
JAKARTA, Indonesia — Barnis memunguti reruntuhan kayu pondasi rumahnya yang terletak di RT 12 RW 10 Bukit Duri, Jakarta Selatan. Keringat keluar dari pelipisnya dan membuat wajahnya mengkilat diterpa sinar matahari yang menembus genting-genting rumahnya yang tak utuh tersebut.
Debu-debu berterbangan bagai asap knalpot di jalan raya ketika Barnis mondar-mandir di ruang tengah yang hanya berukuran 3×4 meter tersebut.
Kepada Rappler, ia mengaku sudah menempati rumah sewa itu selama 25 tahun. “Setiap bulan saya membayar Rp 400.000,” kata pria berusia 47 tahun ini.
Rumah itu disewanya dari Siti Ayani, seorang warga asli Bukit Duri yang memiliki 40 lebih rumah kontrakan di sepanjang bantaran Kali Ciliwung tersebut.
Di rumah mungil ini, yang dihuni bersama istrinya yang bekerja sebagai penjual kue di kantin dan empat anaknya, ia terbiasa dengan banjir yang keluar masuk dan menggenangi kediamannya. “Bahkan sampai seatap,” katanya.
Barnis, yang merupakan seorang sopir mikrolet 06A, mengatakan rencana penggusuran sudah digagas sejak zaman Suharto berkuasa, tapi tak pernah terealisasi.
Dua pekan belakangan ia kembali mendengar rencana penggusuran tersebut. Selama kurang dari 14 hari itu, ia belum menemukan jalan keluar, ke mana ia akan tinggal selanjutnya. “Mungkin di kolong jembatan,” kata pria yang berpenghasilan Rp 50-70 ribu per harinya.
87 bangunan rumah dibongkar
Barnis hanya satu dari 163 kepala keluarga yang terkena dampak penggusuran di Bukti Duri ini. Menurut Uut Andianto, seorang petugas yang Rappler temui di lapangan, ada sekitar 97 bidang yang diratakan dan 87 bangunan rumah yang dibongkar.
Uut tak menjelaskan apa yang dimaksud bidang. Apakah bidang tanah atau bidang rumah.
Kebingungan ini juga dialami oleh Siti Ayani, pemilik rumah kontrakan Barnis. Ia mengaku memiliki 2.300 meter persegi tanah yang berada dekat dengan Kali Ciliwung. Sekitar 1.278 meter terdampak penggusuran. “Nah, itu dianggap satu bidang,” katanya sambil bersungut.
Ia protes, mengapa ribuan meter persegi tanahnya hanya dinilai satu bidang. Itu berarti ia hanya mendapatkan ganti rugi untuk satu bidang.
Padahal, ia memiliki 20 rumah lebih dari ribuan meter persegi yang diratakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut. Ia tak rela hanya diganti dengan satu rumah susun saja. “Itu pun saya harus bayar sewa Rp 280.000 per bulan untuk yang lantai paling bawah setiap bulan, belum listrik dan airnya,” kata Siti.
Maklum, ia memang juragan kontrakan di Bukit Duri. Jadi ia mengaku membayar pajak pada pemerintah, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Ganti rugi tak memuaskan
PENGGUSURAN BUKIT DURI Sekitar 87 bangunan dibongkar di Bukit Duri. Rata-rata bangunan yang dibongkar adalah rumah kontrakan yang disewa warga sejak berpuluh tahun yang lalu. Laporan dari Bukti Duri, Jakarta Selatan, untuk Rappler Indonesia.
Posted by Febriana Firdaus on Monday, January 11, 2016
Soal ganti rugi ini pun sempat membuat geger warga Bukit Duri. Pasalnya ada perbedaan pendapat antara warga dan kelurahan.
Pihak Pemprov DKI Jakarta menawarkan sewa rumah susun dengan harga sekitar Rp 170.000-280.000 per bulan. Sedangkan warga ingin ganti rugi berupa uang saja.
Seperti Siti Ayani. Ia mengaku membangun 20 rumah kontrakan mungil itu dengan uang yang tak sedikit. Kira-kira Rp 1 miliar lebih. Dan sekarang ia harus menerima penggantian satu buah rusun saja. Ia keberatan.
Pasalnya, satu bidang tanah itu dibagi-bagi juga kepemilikannya bersama 7 orang saudara lainnya, sesuai dengan wasiat orang tua.
Supa, tetangga Siti, juga mengungkap perdebatan antara warga dengan Pemprov tersebut. “Ganti rugi di rumah susun itu terpaksa saja,” katanya.
Padahal warga lebih suka diganti dengan uang. Apa alasannya? “Orang enggak punya mungkin ingin kembali ke kampungnya, pelihara apa. Bukan ke rumah susun,” katanya.
Harapan warga terhadap ganti rugi ini memang tinggi, kata Supa. Apa alasannya? Karena Presiden Joko “Jokowi” Widodo saat menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta pernah blusukan di RT-nya dan menenangkan warga dengan janjinya.
“Pokoknya semua diganti, pohon yang ditebang dan kandang ayam pun diganti,” kata Supa menirukan Jokowi.
Sertifikat vs surat ‘verponding’
Mengapa warga hanya diganti dengan rumah susun? Siti, dan seorang warga lain bernama Jefri, mengatakan bahwa pemerintah tak mengakui kepemilikan surat jenis verponding.
Seperti dalam kasus penggusuran Kampung Pulo sebelumnya, warga di sekitar Bukti Duri juga hanya memiliki surat jenis verponding.
Verponding adalah surat tagihan pajak atas tanah atau bangunan pada masa lampau, yang saat ini disebut sebagai Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB).
Status tanah verponding pada masa lampau harus diklaim kepemilikannya lewat kelurahan. Setelah mendapat nomornya, warga baru bisa mendapat sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Lagi-lagi, warga sekitar Kali Ciliwung bermasalah dengan surat terbitan zaman Belanda warisan nenek moyang mereka ini.
Seperti yang dialami oleh Siti. Ia mendapat surat kepemilikan tanah versi verponding tersebut dari orang tuanya. Surat itu diterbitkan tahun 1921.
Jefri juga demikian. Meski ia baru tinggal selama 40 tahun di Bukit Duri, tapi ia juga mengaku membeli tanah dengan sertifikat verponding dari pemilik sebelumnya.
Sayangnya, kata Jefri, sebagian warga tak bisa menunjukkan surat verponding tersebut. “Pernah terjadi banjir besar, bahkan bisa disebut bencana nasional, surat-surat kami pun hanyut,” katanya.
Ia dan lebih dari 500 warga lainnya kini hanya bisa merelakan Satpol PP membongkar rumah-rumah milik mereka.
Meski menurut Lembaga Bantuan Hukum Jakarta surat pembongkaran rumah-rumah di pinggir Kali Ciliwung tersebut kini masih disengketakan di Pengadilan Tinggi Usaha Negara Jakarta Timur.
“Pasrah saja,” kata Jefri. —Rappler.com
BACA JUGA:
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.