Vaksin palsu, dari jalur peredaran hingga bahayanya

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Vaksin palsu, dari jalur peredaran hingga bahayanya
Vaksin palsu: dari peredaran hingga dampak. Apa yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kejadian ini terulang kembali?

 

JAKARTA, Indonesia – Masyarakat Indonesia dibuat gempar dengan temuan vaksin palsu yang beredar di 28 sarana kesehatan di tanah air. Fakta ini terungkap setelah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membekuk Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurahman pada Selasa, 21 Juni, lalu.

Pasangan suami istri ini ditangkap di kediaman mereka di perumahan Kemang Pratama Regency, Bekasi. Dari penangkapan itu, polisi menyita barang bukti berupa 36 dus atau sekitar 800-an ampul vaksin palsu. Hasil penyidikan mengungkapkan peredaran vaksin palsu ini telah menjalar ke berbagai daerah di Indonesia.

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan vaksin palsu? Apa bahayanya dan bagaimana jalur perdagangannya? 

Jalur ilegal dan vaksin oplosan

BPOM DAN VAKSIN PALSU. Plt. Kepala BPOM Bahdar Johan memaparkan tentang vaksin palsu di Jakarta, Selasa, 28 Juni 2016.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, sarana kesehatan hanya bisa mengambil vaksin dari jalur resmi. Maksudnya, dari produsen dan distributor vaksin yang sudah terdaftar.

Beberapa nama produsen resmi yang disebutkan Plt. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Bahdar Johan adalah Sanofil dan Biofarma. Terkait dengan distributor, menurut dia, tak semua apotek bisa menyediakan vaksin.

“Ada persyaratan yang harus dipenuhi,” kata dia. Salah satunya adalah keberadaan lemari pendingin khusus supaya vaksin tidak mencair selama dibawa ke rumah sakit atau klinik.

Bahdar menjamin semua yang dikeluarkan oleh produsen dan distributor resmi adalah vaksin asli. Lalu, bagaimana vaksin palsu bisa beredar di rumah sakit?

Vaksin yang bisa dikatakan palsu adalah yang sudah dicampur dengan bahan antibiotik lainnya. Salah satu yang sudah terbukti adalah tuberkulin yang ternyata dicampur dengan gentacimin; antibiotik yang tidak memiliki dampak apapun.

Bila lewat jalur resmi, sudah tentu tak akan lolos uji kelayakan. Maka, Bahdar memastikan vaksin ini banyak beredar di jalur ilegal. Seperti toko obat tidak bersertifikat yang ada di Pasar Pramuka atau Kramat Jati; hingga yang tidak terdeteksi pemerintah maupun aparat.

“Biasanya karena mereka suka menawarkan harga yang lebih murah. Bisa selisih sampai Rp 200-500 ribu (dari asli). Kalau (petugas) waras pasti tidak mau ambil,” kata dia. Selain itu, permintaan konsumen yang ‘tidak mau vaksin lokal’ atau ‘vaksin tidak wajib’ juga menjadi celah para freelancer ini beroperasi.

Selain itu, ada pula celah dari pembuangan limbah (kemasan sisa vaksin) yang tak sesuai prosedur dari sarana kesehatan. Botol maupun kemasan bekas ini dapat ‘didaur ulang’ untuk vaksin palsu.

“Tapi kami tidak berwenang sampai ke sana, harus dari Dinas Kesehatan,” kata dia.

Dari segi kemasan pun ada perbedaan. Menurut Bahdar, vaksin keluaran Biofarma memiliki tutup karet berwarna abu-abu. Sementara keluaran Sanofil bisa terlihat dari tanggal kadaluarsanya yang berjarak 2 tahun dari produksi.

“Kalau berbeda, maka konsumen patut curiga,” kata dia.

Dampak?

Apakah vaksin palsu ini berbahaya bagi masyarakat? Menurut Bahdar, tidak ada ancaman serius terhadap kesehatan anak.

 

“Karena dosisnya cuma 0,05 mili itu aman,” kata dia. Namun, bahaya yang sesungguhnya adalah, kepercayaan dari orang tua.

Imunisasi bertujuan supaya anak-anak terbebas dari ancaman polio, tetanus, hepatitis, dan penyakit berbahaya lainnya. Dengan terkuaknya vaksin palsu ini, orang tua kembali ragu apakah buah hati mereka benar-benar terbebas.

“Yang tadinya dikira aman, ternyata tidak,” kata dia. Karena itulah, Kementerian Kesehatan menawarkan vaksinasi ulang.

Apalagi, ketahuan kalau pembuat vaksin palsu ini sudah beroperasi sejak 2003 lalu. Berapa juta anak yang tubuhnya dialiri cairan tak bermanfaat ini dan berpikir kalau dirinya aman?

Menteri Kesehatan Nina F. Moeloek tidak akan memungut biaya apapun selama periode penyuntikan ulang ini. “Kita periksa kekebalan tubuhnya ada (vaksin) atau tidak. Kalau tidak ada, ya kita berikan vaksin,” kata dia.

Tim khusus hingga RUU pengawasan obat

Paska terungkapnya produsen vaksin palsu, Bareskrim Polri, BPOM, dan Kementerian Kesehatan akhirnya memutuskan untuk membuat satuan tugas pengawasan obat. Menurut Bahdar, BPOM akan melibatkan para produsen dari Biofarma dan Sanofil.

“Karena mereka bisa membedakan,” kata dia.

Secara terpisah, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Agung Setya mengatakan pertemuan pertama satgas akan berlangsung pada Rabu, 29 Juni. 

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan satgas penting untuk dibentuk supaya ada tindak lanjut dari temuan soal vaksin palsu.

“Dari suplai, kami dorong supaya dinolkan, ditiadakan sama sekali. Satgas nanti akan bergerak mencari titik di mana dicurigai terima vaksin ini,” kata Linda.

Selain itu, BPOM juga meminta adanya penambahan wewenang mereka dalam hal pengawasan obat. Hal ini akan dimasukkan dalam RUU Pengawasan Obat dan Makanan yang diusulkan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat kemarin.

“Kami kan tak bisa bergerak dalam hal penyadapan, maupun bergerak razia sendiri. Pada proses hulu kami tak bisa. Itu akan dievaluasi,” kata dia. Namun, ini bukan alasan BPOM untuk membela diri.

Bagaimanapun juga, mereka telah gagal mengawasi peredaran vaksin di rumah sakit dan klinik.-Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!