Bagaimana peneliti LIPI menyiasati keterbatasan anggaran?

Kafil Yamin

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bagaimana peneliti LIPI menyiasati keterbatasan anggaran?
Peneliti harus berpikir bukan hanya tentang objek penelitiannya, tetapi juga bagaimana memperoleh hasil penelitian yang diharapkan dengan biaya yang terbatas

 

Indonesia kaya akan sumber daya hayati. Anda tak perlu menjadi orang jenius untuk mengetahui ini. Dengan memandang sekilas hutan-hutan, pulau-pulau terpencil dan kawasan laut yang begitu luas, Indonesia adalah negara kaya sumber daya mineral, energi dan hayati.

Menurut Dr. Andria Agusta, peneliti pada Pusat Riset Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia mempunyai sedikitnya 7.500 tanaman yang berpotensi obat-obatan, yang bisa mengobati berbagai penyakit berat dan ringan, dari kanker hingga infeksi.

Namun ribuan tanaman itu tetap tinggal sebagai ‘potensi’ obat, dan karena itu belum bermanfaat luas bagi pengobatan. Untuk menjadi obat-obatan, diperlukan sejumlah penelitian dan ujicoba. Potensi Indonesia dalam berbagai hal sering terhambat di sini.

Negara belum mendukung penelitian, terbukti pada alokasi anggaran yang hanya 0,6 persen dari nilai APBN. Fasilitas penelitian pun serba terbatas dan karena itu belum memungkinkan untuk melakukan inovasi-inovasi penting. Dukungan terhadap penelitian kurang karena menganggap penelitian tidak memberikan imbal balik yang konkret.

“Penelitian dianggap semacam kegiatan produksi,” kata Andria. “Kalau orang bertanya: Mana hasil penelitian ini? Mana hasil penelitian itu? Itu maksudnya produknya.”

Karena tak berujung pada produksi, penelitian dianggap cuma menghabiskan dana.

Wabah malaria yang banyak memakan korban nyawa telah mendorong berbagai penelitian untuk menemukan vaksin anti malaria. Setelah menghabiskan sejumlah dana dan waktu dua dasawarsa lebih, penelitian di bidang ini menemukan sejumlah potensi vaksin malaria yang sudah mencapai tahap uji klinis. Namun sampai saat ini, potensi-potensi vaksin itu belum juga sampai ke tahap produksi.

Parasit malaria ternyata mempunyai siklus hidup yang rumit. Dan banyak pemahaman keliru tentang bagaimana respon kekebalan tubuh terhadap infeksi malaria. Parasit malaria secara jenetik memang kompleks. Ia memproduksi ribuan antigen. Sejauh ini, vaksin anti malaria yang dihasilkan tidak menyediakan perlindungan jangka panjang. Ia hanya bisa meningkatkan sistem kekebalan untuk wabah yang akan terjadi, tidak untuk wabah berikutnya.

Gagalkah penelitian ini? Tidak. Fakta bahwa virus anti malaria itu tidak bisa berlaku umum adalah juga hasil penelitian. Tapi orang umumnya hanya siap menerima hasil yang memenuhi harapan dan keinginan, dan menganggap bila hasilnya sebaliknya, itu penelitian gagal.

Sebuah penelitian gagal kalau pekerjaan penelitian itu terhenti sebelum mencapai hasil.

Penelitian mengacu kepada pengetahuan ilmiah. Dan pengetahuan ilmiah itu bebas kepentingan. “Umumnya, peneliti kita dibebani hasil yang mengacu kepada kepentingan tertentu. Kalau kepentingan itu tidak tercapai, penelitian adalah pemborosan dan kesia-siaan,” kata Andria, yang juga koordinator Eksplorasi Sumber Hayati IPH LIPI 2016.

Dengan besaran anggaran penelitian sekarang, seorang peneliti di sebuah perguruan tinggi mendapat alokasi dana penelitian sekitar Rp 50 juta per tahun. Peneliti Indonesia harus berpikir bukan hanya tentang objek penelitiannya, tapi juga bagaimana mengatasi keterbatasan biaya tapi memperoleh hasil penelitian yang diharapkan.

Salah satu cara untuk menyiasati keterbatasan dana itu adalah dengan mengadakan penelitian secara kolektif, serentak dan relatif singkat, melibatkan berbagai disiplin ilmu.

LIPI menggunakan cara ini melalui Ekspedisi Widya Nusantara LIPI ke Sumba dan Sulawesi Barat serta Papua beberapa waktu lalu, yang berlangsung selama 20 hari. Menurut Koordinator Lapangan Widya Nusantara 2016, Oscar Efendi, waktu penelitian 20 hari itu terpenuhi dengan anggaran Rp 2,6 miliar dan cukup untuk pengambilan sampel secara acak.

“Bahkan Widya Nusantara sebetulnya semacam titik temu antara inisiatif dari para peneliti, yang sudah mengajukan proposal penelitian sejak lama,  dengan strategi dan kebijakan yang dirancang para pengambil keputusan di LIPI,” kata Oscar. 

Hidayat Ashari, seorang peneliti burung, sedang mengambil sampel darah burung Kipasan Sumba. Foto oleh Kafil Yamin

“Kalau kesesuaian antara inisitaf peneliti itu tidak ada, mungkin proses persetujuan rencana penelitian itu akan memakan waktu lebih lama lagi,” tambah Oscar.

Di lapangan, penelitian bukan kerja yang nyaman: Tidur di tenda, naik turun bukit, keterbatasan alat. Penuh kedaruratan. Seorang peneliti sering sulit menemukan kendaraan yang layak, makanan dan minuman yang memenuhi kebutuhan energinya. Bahkan di tempat-tempat tertentu, mereka harus tahan tak mandi dan menghemat air minum karena ketersediaan air terbatas.

Mungkin pengembangan riset bisa dipercepat jika pendanaan riset menggunakan mekanisme dana bantuan (block grant), yakni dengan mengalokasikan sejumlah dana langsung kepada lembaga riset untuk jangka waktu tertentu beserta teknis penggunaannya.

Dengan cara demikian, pencairan dana riset tidak akan memakan waktu, demikian pula cara penggunaan dan pelaporannya. Peneliti tidak akan lagi disibukkan oleh pekerjaan administrasi keuangan dan bisa lebih memusatkan perhatian kepada kegiatan riset mereka.

Namun selain cara alokasi dana, sarana dan prasarana riset pun belum menunjang kegiatan penelitian yang kredibel.

Masalah-masalah seperti ini tak kunjung teratasi. Akibatnya sudah diduga: Minat kepada kerja penelitian menurun. Dunia penelitian bergerak lambat, seperti berjalan di titian. Dampak lebih lanjut, Indonesia miskin inovasi, terobosan, bahkan sekedar langkah maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lebih memilih jadi konsumen tetap negara-negara maju.

Di bidang farmasi, misalnya, para peneliti LIPI sangat peduli dengan ketergantungan Indonesia pada obat-obat impor, tertantang untuk menemukan sumber-sumber bahan obat di dalam negeri. Dalam sejumlah kasus, usaha-usaha itu sudah menunjukkan hasilnya. Namun untuk sampai kepada tahap siap diproduksi massal, perlu pengujian dari berbagai aspek. Tentu saja ini perlu investasi.

Di sini duduk perkaranya, sangat sulit menemukan pihak yang mau berinvetasi dalam produksi obat baru. Berisiko. Mendingan jadi distributor obat yang sudah ada di pasaran. Jelas pasarnya, jelas biayanya, dan jelas keuntungannya.

Tapi apakah investasi pada produksi baru di dalam negeri berisiko? Tidak menguntungkan? Untuk jangka pendek memang berisiko dan tidak begitu menguntungkan dibanding usaha jadi makelar obat-obat asing di dalam negeri. Tapi dalam jangka menengah dan panjang, investas pada produksi obat nasional sangat menguntungkan rakyat dan Pemerintah.

Obat yang diproduksi sendiri, dari bahan-bahan dalam negeri, oleh ahli farmasi negeri sendiri, akan lebih murah dan mudah didapat. Ini membuka akses luas masyarakat kepada kesehatan, khsusnya obat-obatan.– Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!