Menanti rehabilitasi sebelum mati

Ari Susanto
Menanti rehabilitasi sebelum mati
'Dulu jumlah kita banyak, sekarang tinggal sepuluh orang. Lebih banyak yang sudah meninggal'

 

SOLO, Indonesia – Daliyo dulu seorang carik desa di Boyolali, Jawa Tengah. Sejak Oktober 1965, hidupnya berubah drastis, dari seorang pamong desa menjadi pesakitan, dan seumur hidup menyandang status tahanan politik (tapol).

Seseorang yang tak suka  padanya telah menyebar fitnah bahwa ia seorang komunis dan kemudian melaporkannya kepada tentara. Daliyo mendekam di tahanan, sementara istrinya diambil orang.

Setelah keluar dari tahanan, Carik Daliyo sering mengumpulkan kawan-kawan yang senasib di rumahnya. Mereka semua sudah berusia senja. Ada mantan tahanan penjara kota, ada pula bekas tapol Nusakambangan dan Pulau Buru. Semuanya adalah korban operasi pembersihan para terduga pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh militer.

Daliyo sudah meninggal beberapa waktu lalu. Tetapi, kawan-kawannya masih sering berkumpul di rumahnya, membicarakan masa tua mereka yang tak kunjung diakui oleh negara sebagai korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.  

“Dulu jumlah kita banyak, sekarang tinggal sepuluh orang. Lebih banyak yang sudah meninggal,” ujar Karep, salah satu penyintas tragedi 65.

Dua orang penyintas yang pernah menuturkan kisahnya pada Rappler beberapa waktu lalu, Bronto dan Suti, belum lama ini juga tutup usia karena sakit. Cita-citanya menyaksikan rekonsiliasi antara pelaku dan korban tragedi kemanusiaan setengah abad lalu itu belum tercapai.

Bronto adalah ketua Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) Solo. Ia mantan perwira Angkatan Darat yang loyal pada Presiden Sukarno, dan menentang operasi pembersihan yang membabi buta di bawah komando Suharto. Ia ditahan karena dianggap melindungi para tokoh PKI.

Sedangkan Suti adalah mantan aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang ditangkap pada Oktober 65 akibat berita palsu bahwa organisasinya di Jakarta telah menyiksa para jenderal yang diculik di Lubang Buaya, Jakarta. Ia ditelanjangi, dijemur, dan nyaris dieksekusi oleh tentara.

Hidup memprihatinkan

Sementara sebagian besar korban tragedi 65 yang masih tersisa saat ini hidup memprihatinkan. Di usia senjanya, mereka sering sakit-sakitan, sedangkan kondisi ekonominya serba kekurangan.  

Wagito, misalnya, penyintas di Boyolali, yang sejak bebas dari Pulau Buru pada akhir dekade 70-an selalu dibekap sakit. Saat ini ia sulit berjalan tanpa bantuan tongkat.

Wagito tak mampu berobat ke rumah sakit karena tak ada biaya. Dulu ia bertani, tetapi kini kondisi fisiknya tak lagi memungkinkan untuk bekerja.

Mereka yang ditangkap dan dipenjara telah kehilangan segalanya. Harta benda habis dijarah dan rumah mereka juga dibakar massa yang terhasut oleh propaganda anti-komunis.

Anak mereka telantar dan saat dewasa pun tak bisa bekerja di sektor formal, menjadi PNS, polisi, dan tentara. Nama mereka masuk dalam daftar hitam anak-cucu ‘pengkhianat negara’ yang mustahil mendapatkan surat keterangan kelakuan baik (catatan kriminal) dari Polsek dan Koramil.

Beberapa waktu lalu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), atas rekomendasi Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), memberikan bantuan fasilitas akses pengobatan gratis kepada korban tragedi 65 melalui buku hijau. Sayangnya, rumah sakit rujukan buku hijau sangat terbatas.

Prasasti Perisai Pancasila di Kedung Kopi, di tepi Bengawan Solo, menandai peristiwa penumpasan orang-orang yang diduga pengikut PKI. Foto oleh Ari Susanto.
Misalnya, untuk wilayah karesidenan Surakarta, hanya ada satu rumah sakit di Kota Solo yang bisa menerima layanan itu. Padahal, sebagian besar penyintas saat ini tinggal di pedesaan di luar kota.

“Belum lagi birokrasinya yang rumit, yang membuat para korban masih kesulitan untuk mendapatkan perawatan kesehatan,” kata Winarso, koordinator Sekber 65 Solo yang pernah menggelar acara seminar layanan kesehatan untuk korban 65, yang dibubarkan oleh Front Pembela Islam (FPI) di Solo tahun lalu.

Selain rumah sakit terbatas, saat ini masih banyak korban yang belum mendapat akses Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk rakyat miskin. Salah satunya adalah Hadi Pranoto, mantan anggota tentara pelajar yang 15 tahun mendekam di Nusakambangan hanya karena fitnah dari rekan sejawat yang mengincar jabatannya sebagai pegawai lembaga pemasyarakatan.

Mendesak rehabilitasi
 
Upaya pemerintah untuk mengungkap kebenaran sejarah 65 sebenarnya sudah dirintis oleh Presiden Abdurrahman Wahid, melalui wacana pencabutan Tap MPRS No XXV/1966. Tetapi, upaya rekonsiliasi kembali kabur pada era Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Presiden Joko Widodo berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus 65, namun hingga kini belum terwujud. Meskipun sudah ada upaya positif lewat penyelenggaraan Simposium 65, tetapi jalan rekonsiliasi masih panjang.

“Oktober, 51 tahun lalu, adalah bulan berdarah. Banyak orang yang tak bersalah menjadi korban dan tumbal Orde Baru,” ujar Supomo, penyintas yang kini menjadi koordinator Sekretariat Bersama Korban (SBK) 65 Boyolali.

“Kami ingin selalu mendesak pemerintah untuk segera merehabilitasi nama baik korban, karena semakin lama generasi kami semakin habis, kebenaran tak terungkap.”

Selain mendorong rekonsiliasi, sebaliknya para korban 65 juga menolak usulan tentang Suharto sebagai pahlawan nasional. Menurut mereka, gelar pahlawan bagi mantan penguasa Orde Baru itu sama dengan pembenaran genosida yang telah menelan ratusan ribu nyawa periode 65-66.

“Jika sampai Suharto diberi gelar pahlawan pada November nanti, jalan rekonsiliasi makin sulit,” kata Supomo.

Penyintas lainnya dari Solo yang juga bersaksi di International People Tribunal (IPT) di Den Haag tahun lalu, Martono, menyebut Suharto sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan massal 65. Ia adalah tahanan salah tangkap yang menjadi saksi hidup penghilangan paksa ratusan tahanan terduga kaum kiri di Solo.

 “Apa layak orang yang melanggar HAM berat diberi gelar pahlawan nasional?” gugat Martono.

Martono merupakan salah satu penyintas yang paling lantang menuntut rehabilitasi dan pengembalian hak para korban karena tragedi 65 telah merenggut hidupnya. Namun, ia sadar bahwa rehabilitasi tak akan mudah bagi generasi yang memiliki ‘sejarah yang kalah’. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.