TV digital lahirkan lebih banyak alternatif tontonan bagi pemirsa Indonesia

Irine Yusiana Roba Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

TV digital lahirkan lebih banyak alternatif tontonan bagi pemirsa Indonesia
Apakah televisi digital nanti bisa menjadi awal baru yang cerah bagi publik Indonesia?

Televisi digital terestrial adalah siaran televisi tak berbayar yang ditayangkan oleh televisi swasta, komunitas, maupun TVRI. Jika dalam teknologi analog saat ini, satu saluran yang hanya bisa digunakan untuk menyiarkan program satu stasiun televisi, di era digital nanti saluran itu bisa dipakai untuk 6 hingga 12 saluran televisi. 

Jadi, akan ada pilihan saluran lebih banyak bagi pemirsa, dengan kualitas gambar dan suara yang lebih baik.

Pemerintah merencanakan bahwa pada 2020 nanti sebagian besar stasiun televisi swasta terestrial sudah bersiaran di kanal digital. Warga pun diharapkan sudah menikmati ragam siarannya.

Tapi, apakah pilihan saluran yang banyak nanti bisa menjamin ada banyak pilihan tayangan yang baik dan mendidik?

Tayangan yang buruk adalah keluhan utama publik, juga Presiden Joko “Jokowi” Widodo saat bertemu para pimpinan televisi swasta pada 21 Agustus silam. Jokowi mengatakan, dirinya memanggil mereka karena “menangkap keresahan publik, yang mengeluhkan tayangan-tayangan televisi tidak mendidik.”

Apakah televisi digital nanti bisa menjadi awal baru yang cerah bagi publik Indonesia?

Bisa, jika syarat-syarat mendasarnya dipenuhi.

Syarat pertama, penegakan sistem siaran jaringan (SSJ). Selama ini, untuk melakukan siaran nasional, stasiun televisi besar di Jakarta hanya melakukan sistem relai bersama stasiun-stasiun televisi di daerah. Di sini, stasiun televisi lokal hanya merelai siaran dari Jakarta, tidak membuat program sendiri. 

Dengan televisi digital terestrial, akan ada pilihan saluran lebih banyak bagi pemirsa, dengan kualitas gambar dan suara yang lebih baik.

Sementara itu, stasiun televisi lokal yang memproduksi program sendiri kalah bersaing dengan stasiun televisi bermodal besar di Jakarta, yang juga mendominasi bisnis kue iklan secara nasional. Akibatnya, stasiun televisi di daerah tidak berkembang, padahal mereka adalah jalan penting menuju keberagaman siaran di Indonesia.

Sesungguhnya, SSJ adalah amanat UU Penyiaran tahun 2002, tapi aturan tentang SSJ kurang tegas. Di sana, tidak ada batas akhir kapan SSJ wajib dilakukan oleh stasiun televisi yang ingin siaran di luar wilayah siarannya. 

UU Penyiaran itu juga tidak menyebutkan sanksi bagi lembaga penyiaran swasta yang melanggarnya. Jika SSJ ditegakkan, ada pembagian yang tegas: berapa persen siaran Jakarta dan berapa persen siaran lokal.

Di era digital nanti, SSJ harus ditegakkan sejak awal. Ini merupakan bagian dari upaya mengembangkan penyiaran di daerah. Bila tidak, publik tidak akan menikmati program acara kreatif lokal buatan anak muda Maluku atau Yogyakarta, untuk pemirsa di Maluku atau Yogyakarta, misalnya. 

Insan-insan kreatif dan roda ekonomi di daerah itulah kekuatan besar untuk mewujudkan tayangan televisi yang mendidik. Dengan regulasi yang pro pertumbuhan di daerah, akan ada banyak tayangan televisi yang berkualitas. 

Pendek kata, era digital nanti akan sama saja: siaran nasional yang Jakarta-sentris. 

Pertumbuhan ekonomi terkait penyiaran juga menjadi terpusat di Jakarta, tidak ada pembangunan industri kreatif di daerah. 

Syarat kedua, tidak ada pemusatan kepemilikan.

Persoalan ini terkait erat dengan siaran yang Jakarta-sentris tadi. Menurut penelitian PR2Media, ada 4 kelompok besar yang menguasai bisnis penyiaran saat ini, yaitu MNC (PT Media Nusantara Citra Tbk), EMTEK (PT Elang Mahkota Teknologi Tbk.), Grup VIVA (PT Visi Media Asia), dan CT Corp.

MNC memiliki secara empat perusahaan televisi, yaitu RCTI, Global TV, dan MNC TV. 

EMTEK memiliki empat perusahaan televisi, yaitu SCTV, Indosiar, O-Channel, dan PT Mediatama Anugrah Citra (MAC) bergerak di bidang televisi berlangganan. 

Grup VIVA menguasai dua perusahaan televisi, yaitu TV One, dan ANTV. 

Sementara itu, Grup CT memiliki Trans TV dan Trans 7.

Pemusatan kepemilikan dan tidak ditegakkannya SSJ untuk stasiun yang siaran nasional adalah resep jitu menuju monopoli industri penyiaran dan tidak berkembangnya industri kreatif karena aktivitas yang terpusat. Contoh kerugian lain adalah stasiun-stasiun televisi yang sangat partisan dalam Pemilihan Presiden 2014 lalu.

Di negara demokrasi maju, televisi swasta sangat dibatasi cakupan siarannya sehingga tidak terjadi monopoli penyiaran. Sebagai contoh, di Amerika Serikat yang liberal, satu stasiun televisi atau kelompok televisi tidak boleh siarannya ditangkap lebih dari 40% rumah tangga di AS secara nasional. 

Di Indonesia, cakupan siaran grup-grup televisi bahkan melebihi 50% rumah tangga secara nasional. Ini tidak boleh terjadi dalam bisnis penyiaran mengingat peran pentingnya dalam dinamika kehidupan suatu bangsa. 

Undang-Undang Penyiaran baru yang sedang dibahas DPR saat ini adalah momen penting untuk membenahi dunia penyiaran yang kacau balau. Salah satu hal terpenting yang perlu diatur secara tegas adalah kebijakan digitalisasi tersebut. 

Ada banyak sekali aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam digitalisasi televisi terestrial ini, mulai dari aspek teknologi, ekonomi, hingga sosial politik. —Rappler.com

BACA JUGA:

Irine Yusiana Roba adalah anggota DPR RI Komisi I dari Fraksi PDI-Perjuangan yang membidangi penyiaran. Ia dapat disapa di Twitter @IrineRoba

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!