corporate social responsibility

Napi anak-anak: Merangkai harapan di balik jeruji

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Napi anak-anak: Merangkai harapan di balik jeruji
Yayasan membekali narapidana anak-anak dengan berbagai keterampilan

SEMARANG, Indonesia – Kedua tangan AG tampak cekatan meraih secuil kartu perdana yang berserakan di depannya. Jemari tangan remaja tanggung itu lalu menggapai gunting.

Ia memotong kecil-kecil lembaran kartu yang mudah didapatkan di tiap toko penjualan pulsa elektronik. 

AG, begitulah namanya disembunyikan kepada Rappler. Beberapa lama, ia asyik mengguntingi lembaran kartu perdana lalu direkatkan satu sama lain sampai membentuk miniatur vespa.

Teman-temannya pun melakukan hal serupa. Mereka tidak canggung saling membantu. Sepertinya, membuat kerajinan miniatur vespa mampu menepis rasa bosan mereka selama meringkuk dalam jeruji besi di Lapas Klas IA di Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah.

“Saya pengin secepatnya bebas dari sini,” kata AG kepada Rappler pada Sabtu, 20 Agustus.

AG merupakan satu dari belasan bahkan puluhan narapidana anak asal kawasan Kuningan, Semarang Utara yang dipenjara sejak 2015 karena terlibat pengeroyokan yang membuat luka permanen pada korbannya.

Tapi, hari ini, ia tetap bersemangat mengikuti pelatihan keterampilan membuat miniatur vespa di ruang training lapas. Ia berulang kali beranjak dari tempat duduknya, untuk meraih lembaran kartu perdana, kemudian dibuat vespa lagi. Rutinitas itu justru membuatnya sadar akan kebersamaan dalam duka yang sama.

“Kalau keluar, bekal ketrampilan ini akan saya praktekan di luar sana,” kata AG.

“Minimal buat ngajari adik-adik di rumah. Saya kepengin banget lekas membantu orangtua bekerja,” ujarnya lagi.

Tentunya, bukan hanya AG yang berharap seperti itu. Teman-teman satu sel AG punya impian yang sama.

Proses pelatihan handycraft bagi narapidana anak di Lapas Kedungpane itu didampingi oleh para aktivis Yayasan Setara. Tiap Jumat, aktivis Setara menyapa anak-anak di sana untuk memompa semangat agar tak patah arang menggapai cita-cita yang tertunda.

“Ya, harapan-harapan kecil tersebut sangat bermakna buat mereka,” kata Siti Utami, Koordinator Proyek Hukum Anak Yayasan Setara, yang mendampingi narapidana anak di Kedungpane.

Ika Camelia, Direktur Yayasan Setara, mengatakan pembekalan bagi narapidana anak dengan berbagai keterampilan agar dapat hidup lebih baik saat menghirup udara bebas nanti.

“Akan tetapi, saya menyayangkan masih ada segelintir orang yang justru memperalat mantan narapidana anak untuk berbuat kejahatan lagi sehingga membuat si anak kembali masuk ke penjara,” keluhnya.

Potret ketidakberdayaan anak dalam bingkai lukisan kopi

Potret ketidakberdayaan anak dalam bingkai lukisan kopi. Foto oleh Fariz Fardianto

Saat ini, sejumlah seniman di Semarang ikut bergerak menyemangati anak-anak di Kedungpane agar dapat menjadi manusia yang optimistis. Para perupa dan seniman instalasi pun menggelar pameran lukisan di Nescology, kafe unik milik pencipta kebaya dress, Anne Avantie.

Mahmud El Khadri, kurator pameran sengaja menggelar acara bertajuk ‘On Heart For Second Hope’ demi meningkatkan solidaritas sekaligus menguatkan mental anak-anak yang terkena masalah hukum seperti AG.

Menariknya, ia mengajak 45 seniman melukis dengan menggunakan cairan kopi, sebagai simbol kesuraman hati tiap anak yang tengah mendekam di penjara.

“Tiap lukisan akan dilego Rp 5 juta hingga Rp 50 juta, dan hasilnya dipakai membangun sanggar rehabilitasi mental anak yang pernah tersangkut dengan hukum,” ujar Mahmud.

Acara pameran yang akan berlangsung sampai Sabtu malam, 27 Agustus, ini memajang lebih dari 80 lukisan dan seni instalasi yang dibuat dari serbuk dan pohon kopi.

Panitia berharap, eksplorasi kopi dalam bingkai lukisan dapat menarik minat pecinta seni dari dalam maupun luar kota. “Serbuk kopi dan pohonnya dieksplor jadi karya bernilai seni tinggi,” tambahnya.

Sementara itu, ajang pameran lukisan kopi di Nescology disambut positif oleh para seniman dari penjuru daerah. Seniman dari Yogyakarta, Palembang, Surabaya, Semarang, Bali hingga Bandung ikut terlibat dalam acara itu. Salah satunya, Mona Palma, seorang seniman kontemporer.

Ia yang semula bergelut pada desainer ruangan harus berpacu dengan waktu demi merampungkan dua instalasi pohon kopi. Selama tiga minggu, ia merampungkan dua instalasi yang diberi nama ‘Cinta Versus Penolakan’ dan ‘Masih ada Pemulihan’.

Mona ingin menyampaikan betapa rapuhnya hati anak-anak yang tercampakan karena tak dikehendaki lahir ke dunia. Simbol-simbol kerapuhan digambarkan empat lukisan yang digantungkan horizontal. Ada guratan-guratan kekelaman yang muncul di tiap lukisan.

“Itu simbol hati anak yang dibayangi kekelaman. Namun, esok masih ada harapan dengan cinta kasih luar biasa,” katanya. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!