SEA Games

Rusuh Aceh Singkil, berperang atas nama IMB

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Rusuh Aceh Singkil, berperang atas nama IMB
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diperjuangkan sejak 1963 hingga 2012, ketika gereja-gereja akhirnya ditutup

JAKARTA, Indonesia—Bentrok antara warga yang menentang gereja-gereja di Aceh Singkil dengan jemaat para gereja tersebut bukan disebabkan sengketa sebulan atau dua bulan, tapi sejak 1979, setelah perjanjian antara umat Kristen dan Islam. 

“Perjanjian antara masyarakat muslim dan nasrani menyepakati bahwa yang diizinkan satu gereja dan empat undung-undung (setingkat musala),” kata Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah wilayah Aceh Singkil, Roswin, pada Rappler, Rabu, 14 Oktober. 

Tapi kemudian jemaat gereja berkembang.

“Itu sedikit menimbulkan riak-riak,” katanya. 

Akhirnya pada 2001, perjanjian diperbarui.

“Penduduk nonmuslim diberi kesempatan untuk mengurus izin ke Pemerintah Kabupaten Singkil,” katanya.

Ia tak hafal benar rumusan dan syaratnya. Pasca perjanjian disepakati, ternyata warga masih menemukan gereja-gereja tersebut beroperasi.

“Sejak itulah ada koreksi dan keluhan umat Islam kepada Pemkab untuk menertibkan gereja yang tidak berizin,” katanya. 

Respons Pemkab dinilai telat, karena penyegelan atau police line baru dipasang pada 2012, tiga tahun lalu.

“Seiring waktu berjalan, police line hilang dan kegiatan balik sedia kala,” katanya. 

Fakta bahwa gereja kembali digunakan membuat warga sekitar yang tak setuju pendirian gereja melayangkan protes pada Pemkab. Mereka menggelar aksi damai. 

Tapi dalam aksi damai tersebut, massa menuntut pembongkaran gereja. Mereka memberi waktu sepekan saja untuk membongkar atau mereka ambil alih pembongkaran. Protes tersebut dimotori oleh Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil.

Pada 6 Oktober, pemerintah merespons dengan mengadakan pertemuan dengan unsur tokoh agama.

“Tapi tidak termasuk perwakilan nasrani, mereka tidak diundang,” katanya. 

Roswin mengaku tidak tahu mengapa perwakilan nasrani tidak diundang. Tapi ia hadir sebagai perwakilan Muhammadiyah. 

Apa isi rapat?

“Pertama, tuntutan sebagian masyarakat adalah untuk membongkar rumah ibadah tidak berizin,” katanya.

Ada 10 bangunan gereja tak berizin yang ditargetkan untuk dibongkar dalam waktu sepekan.  

“Nah, barangkali karena kurang sejalan dengan maksud yang mereka minta, dan Selasa (13 Oktober) kemarin deadline,” katanya. Maka bentrok pun pecah. 

Perjanjian di bawah kokangan senjata

GEREJA DIBAKAR. Salah satu gereja yang dibakar oleh warga Aceh Singkil dengan alasan tak ada izin bangunan. Foto istimewa. Pendeta Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) ressort (wilayah) Kuta Karangan, Kabupaten Aceh Singkil, Erde Berutu, membenarkan bahwa ada perjanjian pada 1979 dan 2001. Tapi ia mengatakan perjanjian itu dilakukan di bawah tekanan. 

“Tahun 2001 itu kami di bawah tekanan. Dulu kami dipaksa oleh pihak keamanan,” katanya pada Rappler. Bahkan jemaatnya tak berani pulang jika tidak menandatangani kesepakatan itu. 

Pendeta GKPPD ressort Keras, Kabupaten Aceh Singkil, Domeniktus Padang mengamini pernyataan Erde. Ia mengeluhkan, tiap kali rapat yang dibahas hanya masalah pembongkaran gereja.  

“Kadang pertemuannya hanya sepintas. Gereja saja terus-terusan yang dibahas. Kok cuma hanya gereja. Tapi bukan bagaimana mengatur agar gereja ini kondusif,” katanya. 

Ia menyayangkan pertemuan yang digagas oleh Forum Kerukunan Umat Beragama tersebut tidak efektif.

“Sehingga kami melihat kerukunan di situ hanya sebatas tatap muka saja, dari hati ke hati belum tentu,” katanya. 

Ia juga menyayangkan, silaturahmi yang terjadi tidak sampai ke akar-akarnya, hanya antara tokoh. Belum menyentuh masyarakat.

Ia mengaku tak habis pikir terkait bentrok ini, karena gereja dan masyarakat setempat sudah membangun silaturahmi sejak gereja pertama kalinya didirikan pada 1963.

“Kok sekarang bentroknya,” katanya. 

Meski ada perjanjian yang baru antara warga dengan jemaat, dan pada 2012 juga dilakukan penyegelan pada sejumlah gereja, bentrok tak sampai pecah. 

Mengenai perjanjian ini, peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono mengatakan bahwa perjanjian pada 1979 dan 2001 memang tak murni bisa disebut sebagai sebuah kesepakatan, karena ada indikasi tekanan saat penandatanganan perjanjian. 

“Perjanjian yang ditandatangani pada 1979 itu ada pemaksaan memakai senjata segala,” kata Andreas. 

Perjanjian yang disepakati sepihak ini akhirnya berbuntut pada ketidakpuasan salah satu pihak, yakni jemaat gereja. Hingga pada 2001, perjanjian kembali diperbarui. 

HRW: Berawal dari SKB Dua Menteri 

PENJAGAAN KETAT. Anggota polisi berjaga di lokasi gereja yang dibakar di Aceh Singkil. Foto istimewa  Situasi makin memburuk ketika pemerintahan yang saat itu dinakhodai oleh Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dua Menteri nomor 8 dan 9 Tahun 2006. 

Salah satu klausulnya menyebut bahwa pendirian tempat ibadah harus mendapat sedikitnya dukungan 60 orang dalam bentuk tanda tangan, dan disahkan oleh lurah atau kepala desa.

“Menariknya, di Singkil, Bupati Irwandi Yusuf (yang menjabat saat itu) memperketat dengan menaikkan syarat persetujuan 150 orang dan berlaku mundur,” kata Andreas. 

Artinya semua gereja, termasuk yang didirikan pada 1963 harus memenuhi syarat tersebut, atas nama kerukunan beragama. Konsep kebebasan beragama bergeser menjadi kerukunan agama.

“Mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati mayoritas, atas nama kerukunan beragama,” katanya. 

Karena SKB dua menteri ini, sebanyak 19 gereja ditutup di Aceh Singkil pada 2012 lalu. Gereja yang ditutup antara lain yang didirikan pada 1932-2003. 

“Tapi sebagian dipakai lagi diam-diam. Itu yang dipermasalahkan,” katanya. 

Baca laporan Human Rights Watch soal gereja-gereja di Aceh Singkil di sini. 

Munculnya PPI di babak akhir

WARGA ACEH SINGKIL. Warga Aceh Singkil yang sebagian pemuda usai bentrok pada Selasa, 13 Oktober 2015. Foto istimewa  Setelah itu, suasana di Singkil kurang kondusif. Pertemuan-pertemuan yang dilakukan antara warga penentang gereja dengan perwakilan jemaat pun mentah. 

Lalu muncul PPI Aceh Singkil. Pendeta Erde dan Domeknitus mengaku tak tahu-menahu soal PPI. Mereka juga tak mengenal tokoh-tokohnya. 

Tapi Roswin dari Muhammadiyah mengenal betul siapa PPI.

“Mereka muncul baru-baru saja, dan tidak pernah hadir di rapat,” kata Roswin. 

Menurut Roswin, PPI-lah yang kemarin mengajak masyarakat untuk melakukan aksi damai di depan kantor Bupati Aceh Singkil, hingga keesokan harinya berujung bentrok. 

Siapa mereka?

“Mereka ada sejak FPI tidak kuat lagi di sini,” katanya. “Ya orangnya itu-itu saja, orang FPI dulu.”

Saat ini Aceh Singkil masih dalam pengawasan kepolisian, tapi ribuan warga sudah mengungsi ke perbatasan Sumatera Utara, sampai batas waktu yang tidak ditentukan.—Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!