Kesaksian Pendeta Aceh Singkil: 60 menit terjebak di gereja

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kesaksian Pendeta Aceh Singkil: 60 menit terjebak di gereja
Jemaatnya mempersiapkan bambu runcing, parang, dan senjata lainnya untuk bertahan. “Tidak ada pilihan,” kata Pendeta.

 

JAKARTA, Indonesia— Erde Berutu, pendeta Gereja Kristen Protestan Pakpai Dairi (GKPPD) di ressort Kuta Karangan, Aceh, menceritakan kronologis pembakaran gereja.

Menurutnya, sejak rapat Forum Kerukunan Umat Beragama pada 6 Oktober, sudah ada kesepakatan pembongkaran gereja. Namun Senin malam, 12 Oktober, firasatnya mengatakan bahwa pembongkaran akan terjadi esok harinya, sesuai tuntutan Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil, bahwa gereja harus dibongkar pada 13 Oktober. 

Sebagai pendeta ressort (wilayah) yang membawahi sepuluh gereja dalam naungan GKPPD di Kuta Karangan, ia pun mengumpulkan jemaatnya. Sebagian dari mereka anak muda dan pria paruh baya. Tidak ada lagi perempuan dan anak-anak di perkumpulan itu.

“Delapan puluh persen dari mereka sudah mengungsi. Sekitar 6.000 jemaat di titik yang satu, dan 2.000 jemaat di titik yang lain,” katanya pada Rappler, Rabu, 14 Oktober. 

Total penganut Kristen di Aceh Singkil mencapai 20.000 lebih yang tersebar di 21 gereja. 

Jemaat yang ia kumpulkan tinggal 200 pria. Mereka pun membicarakan tentang rencana untuk bertahan di gereja. 

“Kami membuat strategi bertahan. Strategi kami begini. Ketika barikade polisi dan tentara tidak bisa memberikan pengamanan kepada kami, kami akan mengadakan pertahanan sendiri,” katanya. 

Jemaatnya kemudian mempersiapkan bambu runcing, parang, dan senjata lainnya untuk bertahan.

“Tidak ada pilihan,” katanya. 

Menjelang siang hari, massa yang diperkirakan berjumlah 700 orang tersebut meringsek ke arah gereja. 

“Ternyata di hari H (kejadian) polisi tidak bisa bertahan, karena situasinya chaos,” katanya. 

Akhirnya ketika massa melewati gerbang gereja, jemaat juga mengangkat senjata.

“Karena kami sudah berjanji akan mengadakan perlawanan untuk bela diri.” 

Bentrok pecah dan tidak bisa terhindarkan. Massa yang membawa pentungan, parang, bahkan bom molotov berhadapan dengan jemaat. 

Di mana polisi saat itu?

“Polisi saat itu banyak ya, tapi berpencar dari satu gereja ke gereja lain. Jadi tidak fokus, tidak ada kekuatannya,” kata Erde. 

Bentrokan berlangsung selama 60 menit, hingga ada seorang dari kerumuman massa roboh.

“Kami berhenti karena ada jatuh korban dari pihak mereka, lalu polisi datang melerai,” katanya. 

Korban yang belum diketahui namanya tersebut diduga terkena peluru dari senjata rakitan. Siapa yang menembak? Apakah dari pihak jemaat?

“Aku enggak tahu,” katanya. 

Setelah itu, ia pun dapat kembali menata gerejanya, dan segera berkumpul dengan pendeta yang lain. 

Konflik antara warga dengan jemaat gereja ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Pada 1979, mereka sempat mencapai kesepakatan, lalu diperbarui pada 2001.

Namun kesepakatan itu kembali mentah seiring dengan pecahnya bentrok di tanah Aceh Singkil untuk yang pertama kalinya. —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!