Indonesia

Komnas HAM kirim surat ke Jokowi agar tak diam hadapi intoleransi

Febriana Firdaus, Mawa Kresna

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komnas HAM kirim surat ke Jokowi agar tak diam hadapi intoleransi

ANTARA FOTO

Masyarakat Yogyakarta kecam pembubaran acara Lady Fast

 

JAKARTA, Indonesia — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengirim surat pada Presiden Joko “Jokowi” Widodo terkait insiden intoleransi yang terjadi di Tanah Air. Mereka meminta presiden untuk tidak diam. 

“Adanya kemunduran dalam penegakan hak bermasyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (No. 39 tahun 1999) untuk berekspresi, bebas menyatakan pendapat, berkumpul, dan berkesenian setahun terakhir ini,” kata Wakil Ketua Komnas HAM, Dianto Bachriadi, dalam konferensi pers pada Senin, 4 April. 

Dianto mengungkapkan setidaknya ada 20 kasus intoleransi selama setahun terakhir. “Angka ini lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya yang biasanya mencapai 10 kejadian,” katanya. 

Beberapa acara yang dimaksud antara lain nonton bareng sidang Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) untuk korban tragedi 1965 yang dihentikan setelah disatroni TNI di Yogyakarta, diskusi naskah drama 50 tahun tragedi 1965 di Taman Ismail Marzuki, hingga pelarangan penayangan film dokumenter berjudul Pulau Buru: Tanah Air Beta karya Rahung Nasution. 

Jika terus berlangsung, kata Dianto, bukan hanya hak konstitusional warga negara saja yang terganggu, tapi juga proses perbaikan menuju ke arah yang lebih baik.

“Kami sampaikan agar presiden tidak tinggal diam,” katanya lagi. 

Tegur Kapolri

Selain mengirim surat ke Jokowi, Komnas HAM juga menyoroti polisi yang dinilai tak tegas kepada kelompok intoleran. 

“Aparat kepolisian cenderung memfasilitas dan bahkan mendukung kelompok intoleran untuk melakukan pelarangan,’” kata Dianto. 

Sikap kepolisian ini bertolak belakang dengan tugas mereka untuk melindungi hak asasi masyarakat. Seharusnya, kata Dianto, kepolisian menjamin hak itu. “Kami mengecam itu,” ujarnya.

“Maka Komnas HAM akan melakukan teguran kepada Kepolisian melalui Kapolri,” katanya. Pekan ini, pihaknya akan bertemu dengan Kepala Polisi RI Jenderal Badrodin Haiti. 

Beberapa waktu lalu, pemerintah sempat memberikan pernyataannya terkait aksi intoleransi yang terjadi belakangan ini. 

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan diskusi mengenai itu terjadi saat ia bertemu dengan  Jokowi pada Kamis, 31 Maret, lalu.

Menurut Pramono, Jokowi sudah meminta Kepolisian bersikap tegas terhadap kelompok intoleransi yang melarang aktivitas kelompok lain.

“Minta aparat tegas. Siapa pun yang melakukan tindakan intoleransi dalam konteks kenegaraan,” tutur Pramono, menyambung pernyataan Jokowi.

Soal pernyataan presiden ini, Komnas HAM mengaku gembira.

“Tetapi sesudah pernyataan itu keluar, para pelaksana seperti pemerintah daerah, kementerian, kepolisian, tidak menanggapi pernyataan presiden sebagaimana mestinya mereka sebagai bawahan,” kata Dianto. 

Buktinya, ada dua kejadian pelanggaran kebebasan berekspresi setelah pernyataan itu dibuat oleh presiden. Yang pertama adalah sejumlah anggota organisasi massa intoleran membubarkan secara paksa acara pengajian yang dilakukan oleh ibu-ibu dari Komunitas Shia di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur pada Jumat, 1 April.

Yang kedua, Lady Fast di Survive Garage, Jalan Bugisan, Kasian, Bantul, Sabtu malam, 2 April, juga mengalami hal yang serupa. 

Karena itu Komnas HAM juga meminta Presiden Jokowi untuk lebih tegas pada kepolisian dan kementerian di bawahnya. 

Dianto mengingatkan, jika terus ada pembiaran bahwa polisi cenderung memfasilitasi kelompok intoleran, maka mereka akan semakin kuat dan semena-mena terhadap kelompok minoritas lainnya.  

Apa rekomendasi untuk kepolisian? “Kepolisian menjalankan tugasnya. Kalau kelompok intoleran melakukan pelanggaran pidana, ya harus diambil penindakan hukum,” ujarnya. 

Lalu apa tanggapan Kapolri? 

“Sebetulnya begini, bukannya polisi tidak terima, pengaduan masyarakat itu banyak, tentunya yang punya tempat khawatir akan terjadi sesuatu,” ujar Badrodin pada Rappler Selasa pagi, 5 April. 

“Kalau sesuatu seperti ini dikembalikan ke yang punya tempat,” ujarnya lagi.

Jika pemilik atau masyarakat setempat tidak mengizinkan, katanya, maka polisi akan menyarankan untuk membatalkan. 

Badrodin juga berpesan pada penyelenggara agar menghubungi polisi jauh-jauh hari. “Jangan terus mendadak sudah mau ribut baru minta kepolisian. Karena itu mengandung suatu resiko, kita juga harus menyiapkan pengamannya.” 

Komunitas kecam pembubaran Lady Fest  PROTES. Konferensi Pers sejumlah elemen masyarakat di Lembaga Bantuan Hukum Yogayakarta terkait pelarangan acara Lady Fest. Foto oleh Mawa Kresna.

Sementara itu, sejumlah elemen masyarakat Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Jogja Damai mengecam keras pembubaran acara Lady Fast.

Mereka menilai pembubaran acara tersebut mematikan kebebasan berekspresi dan berkesenian.

Bayu Widodo dari Survive Garage, yang juga bergabung dalam Forum Jogja Damai, menyayangkan adanya organisasi masyarakat yang membubarkan acara Lady Fast. 

“Kami bersama sepakat mengecam kejadian Sabtu malam itu. Ini adalah ruang seni alternatif, yang mereka lakukan membuat kebebasan berekspresi terancam,” kata Bayu saat menggelar konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. 

Bayu berharap kejadian tersebut tidak terulang lagi. Sebab Kota Yogyakarta merupakan Kota Pelajar dan Kota Pendidikan, pembubaran acara dengan disertai kekerasan tidak layak terjadi.

“Kami mengecam kekerasan atas nama agama, melakukan intimidasi atas nama agama. Yogyakarta tidak seharusnya seperti ini,” ucapnya.

Sementara itu Direktur LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyudin, mengatakan pihaknya akan menjajaki adanya tindak pidana dalam kejadian tersebut. LBH pun siap untuk membawa kasus tersebut ke meja hijau.

“Kami melihat ada tindak pidana yang terjadi bentuknya caci-makian hang diucapkan sekelompok orang. Kita bisa gunakan pasal tindak pidana tentang ujaran kebencian,” ujar Wahyudin. Pihaknya pun akan berkoordinasi dengan Komnas HAM. 

Sementara itu, Kepala Polisi Sektor Kasian, Kompol Suwandi, menjelaskan pembubaran acara Lady Fast dikarenakan penyelenggara tidak mengantongi izin dari kepolisian dan menggangu kenyamanan masyarakat.

“Masyarakat sudah sampaikan keluhannya pada panitia sebanyak lima kali,” katanya. 

Pihaknya mengaku sebelumnya tidak mengetahui jika ada ormas yang mendatangi acara Lady Fast. “Ketika kami datang sudah ada ormas di sana. Kami tidak tahu sebelumnya,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!