
JAKARTA, Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengatakan Pemerintah DKI Jakarta tidak mengindahkan suara rakyat miskin dalam relokasi warga Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Hal ini terlihat dari banyaknya warga yang menolak dipindahkan dan memilih tinggal di perahu mereka.
Sudah tepat sepekan, ratusan “Manusia Perahu” hidup di atas air. Namun, tidak ada tindak lanjut dari Pemprov DKI terhadap nasib mereka.
“Kami menilai Pemerintah Provinsi DKI telah melakukan pelanggaran HAM karena pemerintah harus menjamin relokasi korban penggusuran harus memperhatikan akses terhadap mata pencaharian,” kata Alldo Felix Januardy, pengacara publik LBH Jakarta, melalui keterangan tertulis yang diterima Rappler pada Senin, 18 April.
LBH adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang mendampingi para “Manusia Perahu”. Menurut LBH, Salah satu alasan mereka menolak tinggal di rumah susun yang disiapkan Pemerintah DKI Jakarta adalah karena sulitnya transportasi menuju tempat kerja mereka.
Roji, salah satu warga yang tinggal di atas perahu, membenarkan hal ini. “Selain jarak, rumah susun yang diberikan tak layak. Seperti di Marunda, banyak fasilitas yang rusak,” kata Roji.
Ditambah lagi, ia hanya memperoleh satu unit rusun, sementara anggota keluarganya berjumlah 13 orang.
Pemprov abaikan rakyat kecil
Keluhan-keluhan semacam ini, menurut Alldo, menunjukkan pemerintah tak berdialog dengan warga sebelum memutuskan relokasi. Ia juga pernah melakukan penelitian atas 113 penggusuran di Jakarta dan menemukan 84 persen tidak melibatkan warga untuk musyawarah.
Selain itu, Pemprov juga kerap menggunakan kekerasan dengan melibatkan aparat tak berwenang. Angkanya ada sebanyak 57 persen. Salah satu contoh adalah keterlibatan polisi dan TNI, yang ternyata bertentangan dengan peraturan dasar kedua institusi.
“Seharusnya juga, Pemprov patuh pada hukum dengan memberi kesempatan warga menguji kepemilikan mereka atas tanah. Tanah yang sudah dihuni selama 20 tahun lebih dapat mengklaim kepemilikan,” kata Alldo, yang menyebut hal tersebut terangkum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1963 juncto Pasal 1967.
Menggusur tanah secara sepihak sementara Pemprov hanya memiliki sertifikat hak pengelolaan, menurut Aldo, sama saja dengan menerobos hukum. Dia juga mengatakan Pemprov tidak pernah menunjukkan sertifikat hak pengelolaan selama melakukan penggusuran.
Terlebih lagi, Gubernur Ahok juga cenderung meremehkan warga yang menolak direlokasi. Santer di pemberitaan media kalau ia menyebut para manusia perahu sebagai ‘pengintai’ dan ‘pemain sinetron’.
“Kami sayangkan pernyataan tersebut dan mempertanyakan keberpihakan Pak Ahok, apakah kepada pengembang atau kepada masyarakat miskin,” kata Alldo.
Sebelumnya, Gubernur Ahok sudah empat kali melakukan penggusuran selama masa jabatannya. Dua di antaranya adalah Kalijodo di Jakarta Barat dan Utara, dan Pasar Ikan di Jakarta Utara. Ke depannya, masih ada beberapa daerah lain yang akan digusur, terutama di daerah Jakarta Utara.
Persiapan infrastruktur
Ke depannya, menurut Alldo, seharusnya Pemprov memastikan infrastruktur baru bagi warga relokasi sudah siap. Dengan demikian, warga bisa lebih tenang saat dipindahkan.
“Saya juga berharap Pemprov perhatikan kondisi mereka pasca menempati rumah susun dan tidak lepas tangan, mengingat mereka baru kehilangan pekerjaan mereka,” kata Aldo.
Mayoritas warga yang menjadi korban gusuran adalah buruh dan nelayan kecil.-Rappler.com
BACA JUGA:
- Yang tertinggal di Kalijodo
- Warga Bukti Duri: Saya tinggal di kolong jembatan saja
- CEK FAKTA: Kawasan pasar Ikan di Penjaringan, Jakarta Utara
- Kehidupan di Marunda pasca relokasi Pasar Ikan
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.