Indofood diduga menikmati keuntungan dari buruh bayangan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Indofood diduga menikmati keuntungan dari buruh bayangan
Investigasi Rainforest Action Network menemukan anak-anak bekerja di perkebunan Indofood. Seorang pemuda berusia 19 tahun menyatakan telah bekerja di perkebunan sejak usia 12 tahun.

JAKARTA, Indonesia (UPDATED)—Indofood didera isu perburuhan. Kali ini perusahaan yang menjadi mitra PepsiCo, produsen makanan ringan, makanan, dan minuman, diduga terlibat dalam eksploitasi buruh, upah murah, dan pembiaran anak bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawitnya. 

Dalam laporan berjudul Korban Minyak Sawit yang Bermasalah: Indofood, Peran Terselubung PepsiCo Terhadap Eksploitasi Buruh di Indonesia, Rainforest Action Network (RAN), organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-usaha Kerakyatan (OPPUK), dan Internasional Labor Rights Forum (ILRF) mengungkap beberapa temuan pada Kamis, 9 Juni.

“Secara sederhana, laporan ini mengungkapkan bahwa Indofood diduga telah melanggar hak-hak dasar buruh yang ada di perkebunan kelapa sawitnya, sedangkan PepsiCo hanya diam dan tidak mengambil tindakan apapun,” ujar Robin Averbeck, juru kampanye senior dari RAN.

Laporan ini disusun atas dasar investigasi yang dilakukan pada September dan Oktober 2015 oleh sebuah tim melalui wawancara empat mata dengan buruh, pemeriksaan dokumen buruh seperti slip gaji, surat dan perjanjian kerja, pengamatan lapangan saat buruh sedang bekerja, kondisi hidup buruh, dan fasilitas yang tersedia di perkebunan. Sebanyak 41 buruh Indofood diwawancarai secara persorangan dalam investigasi ini. 

Apa saja pokok temuannya? 

Praktik kerja yang berbahaya. Indofood memakai beberapa bentuk praktik hubungan kerja yang rentan dan berbahaya (precarious work) atau nonstandar, dalam mempekerjakan buruh untuk melaksanakan kerja-kerja utama yang berhubungan langsung dengan proses produksi di perkebunan Indofood, termasuk memanen, mengumpulkan berondolan sawit, dan penyemprotan pestisida, serta pemupukan. 

Para buruh ini tidak memiliki jaminan dalam pekerjaan, menerima upah sama dengan atau kurang dari setengah upah buruh tetap, dan biasanya harus menanggung biaya alat kerja dan alat perlindungan diri (APD) serta jaminan kesehatan, juga menghadapi risiko kesehatan dan keselamatan yang tinggi. 

Sebanyak 20 dari 41 orang buruh yang diwawancara (49%) dipekerjakan dalam hubungan kerja rentan dan berbahaya (precariously employed) sebagai buruh harian lepas (BHL), buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun buruh kernet, yaitu buruh informal yang membantu pemanen mencapai target tetapi tidak memiliki hubungan kerja langsung dengan perusahaan. 

Peneliti mewawancarai dua orang buruh PKWT yang diperkerjakan secara pemanen dengan jenis dan sifat pekerjaan tetap. Keduanya melaporkan telah menandatangani kontrak sebagai PKWT dengan pihak perkebunan setelah bekerja sebagai BHL selama setahun. 

Salah seorang dari mereka belum menerima salinan kontrak meski sudah dijanjikan akan menerimanya. Buruh tersebut juga melaporkan bahwa awalnya ia dikontrak untuk melakukan pruning atau pemangkasan, akan tetapi di tengah masa kontraknya ia dipaksa untuk memanen meski hal ini di luar kontrak yang telah disepakatinya.

“Sebagai PKWT, posisi saya tidak aman (terkait pekerjaan saya). Jadi saya tidak bisa menolak perintah mandor dan asisten (untuk memanen dan bukan pruning),” katanya. 

Kontrak tertulis tidak menjanjikan kepastian kerja bagi para buruh ini. Mereka berdua melaporkan bahwa mereka melakukan pekerjaan ini dengan harapan akan diangkat menjadi buruh tetap setelah masa kontrak mereka berakhir. 

Menurut pengakuan mereka, sang mandor mengancam tidak akan mengangkat mereka menjadi buruh tetap dengan menyatakan: “Bagaimana kamu mau diangkat jadi karyawan jika menolak untuk melakukan apa yang diperintahkan?”  

Tampilan aerial menunjukan areal penanaman kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Foto oleh EPA

Upah buruh Indofood yang tidak layak. Di salah satu perkebunannya, Indofood menggaji buruh tetap dan BHL di bawah upah Minimum Kabupaten (UMK). Besaran upah ini ditentukan melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang menurut laporan buruh, mereka tidak memiliki peran untuk melakukan perundingan dan tidak pernah mendapatkan penjelasan dari pengurus serikat buruh tersebut.

BHL dan kernet yang tidak diberikan kontrak kerja ataupun slip gaji secara tertulis melaporkan bahwa mereka biasanya menghasilkan antara 20%-75% di bawah UMK, yaitu standar upah per bulan seorang buruh tetap. 

Slip gaji seorang buruh tetap yang diwawancara di salah satu perkebunan mengungkapkan bahwa upah pokok buruh di bawah UMK kabupaten tersebut. Pada saat dilakukannya investigasi ini, UMK daerah tersebut sebesar Rp 2.015.000 (sekitar US$150), sementara perusahaan hanya memberikan gaji pokok sebesar Rp 1.952.640 (sekitar US$145), atau bahkan kurang dari itu. Slip gaji dari lima orang buruh tetap mengungkapkan upah pokoknya sebesar Rp 1.761.037, sekitar $130, pada Agustus 2015. 

Meskipun buruh harian yang diwawancarai tidak menerima slip gaji, semua buruh harian di perkebunan yang sama melaporkan upah maksimal yang mereka terima adalah sebesar Rp 78.600 (sekitar $6), kurang dari upah minimum harian sebesar Rp 80.480 berdasarkan upah minimum di kabupaten yang sama. 

Anak-anak ditemukan bekerja di perkebunan sawit Indofood. Investigasi ini juga menemukan anak-anak bekerja di perkebunan Indofood. Tim investigasi mewawancarai seorang buruh anak berusia 13 tahun, dua orang anak berusia 16 tahun, dan seorang pemuda berusia 19 tahun yang mengaku telah bekerja di perkebunan sejak usia 12 tahun. 

Mereka semua bekerja secara tidak langsung untuk perusahaan sebagai buruh kernet, atau pembantu pemanen. Sembilan buruh pemanen melaporkan membawa buruh kernet, yang biasanya istri, anggota keluarga lain, atau anak-anak yang sudah putus sekolah. Mereka membawa kernet untuk menambah gaji pokok mereka yang rendah atau karena merasa diharuskan.

Minimnya alat perlindungan kesehatan. Sebagian besar buruh Indofood tidak mendapat perlindungan kesehatan dan keselamatan yang memadai. Mayoritas pekerjaan penyemprotan pestisida dan pemupukan dilakukan oleh buruh perawatan dengan status BHL yang sebagian besar adalah perempuan. 

Para buruh ini kebanyakan tidak memiliki alat kerja, Alat Perlindungan Diri (APD), dan akses ke perawatan kesehatan yang memadai. 

Tiga orang buruh di satu perkebunan melaporkan menggunakan pestisida dengan merek Gramoxone yang mengandung Paraquat, sejenis herbisida yang sangat beracun dan sudah dilarang penggunaannya di Uni Eropa dan beberapa negara lainnya. Indofood melaporkan menggunakan 21.000 ton Paraquat di perkebunannya pada tahun 2015. 

Semua BHL kecuali seorang buruh melaporkan hanya menerima sebagian APD dari perusahaan dan membeli sendiri alat pelindung utama lainnya seperti sepatu dan sarung tangan. Tidak seorang pun buruh kernet yang diwawancarai diberikan alat kerja dan APD.

Semua BHL dan kernet melaporkan bahwa mereka tidak memiliki jaminan kesehatan dan mendapatkan akses yang terbatas ke klinik perusahaan. 

Dua orang buruh melaporkan bahwa mereka tidak mengobati cedera yang timbul akibat kecelakaan kerja karena terbatasnya akses ke perawatan kesehatan dan tidak mampu membiayai pengobatan sendiri.

FOTO ILUSTRASI. Pekerja tengah merapikan Jangkos (jangkang kosong) kelapa sawit yang dimanfaatkan sebagai pupuk di perkebunan sawit PT Sawit Sumber Mas Sarana (SSMS) Tbk di desa Sulung, Kota Waringin Barat, Kalteng Rabu (11/5). Data BPS menunjukkan, ekspor sub sektor perkebunan tahun 2015 untuk produk kelapa sawit sebesar 18,65 miliar dolar AS, sementara karet hanya 4,75 miliar dolar AS, kelapa 1,35 mmiliar dolar AS, kakao 1,25 miliar dolar AS, dan kopi 1,10 miliar dolar AS. Foto oleh Pandu Dewantara/Antara

Kebebasan berserikat diragukan. Buruh tetap di perkebunan-perkebunan Indofood yang dikunjungi melaporkan bahwa secara otomatis didaftarkan sebagai anggota Serikat Pekerja (SP) ‘kuning’ yang didukung perusahaan dan pemotongan gaji untuk iuran serikat tanpa persetujuan dari buruh maupun keterwakilan yang sesungguhnya.

SP ‘kuning’ adalah organisasi buruh yang didominasi atau dipengaruhi oleh pengusaha dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum perburuhan internasional. Buruh yang mencoba bergabung dengan SP independen malah mendapatkan intimidasi. 

Lalu apa tanggapan PepsiCo terkait laporan ini?

PepsiCo menyatakan bahwa mereka telah berkomitmen menegakkan prinsip kerja sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 

“PepsiCo mengatakan bahwa PepsiCo menganggap serius komitmen-komitmen tersebut dan pelanggaran hak buruh maupun hak asasi manusia yang terjadi. PepsiCo juga menyatakan bahwa mereka memiliki kebijakan hak asasi manusia yang sangat kuat dan secara jelas memiliki pengalaman dalam menyikapi masalah-masalah seperti itu,” ujar mereka menanggapi temuan ini. 

Rappler menghubungi pihak Indofood pada Jumat, 10 Juni, untuk mendapatkan klarifilasi.

“Indo Agri telah menulis surat dan minta kejelasan sejak April, tetapi RAN tidak pernah memberi jawaban,” kata sumber di lingkungan perusahaan ini. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!