Komnas HAM didesak selidiki pengusiran mantan anggota Gafatar

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komnas HAM didesak selidiki pengusiran mantan anggota Gafatar

ANTARA FOTO

Alissa Wahid yang juga turut hadir dalam acara konferensi pers tersebut mengatakan perlu hadir agar mantan anggota Gafatar tidak mengalami nasib sama seperti orang-orang Ahmadiyah.

JAKARTA, Indonesia— Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk segera melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran hak asasi yang dialami oleh ribuan mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Mempawah, Kalimantan Barat pada Januari lalu. 

Selain itu, PERADI juga mendesak negara untuk meninjau ulang penahanan dan pentersangkaan terhadap dua anggota dan seorang guru agama Gafatar, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya, Ahmad Mussadeq, pada Rabu, 15 Juni, yang dianggap sebagai upaya menutupi kasus pengusiran tersebut. 

“Kriminalisasi terhadap tiga anggota eks Gafatar patut diduga sebagai upaya untuk menutupi atau membungkam kasus pengusiran paksa disertai kekerasan yang dialami oleh anggota-anggota eks Gafatar,” kata Sekretaris Jenderal PERADI Sugeng Teguh Santoso dalam konferensi pers di Gedung PP Pemuda Muhammadiyah pada Kamis, 16 Juni. 

Pria yang juga Ketua Yayasan Satu Keadilan (YSK) itu mengatakan bahwa desakan untuk segera melakukan penyelidikan itu muncul karena hingga hari ini belum ada langkah konkrit dari Komnas HAM terhadap penanganan ribuan mantan anggota Gafatar. 

“Sebelumnya, saya mendengar bahwa sudah ada pengaduan di Komnas HAM. Saya tidak tahu apakah Komnas HAM sudah melakukan pleno untuk melakukan penyelidikan, tapi sejauh ini belum ada kita lihat tindakan nyata,” ujar Sugeng.

Sugeng juga mengungkapkan bahwa mantan anggota Gafatar ini harus didudukan sebagai korban, bukan justru distigmatisasi sebagai orang-orang sesat.

“Dalam konteks sistem peradilan pidana kita, keyakinan seseorang tidak dapat dipidana. Kebebasan berpikir, berekspresi, berkeyakinan, dilindungi oleh konstitusi dan tidak bisa dinilai dalam ukuran hukum pidana,” katanya. 

“Sekarang, kita harus memikirkan instrumen rehabilitasi agar ribuan korban eks Gafatar ini mendapatkan keadilan. PERADI sebagai komunitas profesi advokat memiliki tanggungjawab dan sejalan dengan kode etik, untuk memperjuangkan keadilan bagi korban, baik karena keyakinannya maupun oleh sebab apapun,” katanya lagi. 

Sugeng juga menyampaikan bahwa dalam kasus penahanan dan pentersangkaan ketiga orang yang terkait Gafatar di atas, Kejaksaan memiliki kewenangan untuk menghentikan perkara tersebut karena dinilai bukan merupakan tindak pidana. 

“Kejaksaan itu pengendali perkara, atau pemilik perkara (dominus litis), sebab ia satu-satunya badan yang secara absolut dan monopolistik yang bisa melakukan penuntutan, sekaligus bisa menghentikannya, bahkan hakim sekalipun tidak bisa memaksakan dan hanya pasif sebelum kejaksaan melimpahkan kepadanya,” ujarnya. 

“Dalam kasus ini, saya melihat bahwa ini bukan tindak pidana. Keyakinan tidak bisa dipidana, maka saya mendesak agar kejaksaan menghentikan perkara ini karena bukan tindak pidana,” ujarnya lagi. 

Senada dengan Sugeng, Wakil Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Virgo Sulianto Gohardi, ikut mendorong agar semua pihak proaktif memberikan perlindungan terhadap ribuan mantan anggota Gafatar yang menjadi korban pengabaian negara. 

“Ini bukan pertama kalinya negara absen terhadap perlindungan warga negara, oleh karenanya kami mendorong agar negara jangan parsial mengatasi kekerasan-kekerasan terhadap warga negara, melainkan dilakukan secara komprehensif,” ujar Virgo. 

Menurut PP Pemuda Muhammadiyah, secara ideologi, ajaran Gafatar menyimpang, namun tidak berarti negara abai. Di Indonesia, apapun agama dan keyakinannya negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan.

Perwakilan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Henrek Lokra juga menyimpulkan bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan dalam melihat kasus kekerasan terhadap mantan anggota Gafatar. 

Pertama, mereka adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak untuk hidup, menghirup udara, dan harus dilindungi di tanah Ibu Pertiwi. 

Kedua, mereka adalah korban dari kekerasan, diskiriminasi, dan korban yang harus ditolong. Maka PGI mendorong agar pemerintah harus betul-betul hadir dan pasang badan untuk kelompok-kelompok minoritas yang selalu menjadi korban. PGI juga mengingatkan agar negara menjalankan fungsi edukasi lewat kebijakan-kebijakan yang dibuat.

Putri mantan Presiden RI ke-empat, Alissa Wahid yang juga turut hadir dalam acara konferensi pers tersebut menambahkan, negara perlu hadir agar mantan anggota Gafatar tidak mengalami nasib sama seperti orang-orang Ahmadiyah yang hidup di pengungsian selama puluhan tahun. 

“Peran negara harus jelas. Gus Dur itu pernah bilang: Indonesia ini bukan negara agama, juga bukan negara sekuler, jadi Indonesia ini jangan sampai negara yang bukan-bukan,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!