
JAKARTA, Indonesia — Payung-payung berjejer di antara kumpulan orang yang duduk di bangku plastik, seperti jamur yang tumbuh di padang yang rumput yang luas. Sementara itu, orang tua, remaja, dan anak-anak kecil mengenakan blouse warna putih, seperti kumpulan domba.
Siang hari ini, Jumat, 25 Desember, tepatnya pukul 2:00 siang, sekumpulan orang yang mengenakan payung di depan Istana Negara dan Monumen Nasional tersebut bukan sedang bertamasya.
Mereka adalah jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin dan HKBP Filadelfia yang hendak merayakan misa Natal untuk keempat kalinya di lokasi yang sama, di pinggir jalan raya, di atas aspal, tanpa atap yang melindungi mereka dari terik sinar matahari yang menyengat.
Sebuah terpal berwarna putih pun digelar untuk anak-anak di bawah umur. Mereka juga memegang payung dan sesekali mengelap keringat. Mata mereka menyipit, melawan silaunya sinar matahari siang itu.
(FOTO: Perayaan Natal GKI Yasmin di depan Istana)
Sebagian dari anak-anak ini mengaku tak tahu mengapa mereka tak beribadah di gereja, dan memilih di depan Istana Negara.
“Enggak tahu,” kata Rivaldo, salah satu jemaat anak dari HKBP Filadelfia.
Bersama kawannya, Louis, ia justru sibuk memegang payung yang ukurannya lebih besar dari ukuran badan mereka.
//Bersama generasi muda jemaat GKI Yasmin
Posted by Febriana Firdaus on Thursday, December 24, 2015
Sayup-sayup terdengar gesekan biola, datanya dari sebelah kanan mereka. Biola itu digesek oleh Immanuel, seorang anak berusia 10 tahun, jemaat GKI Yasmin lainnya.
Misa Natal pun dimulai pukul 2:20 siang yang dipimpin oleh Pendeta Berghouser Benget Tambunan.
Menolak ‘jalan damai’
Dalam pidatonya, Pendeta Benget memberikan beberapa wejangan atau petuah tentang Natal. Selain itu ia juga mengajukan sejumlah pertanyaan pada jemaat.
“Apakah jika kita diundang oleh Presiden untuk merayakan Natal di Istana kita mau pindah?” katanya.
“Tidak,” jawab jemaat kompak.
“Kalau Anda mau pindah, silakan. Tapi saya tidak. Saya akan tetap di sini,” ujar sang pendeta.
Pendeta Benget meyakinkan jemaat agar tetap pada perjuangan awal, meminta hak mereka yang sudah tertuang dalam putusan Mahkamah Agung.
GKI Yasmin disegel oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor pada 10 April 2010 atas perintah Wali Kota saat itu, Diani Budiarto.
Setelah itu, jemaat beribadah secara nomaden atau berpindah-pindah. Mulai dari halaman gereja hingga di jalan raya.
Ibadah juga sempat pindah ke rumah warga, tapi terjadi intimidasi, sehingga jemaat mengalihkan tempat ibadah di depan Istana Negara bersama HKBP Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat, yang juga terbelit masalah izin mendirikan bangunan (IMB).
Atas sengketa ini, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan PTUN Jakarta memenangkan GKI Yasmin dalam sengketa IMB tersebut.
(BACA: GKI Yasmin peringati Jumat Agung di garasi)
Mahkamah Agung juga ikut memenangkan jemaat melalui keputusan No. 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010. Intinya, MA telah mengeluarkan putusan terkait IMB GKI Yasmin yang menyatakan bahwa tindakan pemerintah kota Bogor yang menyegel rumah ibadah mereka harus dihentikan.
Namun hingga hari ini, pemerintah kota dan pusat masih belum mengeksekusi putusan MA tersebut.
Saat ini, perayaan ibadah di depan Istana Negara sudah yang keempat kalinya, dan ibadah rutin sudah yang ke-107 kali. Tapi jemaat masih terlantar di pinggir jalan raya.
Jemaat hanya bisa menunggu
Upaya apa lagi yang akan dilakukan oleh jemaat? Juru bicara GKI Yasmin Bona Sigalingging yang juga hadir di perayaan misa Natal tersebut justru bertanya balik.
“Pertanyaannya seharusnya ditanyakan pada pemerintah. Sudah 4 tahun warga negara mengetuk pintu kalian itu, tapi kok ya enggak didengerin? Enggak juga dilakukan sebagaimana yang diminta dan sebagaimana seharusnya digariskan oleh putusan Mahkamah Agung,” katanya.
(BACA: Konflik GKI Yasmin, Bima Arya disebut diam-diam rencanakan relokasi)
Sebagai warga negara, kata Bona, jemaat hanya bisa menarik perhatian dengan melangsungkan ibadah di depan Istana Negara tiap dua pekan.
“Sebab yang punya kuasa, yang punya kewenangan adalah pemerintah. Dan yang punya kewajiban memutuskan rekomendasi ombudsman adalah pemerintah. Kami tidak mungkin lebih dari itu,” katanya.
Semua proses hukum sudah ditempuh oleh jemaat, dari pengadilan tingkat tinggi hingga mengirim surat ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Selebihnya hanya benar-benar tinggal pemerintah,” ujar Bona lagi.
Ia mengatakan, pihaknya ingin pemerintah tegas, terutama pada Wali Kota Bogor saat ini, Bima Arya Sugiarto.
“Masalahnya ada pada Bima Arya dan masalahnya ada pada Presiden. Karena kita tidak bisa bebankan pada Bima Arya sendiri atau pada bupati sendiri. Bertahun-tahun ini kasus, tidak juga gol, karena tidak ada dorongan dari pemerintah pusat,” ujarnya.
(BACA: Pemkot Bogor tolak bicara dengan GKI Yasmin)
Ia berharap pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo tidak “cuci tangan” seperti pada pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono yang menyerahkan seluruh keputusan eksekusi GKI Yasmin di tangan pemerintah daerah (pemda).
“Pemda itu bagian dari Republik Indonesia, harus patuh pada putusan pengadilan, pada putusan ombudsman, bukan raja-raja kecil,” katanya.
Harapan generasi kedua GKI Yasmin
Immanuel, 10 tahun, jemaat GKI Yasmine memainkan “Alam Raya Berkumandang” di perayaan Natal di depan Istana Negara, 25 Desember 2015. Febriana Firdaus melaporkan untuk Rappler Indonesia
Posted by Febriana Firdaus on Thursday, December 24, 2015
Sementara itu, di tengah hiruk-pikuk perayaan Natal di depan Istana itu, Immanuel, seorang bocah yang masih berumur 10 tahun menyiapkan biolanya. Jemaat dari GKI Yasmin ini akan menjadi pengiring lagu-lagu rohani yang dilantunkan sepanjang Misa.
Immanuel adalah satu dari jemaat yang masih berumur di bawah 17 tahun. Ada juga Dio Saputra, (16), jemaat muda dari HKBP Filadelfia bersama kelompok paduan suaranya.
Ia mengaku rutin datang beribadah tiap dua pekan di depan Istana Negara sejak empat tahun yang lalu.
“Untuk itu, kami berkorban waktu,” kata Dio. (BACA: Siswa SMP kirim surat ke Jokowi minta buka GKI Yasmin)
Resah meliputi dirinya setiap ia harus mengikuti ibadah di pinggir jalan raya. Padahal semasa kecil, ia membayangkan diantar orangtuanya ke sebuah bangunan gereja, bukan tanah kosong beraspal di depan Istana.
Tapi ia mengaku tak patah semangat. “Yang kami lakukan ini ada hubungannya dengan hak yang tidak diberikan negara pada kami. Ketidakadilan yang tidak diberikan negara adalah kebebasan beribadah,” katanya.
Menurut Dio, umat sudah maksimal melakukan upaya mendapat haknya, tapi negara tak pernah serius menanggapi.
Ia kemudian titip satu pesan untuk Jokowi. “Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa itu harus dilaksanakan. Semua orang berhak untuk beribadah,” katanya. —Rappler.com
BACA JUGA:
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.