SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

JAKARTA, Indonesia—Mendung menggelayut di langit Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis sore, 16 Juni. Bukan karena langit akan menumpahkan hujan, tapi karena matahari mulai tergelincir ke arah barat.
Tapi suasana temaram itu tak menghalangi anak-anak bersarung bercengkerama dan berlarian di antara tiang-tiang dan lorong-lorong Masjid Cut Meutia yang terletak tak jauh dari Stasiun Gondangdia itu. Mereka tampak girang, sebab sesaat lagi adzan akan berkumandang. Waktunya berbuka puasa.
Sore itu, Rappler berada di antara anak-anak, orang-orang tua yang telah sepuh, dan sekumpulan remaja yang biasa aktif di masjid yang terletak di lokasi paling strategis di kawasan Menteng itu.
Sekilas jika diamati, bangunan ini memang dirancang untuk menjadi masjid. Tetapi, ternyata bangunan itu tidak didirikan sebagai masjid.
Menurut beberapa sumber, masjid ini sebenarnya adalah gedung arsitektur milik penulis dan pelukis Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Ia adalah seorang arsitek asal Belanda yang mendirikan sebuah kantor biro arsitek Bouwploeg.
Pada 1922, Pieter menekuni model bangunan arsitektur Belanda yang dipadukan dengan gaya India Timur.
Anda bisa menemukan jejak-jejak gaya arsitektur perkawinan antara Eropa dan India Timur ini di langit-langit masjid dan jendelanya.
Bukti lain bahwa gedung ini tidak diperuntukkan sebagai masjid adalah arah kiblat yang tidak segaris dengan pintu utama. Ada kemiringan sekitar 45 derajat.
Sehingga jika jamaah berkumpul untuk sholat, bagian tubuh sebelah kanan akan menghadap ke pintu utama.
Menelusuri jejak-jejak tangan Moojen tak cukup di situ, cobalah naik ke lantai dua.
Anda akan melihat sebuah ruangan yang mirip ruang kongres. Anda bisa melongok ke bawah dan melihat jamaah masjid seperti melihat sebuah konser dari balkon.
Ruas-ruas dari dinding Masjid Cut Meutia di lantai dua juga hampir serupa dengan museum atau rumah-rumah kuno Belanda. Seperti tak menyangka bahwa lantai dasar difungsikan sebagai tempat salat.
Bangunan ini ditinggalkan pemiliknya setelah perang dunia II berkecamuk, tepatnya saat Jepang berkuasa. Pada 1942-1945, gedung ini dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang.
Lalu selepas Jepang menyerah, gedung ini sempat difungsikan menjadi kantor urusan perumahan hingga kantor urusan agama.
Hingga Gubernur Ali Sadikin melihat potensi lain, gedung ini pun dialihfungsikan sebagai masjid lewat surat keputusan nomor SK 5184/1987 pada 18 Agustus 1987.
Rappler sempat bertanya kepada para pengunjung dan penjaga masjid kalau mereka tahu bahwa sebenarnya tempat yang mereka kunjungi saat ini bukan bangunan masjid pada awalnya?
Sebagian dari mereka mengaku tidak tahu, bahkan mereka juga tidak tahu kalau Ali Sadikin berada di balik pengalihfungsian bangunan ini.
Pun juga tak banyak yang tahu bahwa masjid ini tak ada kaitan historis dengan pejuang perempuan legendaris asal Aceh, Cut Meutia.
Tapi di tengah ketidaktahuan mereka, masjid ini tetap menjadi bangunan tempat beribadah yang cukup banyak dikunjungi oleh warga di sekitar Jakarta Pusat, termasuk pekerja kantoran yang hanya menumpang untuk salat. —Rappler.com
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.