Terumbu karang Indonesia rusak, sumber makanan dan obat-obatan terancam

Jennifer Sidharta

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Terumbu karang Indonesia rusak, sumber makanan dan obat-obatan terancam
70 persen terumbu karang di Indonesia rusak, dan secara global 50 persen terumbu karang di dunia rusak.

UJUNG KULON, Indonesia –  Terumbu karang memiliki berbagai manfaat bagi manusia untuk bahan makanan, obat-obatan, dan kosmetik.

Sayangnya, 70 persen terumbu karang di Indonesia sudah rusak. Tragisnya lagi, secara global, 50 persen terumbu karang juga sudah rusakan.

Anwar Purwoto dari World Wildlife Fund (WWF) Indonesia mengingatkan dampak kerusakan terumbu karang bukan hanya memengaruhi masyarakat yang hidup di pantai, tetapi juga di kota.

“Terumbu karang itu pusat makanan, pusat obat-obatan, dan pusat kosmetik,” kata Anwar dalam konferensi pers di Ujung Kulon, Jawa Barat pada 27 Juli 2016.

Ia menjelaskan bahwa terumbu karang dijadikan bahan pembuatan makanan, obat, dan kosmetik sehingga jika koral punah, manusia akan mengalami kendala dalam memproduksi barang-barang tersebut.

Dalam rangka melestarikan terumbu karang sekaligus memeringati Hari Konservasi Alam Internasional pada 28 Juli, susu Hilo bekerja sama dengan WWF Indonesia mengadakan aksi Hilo Green Action: Revive the Reef.

Secara simbolis sejumlah terumbu karang ditanam di Perairan Pulau Badul, Taman Nasional Ujung Kulon. Total 12.500 terumbu karang, dari 2 jenis yaitu terumbu karang cemara dan jamur, selanjutnya akan ditanam dan dipantau oleh tim WWF Indonesia serta Paniis Lestari, masyarakat lokal binaan WWF Indonesia sejak 2002.

 “Bukan berarti terumbu karang yang lainnya ga bisa ditanam tapi 2 jenis ini tumbuhnya cepat sekali,” urai Toni dari komunitas Paniis Lestari. 

Penanaman dilakukan dengan cara menempelkan bibit karang yang distek atau dipotong dari indukan karang hasil budidaya pada media substrat. Bagian berlendir hasil potongan itu kemudian ditempel ke semacam batu pipih dan diikat dengan pita kole agar potongan koral tidak terbawa arus laut.

Kemudian, bibit karang diletakkan di atas rak beton yang telah diletakkan di permukaan dasar laut, sekitar tiga meter kedalamannya karena terumbu karang hanya bisa hidup di bagian laut yang ditembus sinar matahari. Setiap rak berisi 25 koloni terumbu karang.

Perairan Pulau Badul di Ujung Kulon dipilih sebagai lokasi penanaman terumbu karang atas saran dari WWF Indonesia. “Karena WWF yang tahu titik-titik mana yang perlu di-rejuvenate terumbu karangnya,” urai Head of Hilo Green Committee, Angelique.

 Demi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat

 Sejak 2002, WWF Indonesia membina warga Kampung Paniis untuk menanam terumbu karang. Sekitar empat tahun kemudian, para warga membentuk Paniis Lestari, komunitas pelestari terumbu karang.

“Prosesnya trial dan error,” kata Yuyun Kurniawan, Project Leader proyek Ujung Kulon dari WWF Indonesia.

Awalnya mereka mencoba membuat rak dari bambu, tetapi kemudian diperbaiki hingga sekarang memakai rak beton.

Yuyun menambahkan bahwa semua koloni terumbu karang ditandai dengan “geo tagging” dan diukur pertumbuhannya serta dampaknya terhadap keberagaman hayati ikan-ikan di sekitarnya.

“Untuk membuktikan pada masyarakat gimana lingkungan waktu sebelum dan sesudah penanaman (terumbu karang),” ujar Yuyun, menambahkan itu dilakukan mereka untuk memperlihatkan kontribusi terumbu karang dan lingkungan terhadap masyarakat.

Lantaran, WWF Indonesia mencoba meningkatkan kualitas kawasan Ujung Kulon sebagai pariwisata lingkungan agar perekonomian masyarakat tidak bergantung di daratan saja sehingga warga tidak mengganggu habitat Badak Jawa.

Sejak 1962, WWF Indonesia telah berupaya melestarikan Badak Jawa, yang dahulu tersebar di Asia tetapi kini hanya bisa ditemukan di Ujung Kulon.

“Intinya kita ingin menyelamatkan hutan satwa dan yang ada di sekitarnya,” tutur Anwar. “Hutan dan satwa bisa selamat kalau masyarakat hidup sejahtera.”

Pariwisata bisa merusak alam

Leni dari komunitas pecinta lingkungan laut, Sea Soldier, menuturkan, “Sekarang banyak orang bukan untuk menyayangi alam, explore alam, tapi demi kepentingan pribadi, hanya untuk sebuah foto dia merusak terumbu karang (melalui wisata yang merusak lingkungan). Pengennya sih ke depannya, siapapun benar-benar kalau mau foto, foto, tapi tidak merusak. Jadi mereka lebih peduli (pada alam).”

Mengantisipasi hal seperti itu, WWF Indonesia telah melakukan uji coba dampak pariwisata ekologi terhadap lingkungan, dengan pencatatan gangguan dari perahu yang digunakan hingga suara kebisingan untuk mengukur caring capacity atau daya dukung lingkungan untuk menerima turis dalam suatu kawasan.

“Sehingga kontribusi yang kami inginkan pada ekonomi masyarakat ga merugikan lingkungan,” ucap Yuyun.

Founder komunitas Sea Soldier sekaligus brand ambassador Hilo Revive the Reef, Nadine Chandrawinata, menambahkan, “Semakin banyak wisatawan yang datang terkadang dari pihak pemerintah daerah lupa… …ternyata tumbuhan (lingkungan) punya soul tapi mereka ga punya mulut (untuk protes ketika alam dirusak manusia).”

Nadine juga merekomendasikan mengubah gaya hidup untuk melindungi lingkungan, seperti dengan tidak menggunakan sedotan serta kantong plastik.

“(Itu adalah) sebuah statement bagi kita sendiri bahwa sikap sederhana tapi berpengaruh besar dan itu berdampak menyentil orang,” kata Nadine. “Memang ga ada yang ngelihat dan negor tapi mau ga ngelakuin untuk diri kita sendiri dan lingkungan.”

Namun, Nadine menambahkan bahwa bukan berarti kita berhak menghakimi dan memaksa orang lain melakukan apa yang kita inginkan, tetapi dengan melakukan apa yang menurut kita benar, kita bisa menjadi contoh bagi orang lain.

“Apakah kita sudah tegas mengubah gaya hidup kita?” ucapnya.

Senada dengan Nadine, Mawar dari komunitas anak muda pecinta lingkungan, Hilo Green Community mengatakan, “(Melalui kegiatan sederhana) Kita bisa jadi inspirasi anak-anak muda bahwa, ayo, ga cuma mereka yang bener-bener bisa terjun, ayo kita bisa loh (berkontribusi melestarikan alam).” – Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!