalam dokumenter tentang salah satu babak terkelam sejarah Indonesia itu.

Ia masih mengingat jelas pernah dikejar-kejar segerombolan tentara di Jakarta. Ia tahu bagaimana perawakan tentara yang mengejarnya selama empat tahun sebelum akhirnya tertangkap dan dibuang ke Pulau Buru.

“Saya ditangkap saat pulang merantau dari Sri Lanka. Saat itu, saya sempat diuber-uber sebelum akhirnya ditangkap tanpa diadili,” kata Hersri kepada Rappler.

(BACA: Bekas tahanan politik Pulau Buru terima penghargaan HAM dari UGM)

Ia mengaku sangat kecewa dan marah lantaran ditangkap tanpa diadili atas tuduhan apapun. Padahal, kala itu ia merupakan satu-satunya anak bangsa yang dikirim bekerja jadi biro pengarang di Sri Lanka. Sebuah kebanggaan disandingkan dengan sastrawan dari wakil negara-negara Asia-Afrika.

“Saya jadi biro pengarang bersama wakil Ghana, Sudan, dan Tiongkok. Tapi semuanya kandas karena terjadi pergolakan politik di Sri Lanka. Begitu pulang ke Indonesia pada 24 Agustus 1965, hal serupa juga menimpa saya,” keluhnya.

Berada di Indonesia saat pergolakan politik 1965 membuatnya seperti berada di neraka. Lulusan Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada ini bilang tentara langsung membawanya ke Pulau Buru, bersama tahanan politik (tapol) lainnya.

Disiksa tentara sampai melukai paru-parunya

Di Pulau Buru, sejauh mata memandang ia melihat sebuah pemandangan mengerikan. Kamp konsentrasi dibangun di mana-mana. 

Ia menceritakan bahwa masa-masa suram harus dilaluinya selama 9 tahun di sana. Di usianya yang baru menginjak 31 tahun kala itu, siksaan bertubi-tubi harus diterimanya.

“Saking seringnya dapat siksaan fisik di Pulau Buru, luka-lukanya sampai sekarang masih membekas,” akunya.

“Alat pendengaran saya di telinga hanya tinggal satu. Bahkan, paru-paru saya tinggal separuh,” ujarnya lirih.

Ia mengaku baru dapat menghirup udara bebas pada 1979. Usai dibebaskan oleh rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, ia mengaku tak tahu harus berbuat apalagi.

“Di pikiran saya, hanya kepingin menulis lagi. Itu saja,” ucapnya. Maka saat itu, meski statusnya dilabeli eks tapol, tapi daya juangnya untuk kembali menulis terus menggelora.

“Setelah dibebaskan karena merasa tidak pernah bersalah, maka saya bekerja menulis di surat kabar. Tulisan saya soal human rights muncul di koran-koran seperti Kompas dengan nama samaran,” akunya.

“Saking seringnya dapat siksaan fisik di Pulau Buru, luka-lukanya sampai sekarang masih membekas.”

Ia mengatakan ada satu hal yang tak bisa dihilangkan oleh Orba kendati dirinya telah dijebloskan ke Pulau Buru selama 9 tahun. Ia berkata, “Saya menulis tanpa membodohi rakyat dan tidak akan pernah mengkhianati diri, pemerintah, dan rakyat,” tuturnya.

Di usianya kini yang hampir menginjak kepala tujuh, Hersri tetap dikenal sebagai penulis ulung. Ia menyebut ada sedikitnya 10 buku karyanya yang telah diterbitkan. Banyak bukunya yang fenomenal beredar di tengah masyarakat luas, beberapa di antaranya adalah Kamus Gestok dan  Memoar Pulau Buru.

Kembali tagih permintaan maaf negara

Atas apa yang ia alami bersama para eks tapol lainnya, dirinya kembali menagih janji pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk meminta maaf kepada para penyintas peristiwa Gerakan 30 September (G30S).

“Paling tidak ada pernyataan permintaan maaf yang dikeluarkan presiden sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia. Tapi kalau tidak mau, ya sudahlah. Biarkan saja. Yang penting masyarakat sudah menerima saya,” ucapnya.

Sedangkan menurut Dosen Pusat Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata,  Donny Danardono, apa yang telah dikatakan oleh Hersri jangan lagi dijadikan sebuah alasan bagi tentara untuk melarang pemutaran film Pulau Buru: Tanah Air Beta.

“Sangat menggelikan jika itu dianggap menyebarkan Marxisme dan komunis. Lha, wong yang ditampilkan hanya para orangtua yang sudah sepuh, kok,” kata Donny.

Sebelumnya, sejak dirilis tahun ini, film dokumenter karya sutradara Rahung Nasution itu kerap mendapat tentangan dari masyarakat di berbagai kota. 

Sementara bagi Ita Fatianadi, istri Hersri yang ikut menonton film di Unika Soegijapranata itu, apa yang menimpa suaminya harus dijadikan pelajaran berharga bagi aparat militer di negeri ini. Militer tak perlu risau lagi karena generasi muda pada masa kini kian paham bahwa pelurusan sejarah itu penting dilakukan.

Ita mengatakan, jangan lagi peristiwa pembantaian pada 1965 terulang pada masa mendatang.

“Rekonsiliasi yang harus kita lakukan saat ini yakni berdamai dengan diri kita sendiri untuk menerima narasi sejarah yang benar tanpa dibungkam,” kata Ita. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!