Mengapa kita perlu skeptis dan sinis pada Hari Pahlawan

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa kita perlu skeptis dan sinis pada Hari Pahlawan

EPA

Memaknai kembali arti pahlawan. Benarkah gelar pahlawan lebih dekat dengan peristiwa politis daripada peristiwa sejarah?

Ketika nama Suharto diwacanakan untuk kembali menjadi pahlawan nasional, saya, seperti kebanyakan netizen di Indonesia, mulai heboh berkomentar. Bagi saya Suharto belum layak menjadi pahlawan. Terlalu banyak masalah yang belum selesai yang berhenti ketika ia wafat. 

Pun ketika Gus Dur diputuskan untuk menjadi pahlawan, saya memiliki keraguan, apabila beliau masih hidup apakah ia akan menerima gelar itu? Gelar yang terlalu duniawi dan terkesan seremonial belaka itu?

Kepahlawanan bagi saya adalah soal banyak hal. Ia tidak lagi persoalan siapa berjasa apa, tapi kerap kali persoalan penguasa. Tentang narasi sejarah dan klaim-klaim yang kerap kali memiliki masalah dalam penyusunannya. 

Misalnya, apakah Diponegoro seorang pahlawan bagi orang Papua? Apakah Hasanudin pahlawan bagi orang Bali? Dan apakah Tan Malaka lebih tidak pahlawan ketimbang Hatta dan Sukarno? 

Gelar pahlawan lebih dekat dengan peristiwa politis daripada peristiwa sejarah.

Tapi bagaimana memaknai kepahlawanan hari ini? Apakah ia masih dimaknai usaha melawan penjajah? Atau masih dibatasi oleh mereka yang berpangkat dalam jenjang karir militer? 

Pahlawan di Indonesia hari ini adalah mereka yang tetap melawan penindasan namun masih percaya pada negara.

Belakangan saya percaya bahwa kepahlawanan bukan lagi sekadar memperjuangkan kemerdekaan bangsa, mengharumkan nama bangsa, atau memajukan kedaulatan bangsa. Kepahlawanan bagi saya lebih dekat dengan bagaimana kita bersikap adil ketika negara menindas rakyatnya sendiri.

Di sekolah saya diajarkan bahwa Hari Pahlawan merupakan momen penting dalam sejarah Indonesia. Perang Surabaya, yang menjadi latar belakang sejarah Hari Pahlawan Nasional setiap 10 November, pemudi dan pemuda Surabaya yang turun ambil bagian dalam pertempuran itu menjadi martir. Kita kemudian diminta mengingat pengorbanan para pejuang itu mesti dimaknai sebagai pengorbanan terhadap negara. 

Tanpa mengecilkan peran para patriot yang gugur dan ikut ambil bagian dalam peristiwa bersejarah itu, bisakah kita hari ini memaknai kembali apa itu pahlawan dan kepahlawanan itu sendiri?

Bertahun-tahun kemudian setelah Indonesia merdeka, para patriot tadi tetap kita kenang. Tentu para pejuang yang gugur mengharapkan sebuah negara yang sempurna. Negara yang berdaulat dan memuliakan rakyatnya. Tapi apakah itu benar? 

Ketika negara, dalam hal ini pemerintah, abai akan nasib rakyatnya, perlukah ia dihormati? Para pejuang tadi tentu tidak sedang memperjuangkan negara yang tidak berpihak kepada rakyat dan tunduk pada kehendak pemodal. Tapi siapakah yang bisa menjamin bahwa hari ini kita benar-benar merdeka dan berdaulat?

Hari ini saya terpaksa skeptis dan sinis pada kata pahlawan dan nasionalisme. Bukan, bukan karena saya tak lagi percaya pada negara ini, tapi karena saya sudah kepalang sering dibikin kecewa oleh bagaimana pemerintahan kita berpihak dalam sengketa bersama rakyatnya. 

Kasus-kasus yang terjadi di Urutsewu, Paniai, Rembang, Batang, Kulon Progo, dan Tanjung Benoa sebenarnya telah menunjukan bagaimana pemerintahan ini berpihak. Nasionalisme yang menjadi semangat kepahlawanan tadi telah mengalami peyorasi yang demikian genting.

Bagi saya, pahlawan bukan lagi mereka yang memiliki nama besar. Pahlawan di Indonesia hari ini adalah mereka yang tetap melawan penindasan namun masih percaya pada negara.

Pahlawan bagi saya bukanlah mereka yang dengan banyak pangkat dan bintang menjadi jenderal perang, tapi para ibu-ibu yang dengan teguh memperjuangkan hak atas tanahnya sendiri. Seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu Rembang, meski telah berulang kali dikecewakan pemerintah, tetap percaya pada negara ini.

”Hari ini saya terpaksa skeptis dan sinis pada kata pahlawan dan nasionalisme, karena saya sering dibikin kecewa oleh bagaimana pemerintahan kita berpihak dalam sengketa bersama rakyatnya.”

Bagi saya, ibu-ibu yang masih meduduki tenda di Rembang sana adalah para pahlawan. Mereka adalah sekumpulan manusia hebat yang menolak dikalahkan. Mereka melawan apa yang mereka anggap tiran, korporasi yang mengancam keberadaan lingkungan di mana mereka tinggal. 

Apakah para ibu itu membenci negara? Tidak. Dalam berbagai kesempatan mereka masih percaya pada negara, mereka masih mengaku sebagai warga negara Indonesia, meski kita tahu mereka seolah dilupakan oleh negara.

Pada derajat yang lain, kita bisa melihat kepahlawanan yang lain dari ibu-ibu Kamisan. Mereka yang menolak impunitas dan mendorong agar negara ini menjadi negara yang hebat. Negara yang mengakui kesalahannya sendiri, menegakkan keadilan hak asasi manusia, dan mengusut tuntas kasus kejahatan kemanusiaan. 

Hanya Tuhan yang tahu sampai kapan ibu-ibu itu akan terus ada dan menuntut keadilan bagi sanak saudaranya. Tapi pantaskah negara diam dan membiarkan bicara soal kepahlawanan ketika negara sendiri abai pada rakyatnya?

Kepahlawanan juga hadir di antara para relawan pemadam api yang membakar hutan-hutan Indonesia. Hutan yang dibakar karena kepentingan sawit, ketika negara hanya bisa diam dan takut, para relawan ini bekerja menjauhi lampu sorot atas nama solidaritas dan kemanusiaan.

Relawan ini bekerja tanpa menghitung untung rugi. Sementara kita tahu, untuk menyebutkan nama perusahaan-perusahaan yang membakar hutan untuk kepentingan sawit saja negara takut. 

Kepahlawanan juga dijadikan mitos untuk meredam nalar kritis. Seperti yang dilakukan kepada para guru, mereka disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Apakah kita akan memperlakukan pahlawan dengan memberikan penghormatan yang tidak layak? 

Misalnya, kepada para guru honorer yang gajinya sering telat dan besaran gajinya demikian kecil? Mitos kepahlawanan membuat para guru menjadi jinak, menolak berontak, dan pada akhirnya hanya sekadar diam menunggu nasib dengan sabar.

Bagaimana kepahlawanan bisa demikian mengerikan ketika ia tidak memiliki nalar kemanusiaan. Seperti yang diucapkan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Sang jenderal menganggap anggota Kopassus yang membunuh Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay sebagai pahlawan

Ucapan ini seolah menihilkan arti penting nyawa manusia, bahwa atas nama negara yang melawan pemberontak, seseorang bisa dibunuh dan pembunuhnya disebut pahlawan, meski yang dibunuh itu adalah masyarakat sipil tanpa senjata sekalipun.

Kepahlawanan macam ini, yang berpihak pada kemanusiaan dan akal sehat, tidak akan diajarkan dalam program bela negara atau revolusi mental. Kepahlawanan macam ini hanya akan dimiliki dan diraih oleh mereka yang percaya bahwa kemanusiaan lebih penting daripada sekadar kepentingan politik. —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!