Joshua Oppenheimer pertanyakan sikap Jokowi soal korban tragedi 1965

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Joshua Oppenheimer pertanyakan sikap Jokowi soal korban tragedi 1965
Harapan Joshua pada Jokowi soal penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965 pupus sudah

JAKARTA, Indonesia—Joshua Oppenheimer, sutradara film Jagal dan Senyap yang bertema pembantaian 1965, mempertanyakan sikap Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang tak segera meminta maaf pada korban pembantaian.

Ratusan ribu orang hilang dan dieksekusi dalam operasi penyisiran anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu. 

Joshua melihat indikasi ketidakseriusan Jokowi lewat dua pembantunya di kabinet. Pernyataan pembantu Presiden tersebut dianggap sebuah pengkhianatan terhadap janji kampanye Jokowi. 

Siapa saja mereka? 

Jaksa Agung HM Prasetyo: Pengadilan HAM sulit

“Kenapa harus dipaksakan pengadilan HAM kalau sulit? Nanti hasilnya tidak optimal, protes lagi,” kata Prasetyo. 

Menurut Joshua, pernyataan ini menunjukkan ketidakseriusan yang gawat dan terkait erat dengan jabatannya sebagai Jaksa Agung. Justru sebagai Jaksa Agunglah Prasetyo bisa memastikan melakukan upaya maksimal untuk menghasilkan proses hukum optimal.

“Ini persoalan salah-benar. Apakah kekejaman seperti yang terjadi pada 1965 adalah sebuah aksi heroik atau kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya.

Peristiwa ini juga merupakan pembuktian apakah negara berniat melindungi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan atau menghapus segala bentuk impunitas. 

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu: Untuk apa minta maaf?

Pernyataan kedua yang mengganggu Joshua adalah dari Ryamizard. 

“Pakai logika saja, yang berontak siapa? Yang bunuh duluan siapa? Yang bunuh tentara kita siapa? Masa yang berontak dan membunuh, kita malah minta minta maaf. Itu sama saja saya dipukulin atau digebukin terus saya minta maaf,” kata Ryamizard. 

Menurut Joshua, pernyataan ini menggambarkan pemahaman yang kacau dan tidak berdasar fakta.

“Ini adalah sebuah penggeseran, pengalihan pokok persoalan, dan mengasosiasikan semua korban kekerasan massal 1965 dengan pelaku gerakan 30 September,” katanya. 

Joshua menyebut hal ini merupakan kelanjutan propaganda hitam orde baru untuk membenarkan pembantaian massal sebagai upaya memadamkan pemberontakan atau pembalasan yang sah atas terbunuhnya perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dalam operasi G30S tersebut. 

Padahal ratusan ribu korban lainnya — korban pembunuhan, perbudakan, penghilangan paksa, pembuangan, kekerasan seksual, perampasan harta benda, dan penganiayaan —tidak pernah dibuktikan terlibat dalam operasi G30S yang membunuh perwira tinggi AD itu. 

Joshua mengatakan, dua pernyataan pembantu Presiden di atas adalah sebuah pengkhianatan terhadap janji kampanye Jokowi. 

Minta maaf saja tidak cukup

Joshua selanjutnya mengingatkan pada Jokowi bahwa minta maaf saja bukan tujuan dari rekonsiliasi. Rekonsiliasi harusnya dimulai dengan pengungkapan kebenaran, penegakan hukum dan HAM, serta rehabilitasi dan penyembuhan. 

“Pengungkapan kebenaran adalah memaparkan dan menjelaskan fakta mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dari semua pihak, terutama korban dan penyintas,” katanya. 

Sementara itu, rekonsiliasi yang dijalankan pemerintah saat ini menutup mata kebenaran.

Ia berharap Prasetyo dan Ryamizard tidak benar-benar mewakili Jokowi. 

Apakah ini berarti masih ada harapan Jokowi akan minta maaf? 

“Harapan ini semakin pupus melihat ketiadaan  penjelasan dari Presiden mengenai apa saja yang sudah dan akan dikerjakan dalam kerangka rekonsiliasi ini. Dan seperti apa rekonsiliasi dalam bayangan Presiden Joko Widodo,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!