Pantaskah media mengabaikan hak korban kekerasan seksual demi sensasi?

Tunggal Pawestri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pantaskah media mengabaikan hak korban kekerasan seksual demi sensasi?
Tunggal mengajak semua pihak untuk menghentikan kekerasan pada perempuan, terutama jurnalis muda.

Pada 1 April 2016, Tempo merilis berita online yang berjudul Guru Perkosa Murid Karena Tidak Kerjakan PR.

Namun saat membagikan berita tersebut melalui akun Twitter-nya, @tempodotco, salah satu media ternama di Indonesia itu menulisnya dengan menggunakan kalimat pertanyaan, “Pantaskah Guru Perkosa Muridnya Karena Tidak Kerjakan PR?”

Sebelum membacanya sendiri dari akun Twitter, saya pertama kali mendapatkannya melalui screen capture yang dikirim seorang teman, disertai kalimat “Gila ini Tempo. Perkosaan ditanyakan kepantasannya”.

Ia seperti gemas karena media seperti Tempo masih saja membuat sebuah judul provokatif dan tidak sensitif terkait isu kekerasan seksual.

Jujur saja, saya tidak terkejut sama sekali. 

Pada Desember 2015, Komnas Perempuan merilis hasil temuannya mengenai pemberitaan media soal kekerasan seksual. Pada periode Januari hingga Juni 2015, Komnas Perempuan melakukan analisis media.

Mereka mengambil acuan dari setidaknya empat pasal (pasal 2, 4, 5 dan 8) di Kode Etik Jurnalistik (KEJ), lalu menyilangkan temuannya dengan pemberitaan dari sembilan media di Tanah Air.

Hasilnya, dari sembilan media yang dianalisis, delapan media menuliskan identitas korban. Media tersebut adalah Indo Pos, Jakarta Post, Jakarta Globe, Kompas, Koran Sindo, Pos Kota, Republika, dan Koran Tempo. Ini hanya salah satu temuan saja jika mengacu pada KEJ.

Temuannya lebih banyak lagi jika mengacu pada perspektif pemenuhan hak korban kekerasan seksual karena akan ditambah dengan elemen penggunaan diksi yang bias, stigmatisasi korban sebagai pemicu kekerasan, dan menghakimi korban dengan upaya stereotyping. Untuk perkara itu, Sembilan media melakukannya dengan derajat yang berbeda-beda. 

Penelitian yang dilakukan Komnas Perempuan ini kian melengkapi penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian AJI pada 2012 juga mengungkap bagaimana masih ditemukan beberapa media yang memberikan opini yang menghakimi dan tak berimbang kepada perempuan korban kekerasan seksual. 

Kata-kata seperti “menggagahi”, “perempuan malam”, atau “seorang janda cantik”, masih sering digunakan sebagai judul bombastis yang merugikan korban.

Padahal, apa yang gagah dari sebuah perkosaan? Lalu, apa relevansi profesi atau status pernikahan atas sebuah kasus perkosaan? 

Sebuah kekerasan seksual adalah kekerasan seksual. Perkosaan adalah perkosaan. Ini yang sering luput disadari oleh media. Budaya menyalahkan korban akhirnya turut dilanggengkan oleh media.

Persoalan mengenai masih buruknya media dalam melakukan pemberitaan terhadap korban kekerasan seksual tidak hanya terjadi di Indonesia.

Pada November 2014, majalah musik yang bergengsi, Rolling Stone, di Amerika Serikat memuat artikel hasil liputan lapangan A Rape on Campus mengenai pengakuan korban, seorang mahasiswi yang diduga mengalami gang rape pada saat menjadi mahasiswa baru di Universitas Virginia (UVA).

Liputan tersebut sontak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. The Washington Post mencoba menelusuri kembali dan mereka menyatakan bahwa mereka tidak menemukan kejadian tersebut pernah ada di UVA. Artikel Rolling Stone dinilai sumir dan informasinya dianggap mentah. 

Segera setelah itu, kebenaran mengenai adanya kasus pemerkosaan dan pengakuan korban dipertanyakan. Kontroversi yang hebat terjadi. Sebuah berita yang awalnya diniatkan untuk mengungkap kasus perkosaan di kampus, justru membuat geger banyak pihak. Rolling Stone dianggap menyajikan liputan rekaan.

Rolling Stone menolak tuduhan tersebut. Mereka menyatakan bahwa artikel yang ditulis adalah hasil liputan yang berbasis penghormatan terhadap korban. Tampak meyakinkan alasannya.

Tetapi demi membersihkan namanya, Rolling Stone kemudian meminta bantuan pihak ketiga untuk memeriksa kembali semua proses penggalian fakta. Steve Coll, dekan Sekolah Jurnalisme Columbia dan pemenang Pulitzer, bersedia untuk membantu tanpa bayaran. 

Laporan lengkap hasil investigasi muncul pada April 2015. Steve Coll mengatakan bahwa liputan mengenai kasus pemerkosaan tersebut memiliki banyak kesalahan “yang sebenarnya bisa dihindari”. 

Sabrina Rubin Erdely, jurnalis yang membuat tulisan, akhirnya meminta maaf dan artikel liputannya pun secara resmi ditarik untuk diganti dengan versi laporan panjang yang dibuat oleh tim-nya Steve Coll. 

Kendati Rolling Stone meminta maaf dan menggantinya dengan sebuah laporan panjang dan lengkap, bagi banyak feminis, Rolling Stone telah mencoba cuci tangan atas kesalahan mendasar dengan argumen yang cenderung menyalahkan korban. 

Dalam laporannya, Coll menulis, “Para editor dan Erdely telah menyimpulan bahwa kesalahan utama mereka adalah karena terlalu akomodatif terhadap Jackie (korban dengan nama alias) yang mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai penyintas kejahatan seksual”.

Sementara Sean Woods, editor utama Rolling Stone berkata, “Kami amat menghormati korban perkosaan yang menjadi narasumber kami, kami mengakomodir banyak permintaannya dalam laporan kami”.

Terdengar seperti alasan yang tulus dan sungguh-sungguh. Namun tanpa sadar, sesungguhnya mereka kembali menyalahkan korban yang tidak memberikan mereka informasi yang cukup terkait kejadian perkosaan.

Alih-alih mencari atau menggali informasi dari sumber yang lain, Rolling Stone seperti hanya mengandalkan satu sumbernya itu saja, sang korban.

Dari miskinnya pengetahuan dan kesembronoan dalam meliput soal kekerasan seksual, Rolling Stone memberikan dampak yang amat buruk terhadap korban kekerasan seksual dan para penyintas.  

Meminta korban atau penyintas kekerasan seksual untuk berbicara mengenai apa yang pernah dialaminya adalah kesulitan yang kerap dialami oleh para pendamping atau konselor. 

Tidak jarang, akibat trauma yang kuat, para korban kerap tidak dapat mengingat secara detil mengenai apa yang pernah menimpa mereka. Butuh kesabaran ekstra untuk berhadapan dengan korban kekerasan seksual. Banyaknya stigma yang kerap dihadapi oleh korban juga kian menambah ketertutupan mereka dalam bersuara.

Tidak sedikit jumlah korban yang akhirnya memilih untuk bungkam karena mereka tidak yakin akan mendapatkan keadilan dalam proses penegakan hukum.

Dalam kasus ini, liputan yang dibuat secara serampangan oleh Rolling Stone telah berdampak buruk kepada upaya pengungkapan kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan.

Dituduh bohong saat melaporkan kasus kekerasan seksual adalah satu momok yang menakutkan bagi para korban kekerasan seksual. Dan dalam kasus ini, tuduhan itu bergulir secara luas dan spekulasi soal cerita yang tidak konsisten dibicarakan banyak orang.

Para feminis di Amerika meradang. Jessica Valenti menulis beberapa artikel yang amat keras di The Guardian yang ditujukan kepada Rolling Stone.

“Rolling Stone telah menciptakan kekacauan bagi para perempuan dan laki-laki yang mencoba untuk menghentikan kekerasan seksual di Kampus, dan Rolling Stone berkewajiban membereskannya,” kata Valenti. 

Tidak mudah untuk membuat liputan atau pemberitaan mengenai kekerasan seksual. Media harus hati-hati dan teguh memegang etika. 

Namun kesulitan menulis tidak berarti dijadikan alasan untuk tidak menuliskannya. Jangan dibiasakan cari jalan keluar yang gampang.

Ada banyak aspek yang bisa diungkap dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Proses pemeriksaan polisi yang kerap tidak adil kepada korban, sikap para penegak hukum dalam menangani kasus, inilah hal-hal yang harus jadi perhatian saat mencoba mengungkap kasus kekerasan seksual. 

Media yang selalu dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi diharapkan untuk turut menjadi motor bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Masih buruknya pemberitaan terkait kekerasan seksual menandakan bahwa masih banyak media tidak memberikan aturan yang jelas kepada jurnalis saat memberitakan kasus kekerasan seksual. 

Melengkapi para jurnalis dengan pengetahuan dasar soal gender juga menjadi penting. Bangunlah kerjasama dengan para pegiat yang aktif bekerja untuk isu kekerasan seksual.  

Saya menyarankan kepada para jurnalis muda, bergaya dan bergairah untuk membaca dan memelajari kasus Rolling Stone, terutama bagian di mana mereka mendapatkan reaksi yang sangat keras dari para feminis.

Dari situ bisa dipelajari bahwa sedikit saja kesalahan dibuat dalam mengungkap kasus kekerasan seksual, maka akan berakibat fatal bagi korban. Setahu saya, kasus ini sudah masuk menjadi studi kasus bagi karya jurnalistik yang gagal. Jangan mengulang kesalahan yang sama.

Saya yakin, kita punya mimpi yang sama. Mari bersama-sama hentikan kekerasan seksual. —Rappler.com

Tunggal Pawestri adalah seorang aktivis perempuan yang sudah bergelut di isu keseteraan dan HAM selama lebih dari 15 tahun. Ia dapat disapa di Twitter @tunggalp.

Kamus Perempuan adalah kanal untuk blogger yang peduli terhadap isu perempuan. Tertarik menulis? Kirim ke Indonesia@rappler.com. 

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!