Nelayan ‘segel’ pulau reklamasi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nelayan ‘segel’ pulau reklamasi

ANTARA FOTO

Nelayan sudah sering melakukan aksi demonstrasi ke Presiden, tetapi reklamasi masih terus berjalan.

JAKARTA, Indonesia – Sekitar 300 orang nelayan pada Minggu siang, 17 April kembali melancarkan aksi penolakan terhadap reklamasi Teluk Jakarta. Unjuk rasa dibarengi aksi simbolis penyegelan salah satu dari 17 pulau buatan, yakni Pulau G.

“Ini karena kami sudah sering melakukan aksi demo ke Presiden, tapi ternyata reklamasi berjalan terus,” kata Sekretaris Jenderal Wilayah Jakarta Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kuat Wibisono di Muara Angke, Jakarta Utara, pada Minggu, 17 April.

Sekitar pukul 10 lewat, 30 unit kapal nelayan -besar dan kecil -mulai bertolak menuju Pulau G yang berjarak sekitar 300 meter dari Pelabuhan Muara Angke. Meski demikian, perjalanan memakan waktu 15-20 menit. Kapal harus memutar karena ada pendangkalan di jalur lintas akibat lumpur reklamasi.

Setibanya di pulau buatan PT Muara Wisesa Samudera, anak usaha Agung Podomoro Land, para nelayan langsung membentuk formasi unjuk rasa. Mereka membawa bendera dan spanduk yang berisi spanduk penolakan. Terik matahari tak melunturkan semangat para nelayan dalam menyampaikan penolakan.

“Saya minta jangan ada yang beraksi kekerasan, atau mengambil barang apapun, tunjukkan kalau kita bisa taat aturan,” orator menyerukan lewat pengeras suara.

Rappler yang ikut memantau aksi itu melihat ada lebih dari 50 orang petugas keamanan gabungan -polisi, TNI Angkatan Laut, dan sekuriti pulau -yang menjaga aksi ini.

Mengubah kehidupan nelayan

Kuat berkisah mengapa Pulau G menjadi pilihan para nelayan untuk berunjuk rasa. Sebelum reklamasi dimulai, kira-kira 4 tahun lalu, tempat ini adalah surga bagi nelayan Muara Angke.

“Banyak ikan, cumi, dan kerang. Ibaratnya dulu kalau melaut, istri di rumah cuma tinggal masak nasi lah,” kata dia.

Sekali berlayar, ia dan kawan-kawannya bisa membawa pulang Rp 1 juta. Sehari, tanpa perlu melaut berjam-jam, mereka bisa menjala ikan hingga 2 ton.

Namun, begitu perusahaan pengembang mulai menguruk pasir pembentuk pulau buatan, nasib mereka berbalik total. Lokasi surga ikan mereka telah berubah menjadi hamparan pasir belaka, seperti rejeki mereka yang juga nyaris tiada.

Penurunan pendapatan, menurut Kuat, bisa mencapai setengahnya. Tak sedikit juga yang melaut berhari-hari, tapi penghasilan tak seberapa.

“Pergi 3 hari, pendapatan tak sampai Rp 200 ribu,” kata dia.

Tangkapan menurun menjadi beberapa kwintal saja, itu pun setelah melaut hingga ke Marunda, Cilincing atau Ancol, dan selama berhari-hari. Mereka tak bisa lagi mencari ikan di dekat pulau-pulau buatan karena sekuriti pulau akan mengusir dengan melempar batu ataupun pasir.

Hal ini berpengaruh juga pada para istri nelayan. Sebagai pengatur keuangan, mereka pusing mengakali kekurangan neraca keuangan. Tak sedikit yang akhirnya turun ke jalan menjadi penjual kopi keliling, untuk mendapat uang lebih.

“Kalau tanya semua ibu-ibu nelayan, pasti bilang begitu. Susah,” kata Anirah, salah satu warga Kali Adem yang merasakan dampak buruk reklamasi.

Meski tak melaut, dia berjualan pepes ikan di Pasar Muara Angke. Kebanyakan bahan dagangannya ia peroleh dari nelayan-nelayan tetangganya.

Dengan muram, ibu 56 tahun ini mengatakan sebelum jumlah tangkapan nelayan berkurang, ia bisa mendapatkan Rp 100 ribu sekali jualan. Tapi, sekarang ia hanya bisa mendapat Rp 30 ribu. Padahal, biaya hidup sehari-hari melebihi angka tersebut.

“Gimana lagi nomboknya? Terpaksa ngutang,” kata dia.

Pulau masih dibangun

TOLAK REKLAMASI. Seorang bocah berjalan di area proyek reklamasi pulau "G", Jakarta, Minggu, 17 April. Foto oleh Muhammad Adimaja/ANTARA

Setelah mencuat isu suap Rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang reklamasi Teluk Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan seluruh kegiatan.

“Tapi masih ada yang lanjut kerja,” kata salah satu nelayan, Mamat.

Saat tiba di Pulau G, memang tak tampak ada mesin berat yang bekerja. Namun, setiap melaut, Mamat mengaku sering melihat mesin-mesin berat masih beroperasi memperluas area buatan.

Rappler melihat di area ujung utara pulau, masih tampak beberapa crane dan benda menyerupai jerigen yang ditutup plastik hitam. Salah seorang petugas yang ditanyai Rappler mengaku tak tahu fungsinya.

Pembangunan ini semakin memperburuk kualitas air di sekitar pulau. Dari yang dulu masih cukup dalam dan banyak makhluk airnya, sekarang air laut berwarna cokelat berlumpur. Menurut Mamat, area itu sudah tak bisa lagi untuk mencari ikan.

Kembalikan hak rakyat

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Tigor Hutapea, mengatakan reklamasi Teluk Jakarta merupakan bentuk perampasan hak rakyat. Dampak kerusakan lingkungan membuat nelayan tak bisa lagi bekerja mencari uang.

Ditambah lagi, pemerintah pusat juga tak sejalan dengan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang berkeras meneruskan reklamasi.

“Seharusnya gubernur ikut apa kata Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan proyek,” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan akan menghentikan reklamasi Teluk Jakarta.

Tigor menegaskan, reklamasi harus segera dihentikan sebelum keadaan rakyat di sekitarnya memburuk. “Pulau G baru 16 hektar jadi, tapi dampaknya sudah begini. Apalagi kalau sudah jadi semua (161 ha)?” kata dia. -Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!