Penyandang disabilitas: Kami tidak mau jadi beban negara

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Penyandang disabilitas: Kami tidak mau jadi beban negara

ANTARA FOTO

Kaum disabilitas mengirim surat audiensi pada kementerian tapi tak pernah dijawab.

JAKARTA, Indonesia— Hampir semua kelompok minoritas masih mengalami diskriminasi di Indonesia tetapi menurut aktivis  Aryani Soekanwo, kaum disabilitas paling menderita di antara kelompok minoritas lainnya.

Para penyandang disabilitas, menurut Aryani, diabaikan oleh kelompok bisnis dan tidak diurus oleh negara.  

“Sekarang ini memang stigma disabilitas sangat berat. Kalau HIV/ADIS langsung banyak yang mendukung perjuangannya, tapi kalau disabilitas itu berat sekali,” kata Aryani, anggota Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, saat ditemui Rappler di gedung Lembaga Bantuan Hukum Jakartda, Selasa, 1 Maret. 

Aryani menuturkan beberapa kesulitan yang dihadapi para penyandang disabilitas di Indoneisa.

Pertama, regulasi. Menurutnya pemerintah baru meratifikasi konvensi internasional tentang disabilitas tahun 2011 melalui undang-undang nomor 19 tahun 2011. 

Walau pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan, perlindungan terhadap kaum disabilitas masih minim, bahkan pihak kementerian terkesan acuh. “Seperti beberapa kementerian, kami mengirim surat untuk beraudiensi saja tidak terjawab,” katanya. 

Padahal Kementerian adalah pemangku kewajiban yang disebutkan dalam UU Nomor 19 tahun 2011 tersebut. 

DISKRIMINASI. Aryani Soekanwo, anggota Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, yang mengatakan kaum disabiltias paling menderita di antara kelompok minoritas lainnya. Tak bisa punya akun di bank hingga ditolak sekolah. Foto oleh Febriana Firdaus  Menurut Aryani, pemerintah seharusnya melakukan pendekatan kepada kaum disabilitas. “Tapi kalau membuka pintu saja tidak mau, bagaimana kita bisa masuk?” katanya. 

Aryani juga menambahkan karena diabaikan negara, penyandang disabilitas pun mencoba mandiri. Salah satunya adalah Habibie, seorang penyandang cacat yang memiliki bisnis online. 

“Dia bisa punya bisnis online yang sangat maju bukan karena didukung pemerintah tapi karena usaha orang tuanya, upaya dari orang tuanya,” Aryani. 

Kedua, penolakan dari dunia perbankan. Aryani mengungkap bahwa penyandang disabilitas masih belum diterima oleh dunia perbankan. “Seorang penyandang disabilitas yang telah meraih gelar master (S2) dan bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pernah ditolak saat mengajukan kredit,” ujar Aryani. 

Alih-alih memberikan kredit, petugas bank malah menimpali, “Kalau Bapak punya tabungan, ya pakai itu saja,” ujarnya meniru si petugas bank. 

“Jadi nasabah bank susah, apalagi mendapatkan kredit,” katanya. 

Ketiga, pelayanan kesehatan yang minim. Pelayanan kesehatan yang minim ini paling dirasakan oleh penyandang disabiltas psikososial di daerah-daerah karena kurangnya pasokan obat-obatan. “Akibatnya, mereka ngabuk. Orang pada bingung, lalu mereka dipasung,” katanya.  

Seharusnya pasokan obat penenang untuk mereka bisa sampai ke daerah-daerah terpencil. 

DISABEL. Pengguna jalan menyeberang di penyeberangan khusus lansia dan disabilitas yang tidak berfungsi di depan Balaikota Depok, Jawa Barat, Senin, 1 Februari 2016. Fasilitas khusus yang diresmikan oleh Pemkot Depok pada Mei 2015 itu tidak berfungsi sehingga menyulitkan pengguna jalan khususnya bagi lansia, penyandang disabilitas, dan ibu hamil. Foto oleh Indrianto Eko Suwarso/Antara

Keempat, diskriminasi di bidang pendidikan. Aryani mengatakan penyandang disabilitas sedikit merasa lega karena  boleh berpartisipasi pada Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) pada 2014 lalu, setelah didemo oleh komunitas mereka. 

Namun itu bukan berarti tidak ada lagi kendala di bidang pendidikan. Menurut Aryani, penyandang disabilitas masih menemui kendala, yakni penerimaan penyandang disabilitas di sekolah umum atau sekolah inklusi. “Itu cuma omongan saja, sebenarnya tidak berjalan. Implementasinya kurang,” ujarnya. 

Menurut Aryani, ia masih menemukan penyandang disabilitas ditolak oleh sekolah inklusi. 

Padahal, kata Aryani, Presiden Joko “Jokowi” Widodo berjanji akan mendukung penyandang disabilitas. “Mana janjinya? Kami jangan dijadikan komoditas saat kampanye saja,” katanya.  

Ia juga meminta Pemerintahan Jokowi untuk tidak menganggap kaum disabel sebagai beban negara tapi aset. “Kalau tidak diberi pendidikan yang bagus, kami tidak bisa bekerja, tentunya akan jadi beban negara,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!