Perlukah buzzer berkode etik?

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perlukah buzzer berkode etik?
Peraturan dalam Etika Pariwara Indonesia menuliskan kalau media sosial pribadi tidak boleh digunakan untuk iklan, kecuali telah mencantumkan sebelumnya

JAKARTA, Indonesia — Di Indonesia, Anda tak perlu menjadi artis untuk dapat mengiklankan sesuatu. Cukup miliki pengikut Twitter lebih dari 2 ribu, maka akan ada klien yang mendatangi Anda untuk kerjasama beriklan.

Pada 2013 lalu, kantor berita Reuters memuat pemberitaan tentang para buzzer di Indonesia. Tentu saja hal ini sangat mencolok, mengingat Jakarta saat itu adalah kota dengan pengguna Twitter terbanyak di dunia. Berbagai kantor berita lokal pun mulai santer meramaikan para pendengung ini.

Bagaimana tidak, hanya dengan modal pengikut, jempol, dan paket internet, para buzzer yang rata-rata masih berusia di bawah 30 tahun ini bisa mendulang uang. Pendapatan mereka pun tak main-main.

Buzzer dengan pengikut 2 ribu akun bisa dibayar Rp 250-300 ribu per cuitan; sementara yang mencapai puluhan ribu bisa memperoleh hingga jutaan.

(BACA: Bisakah mereka mendengung dengan hati?)

Isunya pun bisa beragam, sesuai dengan klien dan arahan briefing. Mereka bisa mengiklankan suatu produk tertentu, atau menggaungkan berbagai isu sosial lainnya. Bahkan, ada juga yang bersedia menggaungkan isu tertentu tanpa perlu menerima bayaran.

Masih tak resmi

Tiga tahun berlalu setelah pemberitaan marak oleh kantor berita internasional itu, namun profesi buzzer masih dikategorikan sebagai tak resmi.

“Masih belum dianggap sebagai profesi, dan belum ada organisasi yang menaunginya,” kata pengamat media sosial, Nukman Luthfie, saat dihubungi Rappler pada Jumat, 2 September 2016 lalu.

Hal inilah yang membuat profesi buzzing ini belum memiliki aturan yang benar-benar baku.

Meski demikian, salah satu buzzer Twitter, Aulia Masna, mengatakan aturan tentang beriklan di media sosial sendiri sebenarnya sudah tercantum dalam Etika Pariwara Indonesia amandemen 2014. Pasal 4.6.9 menuliskan kalau media sosial pribadi tidak boleh digunakan untuk iklan, kecuali sebelumnya telah secara jelas menyebutkan adanya unsur iklan komersial tersebut. 

Kalau menurut etika pariwara Indonesia, buzzer perlu memberikan info yang jelas ketika sedang mempromosikan produk, karena pada dasarnya sponsored post atau nge-buzz itu kan beriklan,” kata Aulia.

Namun, hingga saat ini belum ada format resmi dari Dewan Periklanan Indonesia (DPI) yang bisa diikuti para buzzer.

Karena itu, kebanyakan pendengung bekerja sesuai dengan kenyamanan mereka sendiri.  Pria yang lebih dikenal sebagai @amasna di Twitter ini, misalnya, hanya mengambil proyek yang sesuai dengan bidangnya.

“Kalau saya sih produk, layanan, atau tujuannya harus sesuai dengan minat supaya minimal masih terlihat kompetensi dan relevansinya secara keseluruhan untuk saya sendiri dan audience atau followers,” katanya.

Bila tidak, pria yang juga bekerja sebagai jurnalis digital ini tak akan mendengungkan apa-apa.

Terkait pembayaran pun, ia mengaku tak mematok tarif. Kadang, ia meminta bayaran sesuai suasana hati saja. “Soalnya itu, kan, pemasukkan tak tetap,” akunya.

Tata cara mendengung

Lain lagi dengan Ahmad Vesuvio, yang sempat menjadi admin buzzer untuk akun @AyoSehat pada 2010. Ia mengikuti rangkaian briefing yang diberikan oleh kliennya, sebuah perusahaan penyedia air minum kemasan.

“Dijelaskan bahwa saya tidak boleh menyebutkan merek dan nama produk, juga tidak boleh mengajak masyarakat untuk mengonsumsi produk tersebut; cukup menulis ajakan kampanye pentingnya air mineral terhadap kesehatan,” kata Ahmad kepada Rappler.

Bila dilanggar, maka ia akan didiskualifikasi dan kontraknya pun batal.

Dari pengalaman itu, ia berasumsi kalau buzzing yang baik adalah dengan tidak menyebutkan nama produk. Namun, dalam proyek yang berbeda, lain lagi tata caranya.

“Kami sempat kerjasama dengan Bango Food Fest; memang kami tidak menambahkan tagar #ad, tapi kami jelas-jelas menampilkan gambar produk, logo, dan merek dagang produk,” kata Ahmad.

Dari situ, menurutnya, masyarakat dengan sendirinya sadar kalau cuitan tersebut berupa endorsement.

Ahmad sendiri memiliki tim Ayo Sehat untuk memutuskan apakah suatu proyek buzzing akan diterima atau tidak. Mereka akan membahas permintaan selama 2 minggu hingga 1 bulan, tentang pro-kontra dari efek buzzing yang akan dilakukan.

“Membahas konten dan bentuk kalimat apa yang akan kami gunakan, membahas waktu penerbitan buzzing dan di sela-sela kultwit yang mana, masalah legal,” katanya. Bila berdampak buruk, maka akan langsung ditolak.

Sekali lagi, proyek-proyek yang akan diterima selalu bergantung pada kebijakan masing-masing. Sepertu Ahmad di Ayo Sehat, ia hanya akan mengerjakan proyek di bidang kesehatan, yang sesuai dengan gerakan dan latar belakangnya.

Perlukah etika?

Bila kembali ke kebijakan masing-masing, maka perlukah dibuat kode etik bagi para pendengung, mengingat profesi ini sudah banyak diakui efektivitasnya?

Baru-baru ini, situs TruthinAdvertising.org menyerang keluarga selebriti Kardashian, yang kerap memuat muatan iklan tanpa memberikan keterangan. Menurut situs tersebut, para artis ini melanggar aturan Federal Trade Comission (FTC) Amerika Serikat.

Sama dengan Etika Pariwara, FTC juga mengatur supaya para artis jelas menuliskan apakah unggahan mereka tersebut merupakan iklan atau bukan. Pada akhirnya, Kim Kardashian-West dan saudara-saudaranya pun mengubah format keterangan gambar iklan mereka dengan tambahan tagar #ad.

Perlukah para buzzer di Indonesia melakukan hal serupa?

“Sulit mengatur mereka [buzzer]. Tapi kan ada yang nge-brief  mereka dari  agency. Setahu saya sudah ada kode etik agency, jadi mereka yang diminta memenuhi kode etik periklanan,” kata Nukman.

Bagaimana dengan para pelaku sendiri? Apakah mereka perlu mencantumkan diri sebagai buzzer di biodata akun media sosial mereka?

Aulia sendiri tidak menuliskan hal tersebut, namun menurutnya, ditulis pun tak akan memberi pengaruh banyak. “Karena yang mereka lihat, kan, post-nya, bukan orangnya,” kata Aulia.

Sementara Ahmad berpendapat kalau muatan yang berunsur iklan, sebaiknya memang diberi penanda tagar #ad, apalagi kalau berbayar. Demikian juga pada gerakan sosial.

Ia mengakui memang ada resiko yang harus ditanggung. “Mengenai gerakan sosial berbayar, lalu ketahuan, memang berdampak kepada orang yang jadi tidak mau berpartisipasi,” kata Ahmad.

Karena itu, penting sekali menentukan mana proyek buzzing yang akan diambil atau tidak. Hal ini juga dapat mencegah adanya lashback terhadap kampanye yang dilakukan.

Hal senada juga disampaikan Aulia. Para buzzer sebaiknya mendalami proyek apa yang akan mereka ambil, termasuk klien dan tujuannya, untuk menghindari komentar negatif.

“Selain itu, tentu saja supaya bisa menjelaskan lebih kepada followers tentang proyek yang dikampanyekan. Masih banyak buzzer yang hanya tahu sebatas dari briefing yang diberikan,” kata Aulia.

Bila tidak, maka akan berakhir seperti kampanye #NoWitchHuntKarHut kemarin, yang berakibat pecahnya persahabatan dan relasi antar buzzer dan agensi.

Tentu saja, perpecahan bukanlah tujuan akhir dari kampanye tentang kebakaran hutan itu, bukan?-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!