Ini pledoi lengkap Jessica

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ini pledoi lengkap Jessica
"Saya tidak membunuh Mirna jadi seharusnya tidak ada alasan untuk memperlakukan saya seperti sampah."

JAKARTA, Indonesia (Update) – Sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Solihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso akan kembali digelar di Pengadilan Jakarta Pusat, Rabu 12 Oktober 2016.

Dalam sidang kali ini Jessica Kumala Wongso menyampaikan nota pembelaan atau pledoi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntutnya selama 20 tahun penjara.

Dalam pembelaannya, Jessica terlihat sangat emosional. Beberapa kali ia harus berhenti karena terisak. Pembelaannya memang sangat menyentuh. Berikut pledoi lengkap Jessica dalam persidangan yang sempat tertunda selama beberapa jam:

“Saya ada di sini karena saya dituduh meracuni teman saya Mirna. Saya tidak menyangka kalau pertemuan di tanggal 6 Januari tersebut adalah saat terakhir saya bertemu Mirna, apalagi saya dituduh membunuhnya. Namun saya sadar kalau tidak ada yang luput dari kehendak Tuhan yang Maha Esa. Dan selama ini saya diberikan kekuatan yang sangat luar biasa untuk menghadapi cobaan ini.” 

“Mirna adalah teman yang baik, karena Mirna memiliki sifat yang ramah, baik hati dan jujur dengan teman-temannya. Selain itu dia juga sangat humoris, kreatif, dan pandai. Walau kita jarang bertemu karena tinggal di negara yang berbeda tetap sangat mudah untuk menghabiskan waktu berjam-jam bercanda dan mengobrol pada saat bertemu.”

“Tidak pernah terlintas di pikiran saya bahwa Mirna datang dari keluarga yang siap menekan dan mengintimidasi siapapun yang mereka percaya telah berbuat hal yang buruk walau tanpa penjelasan yang pasti. Itu membuat saya berpikir apakah mereka menjadi jahat karena kehilangan Mirna.”

“Bagaimanapun juga saya tidak membunuh Mirna jadi seharusnya tidak ada alasan untuk memperlakukan saya seperti sampah. Saya mengerti kesedihan mereka dan saya pun merasa sangat kehilangan, tapi saya pun dituduh membunuh yang saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan dengan kata-kata.” 

“Sebelum kejadian saya tidak mendapatkan firasat apapun yang menunjukkan kalau hari itu akan merubah hidup banyak orang. Semua hal yang saya lakukan dan tidak saya lakukan dibesar-besarkan, seluruh rakyat Indonesia menghakimi saya.”

“Semua tuduhan kejam berdasarkan tuduhan yang saya tidak mengerti. Tapi membuat semua orang percaya kalau saya seorang pembunuh. Keluarga saya dipojokkan dan kami dibuat sangat menderita.” 

“Yang Mulia, sulit untuk menjelaskan apa yang benar-benar saya rasakan atas kejadian ini. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Apa benar ini gara-gara kopi tapi satu hal yang saya tahu dan yakinkan saya tidak menaruh racun dalam kopi yang diminum Mirna.”  

“Seringkali saya berpikir apa ada hal yang bisa saya lakukan lebih baik di hari itu untuk mengubah semuanya. Pikiran ini membuat saya sangat sedih dan tertekan. Dalam waktu yang cukup lama saya tidak bisa berupaya untuk membela diri. Walaupun kenyataan hidup saya sangat mengerikan tapi saya yakin kalau Tuhan mendengar doa saya karena ini doa orang benar yang tertindas.”

“Pada hari kematian Mirna mimpi buruk saya dan keluarga saya dimulai. Sejak di rumah duka saya sudah dituduh menaruh sesuatu di kopinya Mirna lalu polisi tanpa seragam dan identitas mulai berdatangan ke rumah. Bahkan keluarga sekitar terganggu.”

“Wartawan mulai datang ke rumah dan akhirnya saya tampil di media dan dicemooh. Setelah itu saya ditangkap di hotel dimana saya dituduh lagi mencoba untuk kabur, padahal waktu itu kami hanya mencari ketenangan dan kenyamanan yang tidak bisa didapatkan di rumah lagi. Untuk keluar membeli makan saja sulit. Mulai hari penangkapan, tekanan dari polisi semakin terlihat. Mereka terus menerus menyuruh saya untuk mengaku dengan rekaman CCTV sebagai senjata.”

“Yang Mulia, tidak perduli seberapa berat, sedih, tertekan dan hancur,  apapun dan siapapun tidak akan bisa membuat saya mengakui perbuatan yang  tidak saya lakukan dan tidak mungkin akan saya lakukan.”

“Saya ditempatkan di satu sel yang ukurannya tidak lebih 1,5 x 2,5 meter. Saya diperingatkan kalau tahanan lain akan melakukan hal yang tidak baik terhadap saya, tidak ada satu barang pun yang saya miliki dan tidak boleh dikunjungi keluarga sampai lima hari ke depan.”

“Satu satunya benda yang ada di sana adalah sepotong pakaian kotor di lantai. Sewaktu saya berbaring di sana, saya menangis dan bertanya apakah yang sudah saya lakukan sehingga saya diperlakukam seperti ini. Saya mencoba mencari orang lain karena saya sangat takut berada di sana. Saya tidak berani membayangkan bagaimana perasaan orang tua saya. Lalu saya coba mengintip dari satu-satunya celah untuk berkomunikasi, yaitu lubang kecil di pintu besi, tapi tidak ada seorang pun di sana.”

“Pada malam berikutnya direktur pimpinan umum yang menjabat saat itu datang ke sel saya dan mengajak ke satu ruangan. Dengan disaksikan penjaga dari luar ruangan dia mulai berbicara dengan bahasa Inggris bahwa dia merendahkan harga dirinya untuk datang ke tahanan. Lalu dia meminta saya mengakui tuduhan yang diberikan kepada saya dengan dalih kalau sudah memeriksa rekaman CCTV.” 

“Pada intinya dia mau mengatakan kalau saya mau mengakui maka saya akan divonis tujuh tahun bukan hukuman mati atau seumur hidup. Lalu saya kembali ke sel. Di sana saya berharap untuk bangun dari mimpi buruk ini dan berpikir kenapa mereka sangat yakin kalau saya menaruh racun di kopi tersebut. Saya benar-benar tidak mengerti apa maksud semua ini.”

“Yang mulia, salah satu pengalaman yang terberat adalah waktu rekonstruksi di Grand Indonesia. Setibanya di sana, saya melihat banyak sekali polisi baik di luar ataupun di dalam gedung. Apapun tujuan mereka itu sudah berhasil mengintimidasi. Dengan memakai baju tahanan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan, saya mendapatkan tatapan sinis dari semua orang, terutama pegawai kafe Olivier.” 

“Tapi yang meembuat saya hancur adalah pada saat melihat Arif dan Hanny dan keluarga mereka. Di balik ekspresi saya yang tenang saya hanya ingin berteriak kepada mereka kalau saya tidak membunuh Mirna. Mohon tolong saya, saya sangat menderita. Namun pada saat itu saya hanya bisa menerima perlakuan dan perasaan mereka dan berdoa semoga Tuhan memberikan jalan keluar.” 

“Tidak selesai itu saja, setelah itu saya harus berjalan menuju toko sabun. Di sore hari pada hari Minggu saya harus melewati pengunjung yang menghujat saya pembunuh berdarah dingin dan mengambil foto, sampai sekarang saya tidak tahu harus bagaimana harus menghadapi semua itu.”  

“Saat itu saya kembali ke sel dan mengeluarkan semua air mata yang tertahan seharian. Saya tidak mau memperdulikan situasi sel yang sangat tidak nyaman karena hal ini. Selama masih secara rutin diperiksa di Polda dan di RSCM, walau berat saya tetap mengikuti dan berharap cepat selesai dan bisa pulang. Bagaimanapun stressnya saya, saya tetap menghormati proses pemeriksaan sesuai prosedur.”

“Semua tuduhan yang berdatangan dari orang-orang yang tidak dikenal dan orang-orang yang dulu saya sayangi membuat saya merasa kalau tidak ada lagi yang tersisa dalam diri saya. Namun saya yakin semua akan baik-baik saja.”  

“Setelah empat hari dikurung sendiri, saya dipindahkan ke Pondok Bambu. Pertama-tama saya sangat takut karena begitu banyak orang di sana membuat saya sangat khwatir akan peringatan polisi pada saat saya ditahan.” 

“Setelah keluar dari isolasi di Polda saya perlahan mulai bisa memepersipkan diri untuk bisa menghadiri proses sidang yang menyeramkan ini. Menyeramkan karena tujuan dari persidangan ini adalah untuk mengadili saya sebagai pembunuh. Padahal saya tidak melakukan itu.” 

“Bahkan saat proses persidangan berlangsung kehidupan saya pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kasus ini dibahas dan menjadi konsumsi publik. Banyak orang yang dengan sengaja maupun tidak sengaja menindas dan menekan saya. Saya tetap bersyukur karena masih ada orang di sekitar saya yang saya kenal secara pribadi mapun tidak dengan tulus memberikan dukungan dan percaya kalau saya tidak bersalah. Dengan dukungan tersebut saya bisa bersikap tegar dan tersenyum.”

“Kalau mulia dapat berhenti sejenak membayangkan Yang Mulia berada di posisi saya, Yang Mulia akan bisa mengerti kenapa saya bertanya-tanya apa yang terjadi dan mengapa semua ini sangat membingungkan, bagaimana bisa orang berbuat jahat seperti ini terhadap saya.” 

“Karena pengalaman ini hidup saya tidak akan kembali seperti semula. Namun saya tidak menyesal telah mengenal Mirna. Dia akan selamanya hidup di hati saya sebagai teman yang baik dan dia tahu kalau saya tidak mungkin meracuni orang.” 

“Saya memohon Yang Mulia bisa dengan bijak menilai karakter saya. Bukan berdasarkan kebohongan. Walaupun sisi baik saya selalu diabaikan di persidangan ini, saya tetap berharap agar Yang Mulia bisa menilai dengan hati yang arif dan bijak dalam menilai karakter saya yang sesungguhnya.” 

“Saya bersumpah kalau saya bukan seorang pembunuh. Saya berada di sini dengan tegar dan kuat adalah bukti yang mutlak kalau Tuhan bersama kita semua. Terimakasih Yang Mulia yang sudah mendengarkan saya.” 

Kuasa hukum Jessica Otto Hasibuan dalam nota pembelaannya membeberkan sejumlah kejanggalan dalam kasus kematian Wayan Mirna Salihin. Beberapa kejanggalan tersebut yaitu:

Tidak ada bukti Mirna meninggal akibat sianida 

 

Otto mengatakan tidak ada sianida saat cairan lambung Mirna diperiksa. Padahal, jika Mirna memang meninggal karena sianida, seharusnya zat beracun itu bisa dideteksi di lambung, hati, urin, darah, jantung dan otak. 

Otto juga menyebutkan kopi yang diminum Mirna kemungkinan tidak mengandung sianida. Kemungkinan ada yang memasukkan sianida ke dalam gelas setelah Mirna meninggal. 

“Jadi tidak terbukti korban mati karena sianida, maka tak ada kasus pembunuhan, apalagi berencana. Jadi sesungguhnya jaksa penuntut telah salah membawa kasus ini ke pengadilan ini,” kata Otto. 

Tanpa otopsi 

Otto menuding jaksa penuntut umum terlalu tergesa menetapkan kematian Mirna karena racun sianida. Padahal penyebab kematian tidak bisa ditetapkan tanpa adanya otopsi. “Kesimpulan jaksa ini spekulatif,” katanya. 

Otto juga mempertanyakan sikap jaksa yang membuat keluarga Mirna seolah-olah keberatan soal otopsi. Padahal, dalam transkrip pembicaraan, ayah Mirna menyetujui otopsi.  

Saksi penting tidak dihadirkan

Otto juga mempertanyakan kenapa orang dari Kafe Olivier yang memindahkan data dari CCTV ke flashdisk tidak dijadikan saksi dalam persidangan. Hal ini membuat asal usul rekaman dalam flashdisk tersebut menjadi tidak jelas.  

Fisiognomi 

Penggunaan fisiognomi atau ilmu membaca karakter seseorang lewat wajah yang digunakan jaksa penuntut umum untuk menetapkan Jessica sebagai pembunuh juga dianggap sudah terlalu kuno. Itu ilmu yang digunakan pada abad ke 6 Sebelum Masehi,” kata Otto.

Manipulasi CCTV

Jaksa mengatakan Jessica sering menggaruk-garuk karena sianida. Gerakan Jessica menggaruk-garuk ini terekam dalam CCTV. Namun Otto mengatakan Jessica hanya sekali menarik celananya yang sempit. Namun gerakan itu dibuat berulang sehingga terkesan menggaruk. “CCTV yang diedit ini tidak bisa jadi barang bukti,” katanya. 

Rekaman yang disembunyikan

Menurut Otto, ada satu CCTV yang tepat mengarah ke arah tempat Jessica duduk di Kafe Olivier. Dari CCTV tersebut seharusnya semua gerakan Jessica dapat terekam. Tapi rekaman CCTV ini tidak pernah ditayangkan oleh Jaksa Penuntut Umum. –Rappler.com

 

Simak laporan Rappler Indonesia mengenai kasus persidangan Jessica Wongso:

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!