Bagaimana peran media sosial dalam mendukung pemenuhan pangan?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bagaimana peran media sosial dalam mendukung pemenuhan pangan?
Rappler Indonesia dan Sekolah Bisnis IPB gelar program Ayo Indonesia dengan tema ‘Feeding The Nation: Challenges and Opportunity’

JAKARTA, Indonesia – Pada 16 Oktober pekan lalu, dunia memperingati Hari Pangan (World Food Day). Tema tahun ini adalah “Climate is changing. Food and agriculture must too”.  

Di internet, saya menemukan laporan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan, bahwa permintaan agregat beras sebagai produk pangan utama mencapai 16,1 juta ton. Sementara untuk terigu, kedelai, dan gula pasir masing-masing sekitar 2,1 juta ton; 1,9 juta ton; dan 2,6 juta ton. Sedangkan untuk minyak goreng sekitar 3,0 juta ton dan daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton.  

Angka-angka di atas dikutip dari laporan dinamika pola pangan yang diterbitkan Kemendag pada 2013. Hari ini angkanya berubah, mengingat pertumbuhan kelas menengah di negeri ini. Senior saya di Institut Pertanian Bogor (IPB), Bayu Krisnamurthi, mengatakan saat ini permintaan beras mencapai 38-39 juta ton.

Angka-angka di atas adalah proyeksi permintaan pangan untuk rumah tangga biasa, belum termasuk permintaan hotel, restoran, katering, dan industri.

Di berbagai pidato, seminar, dan diskusi, kita mendengarkan pembicaraan mengenai implikasi kebijakan untuk merespon pola konsumsi masyarakat yang berubah seiring dengan berubahnya pendapatan mereka. Laporan Kemendag juga mengharapkan masyarakat hanya akan mengonsumsi makanan yang berkualitas, menyehatkan, dan mencerdaskan.  

Upaya ini tidak hanya dapat dilakukan pemerintah. Masyarakat, termasuk swasta dan media, perlu ikut serta dalam mengedukasi konsumen, termasuk tentang diversifikasi pangan. 

Memenuhi pangan adalah satu dari tiga kelompok besar tantangan dunia.

Secara global maupun di Indonesia, kita perlu waspada akan ancaman terhadap ketahanan pangan, energi, dan air. Begitu pula dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat. Setiap tahun, ada penambahan sekitar 75 juta orang ke populasi dunia. 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan pada akhir 2025, penduduk dunia akan mencapai sekitar 8 miliar orang. Data fertilitas rata-rata yang dicatat oleh Badan PBB untuk Populasi menunjukkan pada 2100, populasi dunia akan mencapai 10,9 miliar. Angka-angka ini saya kutip dari buku The Age of Sustainable Development karya Jeffrey D. Sachs.

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, datang kebutuhan pangan. Sachs mengatakan, di negara-negara yang pendapatan penduduknya meningkat, ada tren meningkatnya permintaan daging. Saya pikir Indonesia termasuk di sini. Ketika permintaan daging naik, maka permintaan akan pakan ternak mengikuti. 

Peternak sapi di Pasar Hewan Legi, Ngawi, Jawa Timur mengeluhkan kurangnya persediaan sapi siap potong di pasaran pasca Hari Raya Iduladha sehingga mereka harus mendatangkan sapi dari luar daerah untuk memenuhi permintaan. Foto oleh Ari Bowo Sucipto/Antara

Pada saat bersamaan, ada tantangan lain, yaitu perubahan iklim yang membuat kian sulit untuk mengembangkan tanaman, termasuk pangan di berbagai belahan dunia. Indonesia juga mengalami kekeringan yang panjang, pun banjir yang kini terjadi hampir sepanjang tahun.

Akhir bulan lalu, pada 29 September 2016, Rappler Indonesia menggelar Social Good Summit 2016 bekerjasama dengan Kantor PBB Urusan Pembangunan (UNDP). Tema tahun ini adalah, “Connecting Today, Creating Tomorrow”, untuk mencapat 17  Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) pada 2030.  

Rekaman video lengkap Social Good Summit 2016 dapat disaksikan di laman Rappler Indonesia

Dari 17 SDGs, sedikitnya 13 tujuan terkait dengan tema tersebut, dan menjadi domain bagi sivitas akademika di lingkungan IPB, khususnya Sekolah Bisnis, untuk bersama-sama mengidentifikasi tantangan, dan mencari solusi.  Apalagi menyangkut tema besar Hari Pangan Sedunia. 

Tujuan pertama, “tanpa kemiskinan”. Tujuan kedua,”tanpa kelaparan”.  Langsung menohok ke jantung komunitas di sektor pertanian pangan, termasuk IPB sebagai lembaga pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat.

Rappler.com adalah jejaring berita sosial yang bertumpu kepada 4 pilar: prinsip jurnalistik yang tidak dikompromikan, teknologi, urun-daya (crowdsourcing), dan pengembangan komunitas.  

Rappler didirikan di Manila, Filipina, sekitar empat tahun lalu oleh sekelompok jurnalis independen. Di Indonesia, Rappler mengembangkan kegiatannya secara serius sejak setahun lalu. Sejak awal, Rappler mempromosikan pentingnya penggunaan media sosial untuk tujuan baik (social media for social good).   

Mengapa media sosial?

Sejumlah petani di Desa Porame, Sigi, Sulawesi Tengah, akan mengalami perubahan jadwal tanam pascapanen yang diperkirakan pada Desember mendatang. Foto oleh /Basri Marzuki/Antara

Berikut adalah data di Indonesia menurut International Telecomunication Union pada 2015: 

  • 257,5 juta populasi
  • 56,6 juta pengguna internet
  • 22 persen penetrasi internet
  • 85 persen mengakses internet melalui telepon seluler

Data Susenas 2014 menunjukkan bahwa 82% dari 50 juta penduduk Indonesia yang mengakses internet menjadikan media sosial sebagai tujuan utama menggunakan internet. 

Tujuan kedua adalah mencari informasi/berita (73,5%), hiburan (45,1%), mengerjakan tugas sekolah (35,1%), mengirim dan menerima email (27,8%), perdagangan online (11,3%), e-banking (8,4%), dan lain-lain (3,9%).

Angka-angka di atas menunjukkan besarnya peran media sosial dalam proses komunikasi di antara penduduk Indonesia.

Di Filipina, Rappler mengembangkan komunitas dan promosi social media for social good melalui gerakan #MovePH. Di Indonesia, kegiatan membangun komunitas untuk tujuan baik dilakukan dengan payung “Ayo Indonesia”.  

Kegiatan ini bertujuan mengajak kaum muda, mereka yang menjadi pengguna aktif teknologi komunikasi, menjadi pengguna media sosial, untuk menginisiasi dan berbagi ide inovasi, ide solusi masalah global dan nasional, terutama terkait dengan SGDs, yang memberikan manfaat bagi manusia dan kemanusiaan.

Menggelar Social Good Summit adalah bagian dari kegiatan Ayo Indonesia pada September 2016.

Semangat Ayo Indonesia itu kami bawa ke Kampus Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor, pada Sabtu, 22 Oktober 2016.  

Tema acara kali ini adalah “Feeding The Nation: Challenges & Solutions”. Pembicara kunci dalam acara ini adalah Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Akan berbicara juga Direktur Program Magister Manajemen dan Sekolah Bisnis IPB DR. Ir. Arief Daryanto.

Ekonomi digital, bagaimana dengan pangan?

Menurut Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) kebutuhan jagung untuk pakan ternak pada 2017 diprediksi naik sekitar 8,5 juta ton, lebih tinggi dibandingkan tahun ini yang sebesar 8 juta ton. Foto oleh Harviyan Perdana Putra/Antara

Awal minggu ini saya mengikuti sebuah seminar mengenai ekonomi digital di Indonesia. Ada data menarik dari Oxford Economics, berdasarkan riset pada Mei 2016 mengenai dampak mobile internet di Indonesia terhadap produk domestik bruto (GDP).

Dari setiap poin kenaikan persentase penetrasi mobile internet, akan menambah US$640 juta dolar ke GDP pada 2020. Dampaknya terhadap penciptaan lapangan pekerjaan? Dari setiap poin kenaikan penetrasi mobile internet, ada penambahan 10.700 lapangan pekerjaan formal.

Pertanian dan pangan adalah bagian dari ekonomi. Tak bisa dipungkiri lagi, kita sudah memasuki era ekonomi digital.

Dalam forum Ayo Indonesia di IPB, saya berharap diskusi di antara pemerintah dan komunitas IPB dapat membahas bagaimana era digital bisa membantu dan mempercepat pencapaian tujuan terkait sektor pertanian dan pangan. 

Bagaimana era digital dapat membantu pola komunikasi dan pemasaran produk pangan? Bagaimana era digital bisa membantu kesejahteraan pelaku di sektor ini, terutama petani? Bagaimana media digital seperti Rappler bisa menjadi bagian dari pencapaian tujuan di atas?

Sebuah studi yang dilakukan Biro Pertanian AS pada 2011 mencatat bahwa 98% petani dan pemilik/pengelola ranch dalam rentang usia 18-25 tahun memiliki akses ke internet. Sebanyak 76% di antara mereka menggunakannya untuk media sosial.  

Media sosial terbukti berperan penting di industri pertanian, baik secara business-to-business (B2B) dan business-to-consumer (B2C). Sebuah revolusi digital di agribisnis.

Kecenderungan penggunaan media sosial itu menginspirasi #AgChat, sebuah percakapan di media sosial yang dilakukan secara mingguan. Percakapan dilakukan antara petani, konsumen, regulator, ahli, dan menjadi rujukan untuk mendapatkan solusi. Komunikasi digital menembus ruang dan waktu. Meminimalisir hambatan dalam komunikasi dan pasar tradisional.

Silakan menengok AgChat di sini. Kita dapat melihat manfaat media sosial bagi pertanian, termasuk pangan.  Mulai dari media untuk pendidikan, jejaring untuk berdiskusi, awal terbentuknya ide pengembangan digital terkait pertanian termasuk aplikasi, sampai menghubungkan dengan konsumen.

Rappler pun menyediakan Rappler X, sebuah platform komunitas bagi mereka yang ingin menerbitkan tulisannya terkait dengan berbagai isu, termasuk isu terkait pertanian dan pangan.  Komunitas IPB dan kampus lain, siapa saja, dapat memanfaatkan platform ini. 

Editor Rappler, Abdul Qowi Bastian, akan menjelaskan mengenai Rappler X pada saat acara. Mengingat pembicara Rappler yang tersebar di tingkat regional dan internasional, besar peluang tulisan akan dibaca oleh mereka yang berada di luar Indonesia.

3 hal yang bisa dilakukan untuk petani di era digital

Petani mengolah tanah menggunakan traktor di persawahan Desa Undaan, Kudus, Jawa Tengah, pada 18 Oktober 2016. Foto oleh Yusuf Nugroho/Antara

Presiden Joko “Jokowi” Widodo memiliki harapan serupa ketika meluncurkan sejumlah aplikasi berbasis teknologi selular untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

  • Aplikasi TaniHub berisikan layanan mengenai distribusi hasil pertanian dan perkebunan dari daerah ke kota.
  • Aplikasi LimaKilo memungkinkan petani untuk langsung menjual hasil panennya ke konsumen dengan harga kompetitif.
  • Aplikasi Pantau Harga merupakan tempat untuk tawar menawar, dan melakukan jual beli antara penyedia bahan baku dengan petani. Hal ini memudahkan dalam melakukan interaksi dikarenakan ada basis data harga yang menjadi acuan.
  • Aplikasi Nurbaya Initiatives adalah layanan yang disediakan bagi pelaku ekonomi rakyat baik petani maupun UKM untuk dapat membuat platform penjualan hasil-hasilnya.

Menteri Informasi dan Komunikasi Rudiantara berharap keberadaan aplikasi tersebut mampu membantu meningkatkan kesejahteraan petani dan memangkas rantai distribusi hasil produksi dari petani ke konsumen.

“Kemajuan teknologi harus dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat dan pemerintah juga mendorong UMKM Indonesia untuk Go Digital,” kata Rudiantara.

Saya bertanya kepada Bayu Krisnamurthi, yang pernah menjabat Wakil Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Perdagangan. Dari pengalaman di pemerintah dan berhubungan dengan petani di lapangan, apa yang perlu dilakukan untuk mengurusi pangan di era digital?

Menurut Bayu, ada 3 aplikasi teknologi digital yang bisa diterapkan untuk membantu petani pangan di Indonesia:

Digital remote sensing. Pemantauan digital untuk memperkirakan produksi pangan nasional. Saat ini debat mengenai data produksi yang benar selalu terjadi. Pemanfaatan citra satelit digital dapat meningkatkan akurasi data sekaligus tingkat kepercayaan terhadap data itu.

Petani dapat memantau tanaman secara digital. Apabila petani melihat tanamannya bermasalah, terserang hama atau penyakit, petani dapat menggunakan telepon seluler untuk memotret kondisi tanaman dan mengirimkannya melalui aplikasi WhatsApp atau email ke ahli di IPB, sehingga ahli di IPB dapat memberikan solusi. Komunikasi dan penyuluhan bagi petani di era digital seharusnya menjadi lebih intensif. Semua pihak terkait harus mengubah pola pikir terkait penyuluhan.

Distruptive economy ubah model bisnis. Apa yang dilakukan oleh Uber, Go-Jek, AirBnB, dan semacamnya bisa diterapkan untuk pertanian dan pangan. Begitu juga penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instragram, bahkan WhatsApp, dan LINE. Petani dapat memasarkan produknya secara langsung ke konsumen. Ada yang sudah menerapkan, misalnya penjual beras. 

Feeding the Nation, memberi makan warga bangsa dengan lebih dari 250 juta penduduk, pasti tidak mudah dan memerlukan upaya bersama semua pihak pemangku kepentingan. Kegiatan Ayo Indonesia dengan Sekolah Bisnis IPB adalah satu upaya memikirkan dan semoga menghasilkan upaya nyata.

Ikut terlibat mewujudkan tujuan baik melalui media sosial? Mengapa tidak?

Kami menunggu pertanyaan dan masukan dari pembaca terkait tema Ayo Indonesia kali ini. –Rappler.com

Artikel ini diterbitkan sebagai pengantar Ayo Indonesia di Sekolah Bisnis IPB pada 22 Oktober 2016. Terima kasih kepada SB IPB sebagai tuan rumah, juga untuk Kibif yang juga mendukung acara ini.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!