Indonesia

Kesaksian keluarga: Siyono masih sehat saat dibawa Densus 88

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kesaksian keluarga: Siyono masih sehat saat dibawa Densus 88
Siyono ditangkap 9 Maret dan meninggal dunia pada 11 Maret

KLATEN, Indonesia – Suasana rumah Marso Diyono (61 tahun) di Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Cawas, Klaten, pada Minggu siang, 13 Maret, masih ramai orang. Para pelayat berdatangan silih berganti, memberikan ucapan belasungkawa atas meninggalnya Siyono (34 tahun), anak bungsu Marso.

Rumah sederhana yang sehari-hari digunakan untuk Taman Kanan-Kanak (TK) itu disekat menjadi dua bilik, untuk memisahkan tamu laki-laki dan tamu perempuan yang duduk lesehan di atas tikar plastik. Mereka umumnya tetangga desa, kerabat dari luar kota, dan teman-teman Siyono yang tidak sempat menghadiri pemakamannya pada Sabtu malam.

Wajah Marso masih sendu dan tampak kelelahan. Sejak anak bungsunya ditangkap Detasemen Khusus 88 Anti Teror, bapak tiga anak ini tak bisa istirahat karena melayani tamu, wartawan, dan polisi yang datang ke rumahnya.

Sebelumnya, ia lebih banyak bungkam dan berusaha menghindari awak pers dengan alasan takut salah bicara. Ia juga menolak banyak tamu yang tak dikenalnya, dengan cara mengungsi sementara di rumah anak sulungnya, Wagiyono.

“Saya ini orang bodoh, tidak ngerti apa-apa, bahkan anak saya ditangkap saya tidak tahu apa salahnya, saya minta maaf kalau anak saya punya salah,” kata Marso kepada Rappler, Minggu siang.

Ia kemudian mau bercerita. Rabu petang, 9 Maret, ia sedang menunaikan salat Maghrib bersama warga dusun di Masjid Muniroh yang terletak persis di samping rumahnya. Di sebelahnya, berdiri Siyono yang juga ikut salat.

Bapak dan anak ini jarang melewatkan salat berjamaah di masjid. Namun, Marso tidak mengira bahwa itu akan menjadi salat berjamaah terakhir bagi anaknya.

Usai salat, Marso keluar masjid lebih dulu seperti biasa. Ia menyaksikan di belakangnya tiga orang tak dikenal menunggu Siyono di luar pintu masjid, merangkulnya, lalu membawa masuk ke dalam mobil. Satu orang sebelumnya sudah masuk masjid, tetapi keluar lagi.

“Saya mau menegur tetapi ragu, karena saya pikir itu teman-teman Siyono yang mau mengajaknya pergi. Kelihatannya cara mengajaknya baik-baik,” kata Marso dengan mata berkaca-kaca mengingat anaknya.

Ia baru tahu bahwa anaknya ditangkap Densus saat ada perangkat desa dan polisi yang memberitahunya akan ada penggeledahan di rumahnya keesokan harinya, pada Kamis, 10 Maret. Kakinya lemas seketika, namun ia tak kuasa berbuat apa-apa.

MELAYAT. Keluarga dan kerabat melayat ke rumah Siyono, terduga teroris asal klaten yang ditewas usai diperiksa oleh Densus 88, Minggu, 13 Maret. Foto istimewa

Selain fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, motor Siyono yang bernomor polisi DKI Jakarta juga disita polisi saat penggeledahan. Polisi tidak memberikan alasan penangkapan Siyono, namun seorang petugas mengatakan bahwa yang bersangkutan sedang ada masalah kecil, kini berada di sebuah tempat yang aman, dan kondisinya juga baik.

Jantungnya nyaris copot ketika menerima kabar bahwa Siyono meninggal dunia saat diperiksa Densus dua hari lalu, Jumat, 11 Maret. Ia hampir tak percaya, karena anaknya dalam keadaan sehat saat penangkapan pada Rabu malam itu.

Pihak keluarga kemudian menjemput jenazah ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati di Jakarta dan membawa pulang pada Sabtu malam menjelang dini hari. Jenazah Siyono langsung dimakamkan malam itu juga tanpa disemayamkan di rumah duka.

Namun, sebelum dimakamkan, Marso meminta agar kain kafan anaknya dari polisi dilepas dan diganti dengan kafan yang sudah disediakan keluarga. Alasannya, itu adalah pakaian terakhir anaknya untuk menghadap Allah, sehingga harus benar-benar suci dan jelas asal-usulnya.

Siyono dikenal sebagai anak yang baik, patuh pada orang tua, dan ramah kepada setiap teman dan tetangga. Ia juga dikenal sebagai orang yang sumeh (murah senyum).

“Dia itu anak yang baik, santun, tidak neko-neko (aneh-aneh). Teman-temannya banyak sekali, sampai saya tak kenal satu-satu,” kata Marso.

Di mata Marso, Siyono juga seorang bapak yang baik dan sayang anak. Kelima anaknya –yang paling besar kelas 1 SMP—sangat dekat dengan bapaknya.

Meskipun kehilangan anaknya, Marso berusaha untuk menerimanya. Ia berulang kali meminta maaf kepada semua orang seandainya Siyono memiliki kesalahan dalam hidupnya.

“Saya berdoa semoga anak saya syahid kalau ini kehendak Allah, mendapat tempat yang baik di alam sana,” ujar Marso.

Beberapa teman-teman di dusunnya yang sedang berkumpul di masjid siang itu juga bercerita kepada Rappler bahwa Siyono adalah sosok baik dan setia kawan. Ia juga anak yang enthengan (suka menolong) teman.

Siyono yang lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian di Klaten itu pernah bekerja sebagai penjual buku-buku dan majalah Islam. Terakhir, ia juga berjualan secara online.

Sedangkan istrinya, Sri Muryani, mengelola TK Raudlatul Athfal Terpadu Amanah Ummah yang memiliki 60 siswa di rumah Marso. Sebenarnya, sekolah di bawah Yayasan Al Husna Klaten itu hanya menggunakan rumah Marso untuk sementara sampai gedung yang baru selesai dibangun.

Entah kebetulan atau tidak dengan kematian Siyono, pihak yayasan meliburkan anak-anak hingga 20 Maret, seperti yang tertulis di papan yang tertempel di depan rumah. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!