Jelang ‘reshuffle’ kabinet, kita perlu membaca tulisan Sri Mulyani

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jelang ‘reshuffle’ kabinet, kita perlu membaca tulisan Sri Mulyani
Ketika informasi dapat diakses seketika, publik berharap keputusan berdampak secara instan. Ekspektasi publik tinggi. Pemimpin berhadapan dengan publik yang tidak sabaran.

Kata yang paling penting dalam “kebijakan publik” adalah “publik”, yakni mereka yang terdampak atas pilihan yang diambil oleh pembuat kebijakan.  

Direktur Pengelola Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati menuliskan kalimat atas sebagai pembuka dalam tulisan yang dimuat di blog Bank Dunia pekan lalu. Tulisan itu diambil dari pidato mantan Menteri Keuangan RI tersebut saat memberikan pidato kelulusan di Universitas Virginia, Batten School of Public Policy and Leadership.

Saat itu Sri berbicara tentang 6 hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pemimpin dalam membuat kebijakan.

Mulai dari pentingnya memiliki kompetensi teknis dalam bidangnya sehingga mampu membuat keputusan dengan informasi lengkap; dihadapkan pada situasi harus memilih dan pilihannya adalah pilihan yang tidak ideal, transparansi, dan kepemimpinan; hingga ke friendly reminder, bahwa apapun yang diputuskan, seyogyanya mengutamakan kepentingan publik.

Saya membaca kembali tulisan Sri seraya mengikuti pelantikan Tito Karnavian sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia, pada Selasa 13 Juli. Sejak era media digital, belum pernah saya melihat respon publik (terutama netizen) yang luar biasa terhadap sosok anak Palembang yang kini menyandang bintang 4 itu. 

Ketika namanya muncul sebagai calon tunggal Kapolri, sedikitnya ada tiga trending topic di Twitter menyangkut nama Tito. Ketika Tito akhirnya dilantik, kata “Kapolri” juga ikut menjadi trending topic di Twitter.

(BACA: 5 pekerjaan rumah bagi Kapolri Tito Karnavian)

Kapolri baru Jenderal Polisi Tito Karnavian (kiri) berjabat tangan dengan pejabat Kapolri sebelumnya Jenderal Polisi Badrodin Haiti (kanan) usai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, pada 13 Juli 2016. Foto oleh Yudhi Mahatma/Antara

Sri mengatakan bahwa yang terdampak oleh kebijakan publik datang dari beragam generasi. Apakah mereka bagian dari generasi X, Y, atau Z, publik mengharapkan hal yang sama: Kemakmuran dan martabat, kesetaraan dan peluang, keadilan dan keamanan.  

Tulisan Sri menggambarkan di era digital ketika orang mengakses informasi terutama dari telepon seluler pintar (smartphone), ada kecenderungan orang kian tak sabaran, mudah marah, dan memiliki ekspektasi tinggi. Publik berharap setiap keputusan memiliki dampak instan. Padahal tidak selalu seperti itu.

Perilaku di atas karena di era digital juga membuat publik mudah terbelah. Melihat sesuatu secara hitam dan putih. Berharap solusi cespleng untuk setiap persoalan. “Situasi yang menantang bagi pembuat kebijakan publik,” kata Sri.

Bagi saya, bagaimana publik bereaksi atas pengangkatan Tito digambarkan secara gamblang oleh tulisan itu. Tito berhadapan dengan ekspektasi tinggi, tidak cuma dari yang mengangkatnya, yaitu Presiden Joko “Jokowi” Widodo, melainkan – dan ini yang lebih penting— datang dari ekspektasi publik.  

Ekspektasi yang dalam hitungan menit bisa berubah dari pujian menjadi cercaan, yang bergulir dari platform media sosial yang satu ke yang lain. Berpindah dalam hitungan detik dari grup komunikasi digital yang satu ke yang lain.

Ini yang kita lihat selama dua pekan proses arus mudik dan arus balik Lebaran 2016. Rasa frustrasi, capek, marah, gemas, ditumpahkan di media sosial oleh mereka yang belasan, bahkan puluhan jam terjebak di jalanan.  Kemarahan memuncak kala ada menteri yang membantah bahwa 12 orang yang meninggal dunia di jalur mudik Brebes terjadi karena kelelahan macet. 

Meskipun pada akhirnya Kementerian Perhubungan menggelar jumpa pers, pada 13 Juli, dan menjelaskan bahwa proses mudik tahun ini berjalan lancar, ingatan sebagian publik adalah “macet horor di Brexit, yang terparah tahun ini”. 

Brexit adalah Brebes Exit atau pintu keluar tol Brebes Timur. Istilah Brexit di Indonesia sendiri digunakan setelah adanya popularitas Brexit ketika pendukung “leave” memenangi referendung di Inggris untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa.

Apa yang menjadi topik hangat dalam dua pekan terakhir itu merupakan contoh terbaru, bagaimana ekspektasi publik terhadap pemerintahan Jokowi. Janjinya adalah lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya. Janjinya lebih transparan. Janjinya mengangkat pejabat yang profesional, bukan sekadar penugasan dari partai politik, sehingga bermasalah dalam kompetensi teknis di bidangnya.

Pemerintahan Jokowi sudah memasuki usia 21 bulan. Sejumlah keputusan baik diambil. Salah satunya yang paling awal adalah realokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk menghilangkan lemak-lemak ekonomi.  

Ada 12 paket ekonomi, yang terutama dimaksudkan untuk meningkatkan gairah investasi dan perdagangan, juga kemudahan di sektor keuangan bahkan ketenagakerjaan. Inipun masih dikritik karena aturan pelaksanaan belum rampung. Lalu pengangkatan Tito Karnavian sebagai Kapolri juga mendapat pujian.

Masalahnya, yang kini hangat dalam ingatan publik adalah macet horor dan harga daging yang tinggi. Lalu solusinya impor. Bahwa sebagian persoalan adalah akibat dari keputusan di masa lalu, di era presiden sebelumnya, sebagian publik tak mau tahu. Karena janjinya semua akan lebih baik.  

Padahal, sebagaimana kata Sri Mulyani, dampak sebuah kebijakan tidak seketika. Boleh jadi baru dirasakan ketika yang membuat kebijakan sudah tidak menjabat lagi. Kita melihat contohnya dengan sejumlah peresmian proyek jalan, jembatan, sampai penggunaan pesawat kepresidenan. Semua dimulai di era kepemimpinan sebelumnya.  

Enam menteri baru Presiden Jokowi saat pelantikan pasca reshuffle kabinet jilid pertama pada 12 Agustus 2016. Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler

Suasana kebatinan ini yang menggayut di benak publik manakala isu reshuffle kedua mengemuka. Jokowi tidak punya ruang untuk tidak memuaskan dalam menyusun ulang kabinetnya, jika reshuffle jadi dilakukan.

(BACA: 5 hal yang membuat ‘reshuffle’ tidak berarti

Tulisan Sri di atas bisa menjadi rujukan bagi Jokowi untuk mencari pengganti menteri-menteri yang harus didepak keluar dari kabinet. Mulai dari mereka yang kinerjanya buruk, hanya menonjol karena memproduksi kegaduhan, sampai akomodasi terhadap parpol yang merapat ke lingkar kekuasaan. 

Tapi, saya berpikir tulisan itu justru membuat Jokowi makin pusing.

“Menentukan siapa menteri yang perlu diganti lebih mudah. Parameternya ada, termasuk dari penilaian publik.  Mencari gantinya, itu yang lebih sulit,” ujar seorang petinggi Istana kepada saya beberapa waktu lalu.  

Jokowi juga berkejaran dengan perkembangan situasi global yang tak menentu. Siapapun yang akan diundang masuk memperkuat kabinet dalam reshuffle jilid 2 ini, haruslah sosok yang punya integritas dan kredibilitas sehingga mampu membangkitkan kepercayaan publik.  

Contohnya, sosok seperti Sri Mulyani yang terbukti bersinar di panggung dunia meskipun “mental” dari kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Jika Jokowi gagal memenuhi ekspektasi publik maka apa yang disampaikan Prof Richard Robinson saat memberikan kuliah di Universitas Melbourne, Australia pekan lalu, menemui kenyataan. Indonesia dipandang tak mampu memproyeksikan kekuatannya ke panggung dunia. 

Indonesia dan para pemimpinnya sibuk dengan urusan domestik. Banyak tersandung-sandung pula. Contohnya, ya panitia mudik nasional dan panitia stabilitas harga daging sapi. —Rappler.com

Baca laporan Rappler tentang reshuffle kabinet:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!