Di mana politisi perempuan ketika kekerasan seksual marak?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Di mana politisi perempuan ketika kekerasan seksual marak?
Ada 35 kepala daerah perempuan yang menang dalam Pilkada 2015, dan ratusan politisi perempuan di seluruh Indonesia.

Kapolsek berpidato di depan masyarakat. “Bapak-bapak dan ibu-ibu, sekarang sedang marak sekali terjadi kasus pemerkosaan. Beberapa waktu lalu di kecamatan kita ini ada anak perempuan dibawa ke kebun tebu, di sana dia dicekokin miras lalu diperkosa. Makanya bapak-bapak, terutama ibu-ibu kalau punya anak perempuan harus diawasi, bila waktunya pulang belum pulang ke rumah harus dicari. Jangan dibiarkan saja. Masak punya anak perempuan dijarno.”

Saya yang awalnya diam, mendengar himbauan dari kapolsek langsung terusik untuk berbicara.

“Benar yang dikatakan olek bapak Kapolsek bahwa kita harus mengawasi anak-anak kita. Tapi yang perlu ditekankan bukan hanya anak perempuan yang diawasi, tapi juga anak laki-laki. Otak memperkosa muncul bukan dari korban, tapi dari pelaku. Jadi jangan hanya perempuan yang selama ini banyak menjadi korban yang harus diawasi, tapi juga anak-anak laki-laki kita juga harus diawasi, diajari mereka bagaimana menghormati perempuan, bagaimana memperlakukan perempuan. Intinya baik anak laki-laki maupun anak perempuan harus sama-sama dididik tentang bagaimana bersikap, bagaimana saling menghormati dan bagaimana menjaga pergaulan. Satu lagi, tugas menjaga anak bukannya hanya tugas Ibu, tapi tugas orang tua yakni bapak dan ibu “

Langsung riuh tepuk tangan dari ibu-ibu. Saya hanya sekedar ingin menyeimbangkan cara berpikir kapolsek, agar pandangan diskriminasi tidak semakin merajalela di masyarakat. Jangan sampai perempuan jadi double korban.

Saya membaca status di atas di dinding akun Facebook Nihayatul Wafiroh, anggota DPR-RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.  Status ditulis pada 21 Mei 2016. Saya tidak ingin membahas isinya. Pro-kontra tentang bagaimana seharusnya pemerintah menangani darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sudah banyak dibahas. Rappler melaporkan dengan intensif.

Yang ingin saya bahas adalah betapa krusial peran politisi perempuan dalam mendorong dan mengawal legislasi yang pro perempuan dan anak.  Tentu saya mendukung semangat semacam HeForShe dan bahwa masalah ini seharusnya menjadi kepedulian semua, perempuan dan laki-laki. Seperti halnya pengasuhan anak adalah tugas bersama dalam sebuah keluarga. Seperti status Facebook di atas.

Malam sebelumnya, Jumat, 20 Mei, saya berdiskusi dengan belasan politisi perempuan, sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di kabupaten maupun kota di Provinsi Sumatera Barat. Tema diskusi yang diadakan di sebuah hotel di kota Padang itu adalah bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan perempuan politisi dalam menanggapi isu aktual dan menyampaikannya ke media. 

“Kami ingin mempengaruhi publik.  Tapi agak malas berhadapan dengan media. Selain media jarang memuat pernyataan kami, kalaupun dimuat wartawan mengejar meminta duit,” keluh seorang politisi lokal yang mengaku sebagai aktivis sebuah lembaga swadaya masyarakat.

Soal ada media dan wartawan yang meminta imbalan atas pemuatan berita, itu memamg pekerjaan rumah besar bagi media di Indonesia.  Saya mendorong mereka untuk membicarakan hal tersebut dengan organisasi profesi wartawan dan atau Dewan Pers.   

Kegiatan peningkatan kapasitas bagi politisi perempuan ini difasilitasi oleh B-Trust, sebuah lembaga pendidikan politik untuk perempuan, dan Konrad Adenauer Stiftung, dari Jerman.  Pelatihan ini dilakukan di beberapa daerah. Politisi perempuan menghadapi dilemma juga, bergulat melawan stigma.

Saya tertarik menggali bagaimana sebenarnya kepedulian mereka terhadap isu aktual terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan.  “Saat ini tengah ramai diskusi publik tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak.  Apakah kakak-kakak ini membahas juga isu ini di rapat DPRD?  Menyampaikan sikap?  Usulan kepada pemerintah daerah mencegah hal ini terjadi di wilayahnya?  Memikirkan legislasi di tingkat lokal?” tanya saya kepada mereka.

Sebagian besar tidak menjawab.  Yang menanggapi antara lain menggunakan alasan di atas, enggan berhubungan dengan media.  Merasa tidak diakomodasi media arus utama seperti koran, radio atau televisi lokal.  Saya mengatakan bahwa problem yang mereka hadapi juga terjadi di level nasional.  Media jarang menampilkan politisi perempuan untuk menanggapi isu aktual.  Bahkan jika isu tersebut berkaitan erat dengan perempuan dan anak. 

Saya memberikan dorongan semangat.  Di era digital, ketika setiap orang bisa memiliki akun media sosial, akun tersebut bisa menjadi sarana untuk menyampaikan pendapat, opini bahkan kegiatan kerja sebagai wakil rakyat.  “Kalau opini, pendapat dan kegiatan yang Anda sampaikan menarik dan penting, wartawan akan tertarik untuk memuat, termasuk media nasional,” ini anjuran saya. 

Saya memberikan beberapa contoh termasuk yang dilakukan Nihayatul Wafiroh, politisi dari Partai Keadilan Sejahtera Ledia Hanifa, Politisi Partai Demokrasi Indonesia Eva Sundari dan beberapa nama lain yang aktif di media sosialnya.

Apalagi jika pendapat disampaikan dilengkapi data, misalnya mengenai angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di daerah tersebut.  Data memberikan kredibilitas terhadap informasi. Mengoreksi aparat sebagaimana yang dilakukan Nihayatul, perlu.  Membuat langkah kongkrit mendesak.

Kami lantas membahas langkah kongkrit Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang membentuk satgas perlindungan anak: Banyuwangi Children Center.  Azwar Anas mengirimkan informasi ini kepada saya melalui pesan WhatsApp.  BCC adalah satuan tugas yang terintegrasi sejak pengaduan hingga penanganan kasus kekerasan terhadap anak yang melibatkan lintas sektor: pemerintah daerah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat dan agama, hingga kalangan guru, siswa dan petugas kesehatan.

“Masyarakat yang mengetahui adanya kasus kekerasan terhadap anak, baik di tetangganya, sekolah atau di manapun berada bisa melaporkan ke SMS center,” kata Azwar Anas.  Kanal khusus pengaduan terkait kekerasan terhadap anak tersebut langsung dikoneksikan di grup WA (WhatsApp) yang di dalamnya ada Bupati, Kapolres, Kepala Kejaksaan, dan Kepala Pengadilan.

Angka kekerasan terhadap anak di Banyuwangi meningkat pada 2015 dibandingkan tahun sebelumnya.

Kami membahas agar politisi perempuan di daerah berinisiatif untuk memastikan adanya lembaga yang menangani pengaduan, pula pendampingan bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.  Sebagai wakil rakyat mereka juga bisa mendorong pemerintah daerah mengambil langkah kongkrit sebagaimana yang dilakukan di Banyuwangi.  Saya tahu di setiap kepolisian di daerah ada unit pelayanan bagi perempuan dan anak.  Masalahnya, kebanyakan orang segan berhubungan dengan aparat, apalagi dalam kasus kekerasan seksual.  Ada kecenderungan aparat menyalahkan korban.

Menurut saya, jika politisi perempuan di daerah turun tangan melakukan pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, hasilnya akan lebih efektif.  Pendekatan antar perempuan. Wakil rakyat dalam posisi strategis untuk mengakses dukungan penanganan aparat yang baik, akses ke penanganan medis jika diperlukan, dan mendorong eksekutif di daerah mengambil tindakan nyata. 

Politisi perempuan dapat bekerjasama erat dengan penggiat sipil, lembaga advokasi termasuk komnas perempuan dan komnas perlindungan anak.  “Kakak-kakak ada di sini, di daerah, bergaul secara dekat dengan masyarakat, dengan kaum perempuan.  Sangat strategis untuk memonitor langsung situasi lapangan dan melakukan pencegahan serta penanganan secara cepat,” kata saya. 

Jika politisi perempuan ingin mendapat perhatian publik melalui media, maka respons cepat dan nyata terhadap peristiwa aktual adalah kuncinya.

Indonesia darurat kekerasan terhadap perempuan. Pro-kontra tentang solusi hukuman masih berjalan.

Pada tahun 1996, Ibu Negara AS saat itu, menerbitkan buku berjudul It Takes A Village yang isinya adalah perlunya keterlibatan banyak pihak dalam membesarkan dan mendidik anak.  Keluarga saja tidak cukup. 

Begitu besarnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kita dapat dari media dalam dua bulan terakhir, membuat saya berpikir bahwa It Takes A Distric, A City, bahkan A Country bersatu memastikan situasi darurat ini segera berakhir.

Sementara debat tentang hukuman masih berlangsung, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mulai dibahas, tindakan segera harus ditempuh. 

Saya tidak tahu berapa persisnya jumlah wakil rakyat perempuan di daerah.  Dari pelatihan yang saya hadiri, rata-rata pesertanya sekitar 15 – 25 orang, bergantung jumlah di setiap provinsi. Dalam pemilikan kepala daerah serentak Desember 2015, ada 35 kepala daerah perempuan menang.

Kolaborasi antara para politisi perempuan dan legislatif dan eksekutif, di pusat maupun daerah, rasanya bisa membuat terobosan besar.  Boleh kan, saya optimistis?

Tentu saja saya miris membaca pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise yang menyalahkan orang tua dalam kasus almarhumah “YY”.  Saya berharap politisi perempuan terutama, dan kaum laki-laki, dapat mengambil pelajaran dari pernyataan-pernyataan yang memicu kontroversi dalam dua bulan ini.

Karena kita tidak bisa menunggu selesainya pembahasan UU, sementara korban tiap hari berjatuhan. 

Bagaimana caranya?  Saya tidak dalam posisi memberitahu.  Kakak-kakak perempuan politisi itu saya yakin punya usulan solusi dan tindakan nyata.  Saya hanya menyemangati.  Sebagai bagian dari media saya siap untuk melaporkan ke publik, jika ada inisiatif yang baik dan kongkrit – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!