SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

JAKARTA, Indonesia—Kepala Polisi RI Jenderal Badrodin Haiti baru menerbitkan surat edaran yang mengatur ujaran kebencian atau hate speech pada 8 Oktober lalu. Penerbitan surat edaran itu langsung dikritik oleh publik.
Salah satunya karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi dan mencampuradukkan pasal kebencian dan pencemaran nama baik.
Setelah tiga pekan berlalu, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menerbitkan peraturan serupa tapi tak sama. Yakni Peraturan Gubernur nomor 228 tahun 2015 yang mengatur tentang pengendalian pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum pada ruang terbuka.
Pergub itu mengatur mengenai tempat dan prosedur yang harus dilalui para demonstran sebelum menyuarakan isu mereka. Peluncuran Pergub ini diwarnai protes, sama seperti penerbitan surat edaran hate speech.
Alasannya karena banyak perubahan dari peraturan sebelumnya, Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Ini lima keberatan yang diungkap pelaku demonstrasi terkait peraturan gubernur yang baru tentang demonstrasi:
Tempat terbatas
Pasal 4 Pergub mengatur lokasi dan waktu penyampaian pendapat. Menurut Pergub hanya tiga tempat yang diperbolehkan untuk menggelar demonstrasi. Antara lain:
- Parkir Timur Senayan
- Alun-alun demokrasi Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
- Silang selatan Monumen Nasional
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar keberatan dengan pembatasan tempat ini.
“Jakarta enggak bisa dilihat sebagai sebuah daerah saja, tapi Jakarta adalah tempat orang mempertanyakan kebijakan di daerah,” katanya pada Rappler, Selasa, 3 November.
“Enggak mungkin berdemo di Selatan Monas dan alun-alun DPR saja,” katanya.
Direktur Utama Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Al Ghifari Aqsa juga menyatakan hal yang sama.
Menurutnya aturan ini berlebihan, karena dalam Undang-undang No 9 tahun 1998 sebelumnya pembatasan hanya berlaku di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan objek-objek vital.
Tempat untuk menyuarakan pendapat, kata Alghif, menjadi lebih sempit. “Padahal tadinya ruang berkespresi sangat besar. Ini diubah,” katanya.
Prosedur izin lebih lama
Dhyta Caturani, penggagas One Billion Rising yang juga aktivis demonstrasi pada 1998, saat kelompok mahasiswa menyerukan Soeharto untuk lengser, mengatakan butuh waktu tiga hari untuk meminta tanda terima dari kepolisian setempat setelah Pergub berlaku.
“Kadang-kadang demo itu dilakukan untuk merespon sesuatu dengan cepat. Masak menunggu tiga hari?” katanya pada Rappler.
Dalam aturan sebelumnya, Pasal 11 diatur bahwa pendemo hanya perlu mengirimkan pemberitahuan pada polisi.
“Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, pendemo wajib memberikan surat tandan terima pemberitahuan, koordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum,” tulis undang-undang.
Pendemo juga diminta untuk berkoodinasi dengan pimpinan instansi atau lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat.
Volume pengeras suara dibatasi
Kt Ahok, mngemukakan pendapat di muka umum maksimal suaranya 60dB. Yaitu setara dgn ngobrol cuy! #TolakPergubKatrok pic.twitter.com/GRfglC80um
— KontraS (@KontraS) November 3, 2015
Dhyta juga menyampaikan keberataannya atas pembatasan volume pengeras suara. Di pasal 6 Pergub yang baru disebutkan bahwa batas maksimal baku tingkat kebisingan penggunaan pengeras suara sebesar 60 dB.
“Tujuan pengeras suara kan supaya menjangkau semua massa yang kadang ribuan jumlahnya dan bisa didengar orang yang lewat,” katanya.
Tak boleh pawai
Dalam peraturan gubernur yang baru, di pasal Pasal 11 disebut bahwa dilarang menyampaikan pendapat di muka umum pada ruang terbuka dengan cara melakukan konvoi.
Menurut Algif dari LBH, dalam undang-undang sebelumnya disebut dalam pasal 9, pendemo boleh melakukan pawai, rapat umum, bahkan mimbar bebas.
Keterlibatan TNI
Haris dari Kontras secara khusus menyoroti keterlibatan Tentara Nasional Indonesia. Dalam undang-undang keterlibatan tentara tak disebut, tapi dalam Pergub disebut bahwa pendemo haru berkoordinasi dengan TNI.
“Pemantauan, pelaksanaan penyampaian pendapat pada ruang terbuka dilaksanakan oleh Badan Kesatuan Bangsa Politik,” bunyi pasal 17 ayat 1.
“Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan langsung atau melalui koordinasi dengan SKPD (Saturan Kerja Perangkat Daerah) dan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia,” bunyi pasal 17 ayat 1.
“Polisi, orang Pemda, dan tentara diperbantukan. Itu bentuk kekacauan Ahok,” kata Haris. Ia selanjutnya menuntut Pergub demonstrasi untuk ditinjau kembali.
Algif dari LBH juga keberatan Pergub ini diberlakukan di Ibu Kota. “Pergub ini harus dibatalkan karena menyalahi undang-undang,” katanya.
Dalam kesempatan lain, Ahok telah mendengar kritik mengenai Pergub ini dan ia menjawab kritikan pada pelaku demonstran dan aktivis hak asasi manusia.
“Pertanyaan saya, siapa yang melanggar konstitusi? Pendemo atau saya?” kata Ahok seperti dikutip dari media.
Ahok mengatakan, alih-alih menyalahi undang-undang, ia mengklaim dirinya justru mematuhi Undang-Undang No 9 Tahun 1998 yang mengatur tentang penyampaian pendapat di muka umum. “Saya hanya mengikuti apa kata undang-undang. Yang buat undang-undang itu siapa? Waktu itu saya belum di politik malah,” kata Ahok.
Menurut Ahok, kemerdekaan berpendapat juga diatur, akan tetapi dengan catatan tidak merugikan orang lain. “Sekarang saya ambil handphone-mu, boleh nggak? Ini kan kemerdekaan gue. Anda di balai kota, saya gubernur. Boleh nggak handphone lo gue ambil?” kata Ahok.
Bagaimana menurut Anda? Sebelumnya, baca dokumen lengkap Pergub demonstrasi di bawah ini:
—Rappler.com
BACA JUGA
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.