What's the Big Idea series

Mabuk dan telanjang: Apakah saya telah diperkosa?

Putri Widi Saraswati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mabuk dan telanjang: Apakah saya telah diperkosa?
Seorang gadis terbangun dalam kondisi telanjang, dinding vaginanya robek. Ia bertanya apakah telah menjadi korban pemerkosaan?

 

Ada seorang perempuan muda yang saya kenal, sebut saja dia Abbie. Perempuan ini single, cerdas, dan berpendidikan. Kamu bahkan bisa menyebutnya progresif.

Dia membaca Marxisme, psikologi (jurusan kuliahnya), filsafat, dan sastra dunia. Dia menulis cerita pendek yang luar biasa. Di waktu luangnya, Abbie menganalisa lirik seksis dari grup musik terkenal.

Kami belum saling mengenal dalam waktu lama, dan hanya lewat sosial media. Abbie dan saya berbagi minat serupa, dan saya menganggapnya mitra yang baik untuk berdiskusi.

Suatu hari, dia mengaku telah diperkosa.

Abbie menceritakannya pada saya saat kami bercakap-cakap online. Dia mengatakan kalau dia tahu saya seorang dokter medis dengan minat di gender dan seksualitas, dan karena itulah ia mengungkapkan kisahnya pada saya.

“Saya tak yakin kalau apakah ini perkosaan atau kekerasan seksual,” kata dia. “Apa kamu bisa memberikan pandanganmu?”

Pelarian

Semuanya bermula saat dia chatting dengan seorang rekan pria, sebut saja namanya Tom. Dia dan Tom telah berteman cukup lama. Mereka sering pergi bersama, berbagi cerita, rahasia, dan candaan.

“Kami bersahabat baik. Tidak pernah menghakimi satu sama lain,” kata dia mendeskripsikan hubungannya. Tom memang memiliki reputasi sebagai bad boy, yang tentu sempat membuat Abbie sedikit naksir padanya. Tapi, hubungan mereka tak pernah menjelma romantika.

Keduanya sudah lama tak bertemu karena Tom bekerja di kota lain. Hari itu, Tom menawari Abbie untuk berwisata sebentar di kotanya. Pelarian singkat, sesuatu yang memang sedang Abbie butuhkan lantaran dia sedang menghadapi masalah. Jadi, dia sepakat dan terbang ke sana beberapa hari kemudian.

Selama Tom bekerja, ia meminta temannya untuk menemani Abbie melihat-lihat kota itu. Tentu saja Abbie terenyuh, ia menilai Tom teman yang sangat perhatian. “Pelarian yang sempurna,” pikir dia.

Suatu malam, Abbie, Tom, dan temannya pergi minum ke bar. Seperti malam-malam nongkrong lainnya, mereka minum bir, bercanda dan tertawa-tawa. Abbie tak pernah kuat minum, dan jarang pergi clubbing.

Dia hanya melakukannya sekali-kali. Tetapi, malam itu Tom dan kawannya meminta Abbie untuk mencicipi arak lokal, yang memang lezat. Tetapi, Abbie tak tahu seberapa tinggi kadar alkoholnya. Gadis ini tak pernah mabuk seperti malam itu.

Setelah beberapa lama, mereka memutuskan untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing. Tom bertanya, “Jadi, saya kembali ke kosan atau ke hotel kamu?”

Abbie tak bisa mengingat jawabannya. Mungkin “terserah kamu?” -ia tak yakin. Teman Tom membawanya kembali ke hotel. Namun, tak jelas apa yang dilakukan Tom, selain meminta Abbie menunggunya di lobi hotel.

Pingsan

Singkat cerita, mereka bertemu di lobi dan ke kamar Abbie. Setelah masuk, Abbie sudah tidak dalam keadaan sadar. Ingatannya buram. Dia hanya mengingat Tom bergerak menaikinya, memintanya untuk diam atau menahan dirinya supaya tak dapat bergerak.

Abbie terbangun saat ia merasakan sakit yang luar biasa. Dan darah. Darah di mana-mana. Ketika ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, cairan merah itu mengalir turun di kedua pahanya. Ada darah di sprei, di bed cover, karpet, hingga bath tub.

“Seperti TKP pembunuhan di serial TV,” kata dia.

Dia duduk di dalam bak mandi supaya darah tak mengotori ruangan lebih dari yang sudah ada. Tom pergi untuk membeli pembalut. Ketika ia kembali, Abbie sudah nyaris pingsan hingga harus dibawa ke dokter.

Malam itu, Abbie dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat. Dia kehilangan begitu banyak darah hingga konsentrasi hemoglobinnya sudah setengah dari angka normal. Lalu ia dioperasi, menerima transfusi darah. Ketika kami mengobrol, ia baru saja kembali dari kontrol jahitan.

Dinding vagina-nya sobek hingga hampir 6 sentimeter.

Abbie bertanya, “Apakah penetrasi penis bisa sekasar itu, atau itu hanya karena foreplay yang kurang?”

Dia belum punya pengalaman seksual sama sekali.

Korban

Sejujurnya, saya bingung menjawab ini. Saya pernah mendengar kasus pemerkosaan yang begitu brutal hingga dinding vagina korban robek, tetapi belum pernah melihat langsung. Tentu saya pernah menangani kasus semacam ini, tetapi karena melahirkan, dan pasien saya kehilangan darah lebih banyak dari Abbie.

Yang lebih membingungkan, adalah kejadian apa yang membuat ada penetrasi. “Saya bingung apakah saya memang menyetujuinya. Saya bahkan minta maaf berkali-kali ke dia,” kata Abbie.

Keluarga Abbie tak akan menuntut secara hukum, dan ia juga tak ingin melakukannya.

“Aku tak akan membuatnya menjadi kasus Sitok kedua,” kata dia, merujuk pada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang penyair kawakan, Sitok Srengenge.

Hal yang membuat Abbie galau adalah kekuatan hukumnya ketika ia mabuk.

Ia membayangkan apa yang akan orang katakan -seperti “Siapa yang menyuruhnya mabuk?”, “Siapa yang menyuruhnya pergi malam, seorang gadis dengan dua pria?”, “Siapa yang menyuruhnya, seorang gadis, untuk memasukkan pria ke kamar hotelnya?” dan banyak lagi.

Sayang, itu tanggapan lazim dari orang-orang. Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Abbie ketika penegak hukum mencecarnya dengan pertanyaan ini. Juga kalau kasusnya diberitakan besar-besaran oleh media.

Jadi, mereka memilih menyelesaikannya secara kekeluargaan. Dalam perdebatan sengit antara Abbie, ibunya, kekasih Abbie saat itu, dan Tom. Pacar Abbie melabrak Tom.

“Tapi saya hanyalah korban dari masalah Abbie,” kata Tom membela diri.

Seorang korban. Tom. Bukan Abbie.

Pemerkosaan

Tom berjanji untuk ‘bertanggungjawab’. Ia akan membayar setengah biaya medis Abbie. Tetapi tak ada yang dilakukannya. Ia bahkan memutus semua jalur komunikasi dengan Abbie, termasuk lewat sosial media, dan hanya mau dihubungi lewat perantara teman.

Itulah kisah Abbie. Saya sudah meminta izin untuk menjadi penyambung lidahnya, meski ia berencana untuk menceritakan kasusnya sendiri. Ia masih belum siap saat ini.

Menurut saya, sangat jelas kalau Abbie diperkosa, dengan brutal. Definisi pemerkosaan sendiri adalah “hubungan seksual tanpa persetujuan”, titik. Abbie tentu tak bisa memberi persetujuan saat ia diserang, belum lagi melawan.

Kisahnya mengerikan. Tetapi yang lebih menakutkan adalah pada abad ke-21 ini, seorang perempuan pintar dan berpendidikan masih mengira kalau pemerkosaan terjadi karena kesalahannya. Di sini, jauh setelah masa jahiliyah, seorang korban masih bingung apa ia diperkosa atau tidak.

Ini menunjukkan bagaimana dalamnya akar patriarki telah menancap di kepala kita, dan bagaimana seorang korban terus-terusan menyalahkan diri karenanya. Juga bagaimana sistem ini seperti batu yang terus dilemparkan ke kepala korban, dan kemudian menguburnya hidup-hidup.

Patriarki adalah sistem yang jahat, dan kita harus terus melawannya.-Rappler.com

 Artikel ini sebelumnya dipublikasikan di Magdalene. Untuk versi lengkapnya bisa ditemukan di sini.

Putri Widi Saraswati adalah seorang feminis dan penulis. Dia bukan penggemar seseorang yang memaksakan pola pikir dan konsepnya ke orang lain. Sayang, ia adalah seorang dokter – profesi yang tak bisa lepas dari nilai moral.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!