Beramai-ramai mengkritik rencana demo 2 Desember 2016

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Beramai-ramai mengkritik rencana demo 2 Desember 2016
Meski mengkritik demo ini, koalisi meminta polisi tidak semena-mena untuk membatalkan ataupun melarang.

 

JAKARTA, Indonesia — Belasan tokoh masyarakat dan aktivis mengkritik aksi unjuk rasa yang akan digelar Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) pada 2 Desember 2016. Menurut mereka, aksi ini menunjukkan lemahnya kualitas demokrasi dan pengingkaran pada kemajemukan.

Aksi yang diklaim akan menghadirkan puluhan ribu orang itu merupakan kelanjutan penolakan terhadap Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama karena tuduhan menista agama. Setelah sebelumnya mendesak kepolisian memproses hukum, kini gerakan yang dimotori Front Pembela Islam (FPI) tersebut ingin Ahok ditahan.

Para tokoh yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menilai gerakan tersebut sudah tak lagi diperlukan. “Sebenarnya sudah selesai dengan Ahok ditetapkan sebagai tersangka,” kata ahli hukum Todung Mulya Lubis di Jakarta pada Senin, 28 November 2016.

Lemahnya toleransi

Koalisi melihat, maraknya aksi penolakan besar-besaran terhadap Ahok merupakan dampak dari lemahnya penanaman nilai toleransi di Indonesia selama ini. Kemajemukan yang menjadi dasar bangsa sangat rapuh dan rentan untuk dieksploitasi.

“Negara tidak tegas dalam menjaga keberagaman. Pluralisme memang menjadi pembela saat keberagaman diancam, tetapi tidak dijaga dan dikembangkan,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi. Fakta ini juga tampak dari banyaknya anak muda yang turut serta dalam unjuk rasa sebelumnya. Dalam beberapa kasus, ada juga yang membawa anak kecil.

Hal ini patut disayangkan, mengingat anak-anak seharusnya lebih dilibatkan dalam pertemuan yang mengenalkan toleransi dan menghargai perbedaan. “Keterlibatan luas generasi muda dalam berbagai tindak intoleran, radikal, dan melawan hukum adalah buah dari pendidikan yang jauh dari penguatan orientasi budi pekerti,” kata Hendardi.

Sudah sejak lama ada pembiaran bagi kelompok-kelompok tertentu menggunakan instrumen demokrasi. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan masyarakat oleh kelompok elit tertentu untuk menghimpun dukungan politik maupun sebaliknya.

Selain itu, ada juga celah yang muncul dari regulasi. Salah satunya adalah lewat Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Kepolisian dalam hal ini harus mewaspadai dampak kasus Ahok ke daerah di luar Jakarta. Proses penegakan hukum terhadap kasus serupa rawan mendapat tindakan dan reaksi yang berlebihan sehingga mengancam kebebasan berekspresi serta beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

“Politisasi isu SARA adalah sesuatu yang buruk dalam demokrasi. Harusnya pertarungan gagasan dan ide; bukan politisasi SARA. Penyebaran kebencian atas dasar SARA jg harus dihentikan,” kata Direktur Imparsial Al Araf. Atas dasar apapun, lanjutnya, penyebaran kebencian bukanlah hal yang patut.

Belum lagi, gerakan ini juga berpotensi mengandung nilai trial by mob. Koalisi meminta kepolisian untuk tidak terpengaruh tekanan masyarakat dan tetap menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi. “Jangan sampai kerumunan massa menjadi penentu pengambilan keputusan dan sumber klaim kebenaran,” kata Hendardi.

Aparat harus waspada

Terkait aksi 2 Desember sendiri, koalisi menilai hal tersebut merupakan hak warga yang dijamin oleh konstitusi. Bagaimanapun juga, aparat harus sangat berhati-hati dengan potensi tindakan kriminal.

Pada aksi 4 November lalu, sempat timbul kericuhan antara pihak demonstran dan aparat. Bila unjuk rasa kali ini berpeluang mengulang hal tersebut, maka kepolisian berhak melarang.

“Unjuk rasa tentu boleh, tapi ada batasannya. Polisi berhak untuk rmembatasi kalau sudah ada ancaman,” kata Hendardi.

Aktivis sekaligus budayawan Benny Susetyo menambahkan kalau isu gerakan 2 Desember tersebut sudah menimbulkan keresahan. “Mari kita bersama-sama membangun keindonesiaan tanpa diskriminasi. Jangan sampai Pilkada Jakarta memakan korban teman-teman yang tidak berdosa,” kata dia.

Meski mengkritik demo ini, koalisi meminta polisi tidak semena-mena untuk membatalkan ataupun melarang. “Apalagi dengan menyebut adanya butir makar. Kepolisian harus bisa mempertanggungjawabkan hal tersebut,” kata dia.

Bagaimanapun juga, pihak kepolisian dan GNPF-MUI telah mencapai kesepakatan kalau aksi akan digelar di Monas, Jakarta Pusat. Pembina Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) Rizieq Shihab juga menjamin aksi tersebut akan berlangsung damai.

Kritik terhadap aksi berkode 212 ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan imbauan supaya unras tidak digelar, apalagi kalau lewat shalat berjamaah di jalan protokol.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil menegaskan pihaknya telah mengeluarkan fatwa bahwa salat Jumat di jalan tidak sah dan ‘bahkan bisa haram jika menggangu ketertiban umum dan masalah sosial’. PBNU juga melarang warga NU untuk turut berpartisipasi bila aksi tersebut benar digelar.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!