Jilbab: Tidak percaya dan tidak memakai bukan berarti menentangnya

Bunga Manggiasih

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jilbab: Tidak percaya dan tidak memakai bukan berarti menentangnya
Hari Solidaritas Hijab Internasional ini adalah momentum yang tepat untuk berseru, muslimah punya kebebasan untuk memilih memakai jilbab di mana pun dan kapan pun — tapi muslimah pun seharusnya bebas untuk memilih tidak memakai jilbab di mana pun dan kapan pun.

 

Saya tidak memakai jilbab dan tidak percaya jilbab wajib untuk muslimah. Alasannya sederhana: saya pikir jilbab tidak cocok dengan iklim Indonesia yang lembab. Adapun ayat-ayat Al Qur’an yang sering diklaim sebagai dasar kewajiban muslimah untuk berjilbab, sesungguhnya turun berdasar konteks pada zamannya, dan lebih menekankan pada kesopanan atawa, kalau mau nginggris, modesty.

Pendapat saya ini bisa dibilang tak sejalan dengan apa yang diyakini mayoritas orang, baik penganut Islam maupun bukan. Tidak jarang ada yang mendebat pendapat saya ini dengan mengatakan, “Mengaku muslimah kok pilih-pilih aturannya? Islam itu satu paket, semua perintahnya harus dituruti! Kamu tidak takut berdosa?”

Ketika saya sempat bersekolah di negara yang mayoritas penghuninya non muslim, bahkan banyak kawan mengira saya tidak beragama Islam. Saya percaya itu kesempatan yang bagus untuk menjelaskan beragamnya tafsir dalam Islam. 

Pertama-tama, perlu diingat bahwa tidak ada otoritas tunggal dalam Islam. Bahwa Al Qur’an dan hadis jadi panduan utama, itu adalah keyakinan lazim bagi penganut Islam. Tetapi tiap ayat Al Qur’an dapat diberi banyak tafsir, tergantung mazhab yang diyakini, tergantung ulama yang diikuti, tergantung si muslimin atau muslimah memutuskan percaya tafsir yang mana.

Ada penganut Islam yang memilih penafsiran yang harfiah terhadap Al Qur’an, bahwa tiap ayatnya harus dibaca secara literal dan diterapkan saklek tanpa melihat konteks turunnya ayat tersebut. Saya memilih ada di kelompok yang percaya sebaliknya, bahwa konteks masa dan ruang turunnya suatu ayat perlu dijadikan patokan dalam tafsir.

Saya bukan ahli tafsir, dan pendapat saya pun dari waktu ke waktu berubah mengikuti apa yang saya baca, renungkan, dan pahami. Ini kerap jadi bahan kritik pula, kalau bukan ahli tafsir, mengapa tidak ikuti saja apa yang dikatakan ulama? Saya cuma bisa menjawab, saya percaya kita diberi akal untuk menganalisis dan memutuskan kepercayaan maupun tindakan sebelum mengikuti atau menolak suatu tafsir, bukan untuk membebek menuruti suatu tafsir begitu saja.

Saya sempat pula berjilbab selama tiga tahun di masa Sekolah Menengah Pertama (SMP), karena jilbab adalah bagian dari seragam yang diwajibkan. Saya belajar banyak tentang Islam dalam tiga tahun di sekolah itu. Tapi harga yang harus dibayar adalah gerah dan gatal akibat memakai jilbab di tengah udara Indonesia yang lembab ini. 

Seorang kawan muslimah asal Singapura, Sya Taha,  sempat membuat analisis menarik tentang kepercayaan muslimah terhadap jilbab dan pemakaiannya. Menurut dia, muslimah dapat dikategorikan dalam empat matriks:

1. Yang percaya jilbab wajib dan memakainya,

2. Yang percaya jilbab wajib tetapi tidak memakainya,

3. Yang tidak percaya jilbab wajib tetapi memakainya, dan

4. Yang tidak percaya jilbab wajib dan tidak memakainya.

Di kategori pertama adalah mereka yang percaya jilbab adalah perintah Allah, dan memutuskan mengenakannya setiap hari. Baik pemakai jilbab modis (“hijabers”) maupun jilbab panjang bak gorden, sepanjang alasannya adalah percaya jilbab itu wajib, dapat digolongkan dalam kelompok ini.

Dalam kategori kedua adalah muslimah yang yakin jilbab itu wajib namun merasa belum siap memakainya. Mungkin karena masih menikmati hal yang dicap “duniawi” seperti sering pergi ke klub malam, minum alkohol, atau tidak rajin salat, mereka melihat diri belum pantas memakai jilbab, simbol ketaatan beragama.

Di kategori ketiga, ada juga yang tidak percaya jilbab wajib tapi memakainya. Ada yang karena terpaksa karena peraturan mengharuskannya, ada yang memilih memakai jilbab karena keuntungan sosial seperti lebih diterima di lembaga religius atau kelompok sosialnya.

Dalam kategori keempat adalah mereka yang tidak meyakini kewajiban berjilbab dan tidak mengenakannya. Mereka — termasuk saya — sering dikira sebagai muslimah kategori kedua, jadi bujukan untuk memakai jilbab kerap datang dari berbagai orang, baik yang akrab maupun tidak (kalimat bujukan paling klise adalah: “Kamu lebih cantik lho kalau berjilbab). Mereka percaya tafsir yang menilai kesopanan berbusana dapat terwujud dalam bentuk lain, tidak harus jilbab.

Meski ada dalam kelompok keempat itu, saya menghargai saudari-saudari dalam Islam, baik yang mengenakan jilbab ataupun tidak, baik yang percaya jilbab wajib maupun tidak. Hari Solidaritas Hijab Internasional ini adalah momentum yang tepat untuk berseru, muslimah punya kebebasan untuk memilih memakai jilbab di mana pun dan kapan pun — tapi muslimah pun seharusnya bebas untuk memilih tidak memakai jilbab di mana pun dan kapan pun. — Rappler.com

 Bunga Manggiasih menaruh perhatian pada kebijakan publik karena berinteraksi dengan para pengambil kebijakan saat bekerja sebagai jurnalis. Di waktu senggang, ia memberi asupan bagi blogbungamanggiasih.com dan akun Twitter @bungtje.

 

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!