LBH Jakarta: belum semua hak korban gusuran terpenuhi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LBH Jakarta: belum semua hak korban gusuran terpenuhi
Bila kondisi ini terus dibiarkan, bukan mustahil kalau lahir anggapan proses relokasi adalah upaya meminggirkan warga miskin dari ibu kota.

JAKARTA, Indonesia — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melaporkan hasil survei mereka terhadap warga relokasi di sejumlah rumah susun. Temuan mereka, masih ada yang haknya belum terpenuhi.

“Dari survei kami, justru banyak yang merasa kalau mereka malah dijauhkan dari hak dasar,” kata Pengacara Publik LBH Jakarta Alldo Felix Januardy di Jakarta pada Rabu, 21 Desember 2016.

Penelitian ini dilakukan sejak bulan April hingga Oktober di 18 rumah susun yang menampung warga korban penggusuran. Sebanyak 250 orang pencari nafkah—lelaki dan perempuan—menjadi sampel.

Peningkatan biaya

Alldo mengatakan, warga yang ditemuinya mengakui infrastruktur di rumah susun lebih baik. Dalam hal ini, yang menjadi acuan adalah dapur, kamar mandi, sirkulasi udara, keamanan, dan kebersihan tempat tinggal.

Meski demikian, hal ini juga dibarengi dengan peningkatan biaya hidup. “Selain biaya sewa, biaya tagihan, listrik, dan air juga meningkat,” kata dia.

Nominal peningkatan beragam, namun rata-rata melebihi Rp 300 ribu.

Ironisnya, saat biaya yang dikeluarkan bertambah, pemasukan warga rusun jika tidak berkurang malah menghilang. Sebelum digusur, hanya 8,2 persen responden yang menganggur. Angka tersebut berubah menjadi 13,5 persen setelah mereka direlokasi ke rusun.

Penyebabnya beragam, ada yang kehilangan tempat tinggalnya karena ikut digeruduk buldoser, hingga akses transportasi yang minim.

Biasanya, warga korban gusuran tinggal berdekatan dengan tempat kerja mereka. Tak sedikit yang justru menjadikan tempat tinggalnya sebagai sumber uang, seperti membuka warung makan ataupun toko kelontong.

Kondisi tersebut lantas berubah begitu mereka ditempatkan di rumah susun. Karena interaksi yang terbatas, maka kios dan warung yang tersedia belum tentu ramai.

Selain itu, warga juga harus merogok kocek lebih untuk transportasi. “Sayangnya kebanyakan rusun letaknya di pinggiran kota, jauh dari mana-mana,” kata Alldo.

Pemerintah Provisi DKI Jakarta memang menyediakan akses khusus seperti Transjakarta gratis dari dan ke beberapa rusun. Namun, hal tersebut dirasa masih kurang.

Seperti misalkan, warga dari Kampung Akuarium yang dulunya bekerja di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Bila sebelumnya mereka tinggal berjalan kaki saja ke pasar, sejak dipindahkan ke Rusun Marunda, harus berganti angkutan hingga 3 kali.

Perolehan kartu

Sebelum cuti, Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama pernah mengatakan kalau semua warga rusun akan mendapatkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Dengan demikian, mereka tak perlu khawatir dengan biaya kesehatan dan pendidikan.

“Faktanya, belum semua warga rusun mendapatkan fasilitas ini,” kata Alldo. Total, 59,8 persen dari sampel tidak memegang kedua kartu tersebut hingga saat ini.

Terkait dengan hal tersebut, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto mengatakan hal ini menjadi tanggung jawab kelurahan yang bersangkutan. “Jadi dia (lurah) tinggal mencatat dan menyerahkannya ke Puskesmas,” kata dia saat dihubungi Rappler.

Kepindahan ke rusunawa pun tidak menjadi masalah. Proses tersebut masih bisa dilakukan, selama masih ada nomor induk kependudukannya sebagai warga DKI Jakarta.

Berkaitan dengan pendidikan pun, LBH mengkritik proses penggusuran yang selalu berlangsung saat pergantian semester di sekolah.

Akibatnya, orangtua tidak sempat memindahkan anak-anak mereka ke sekolah yang lebih dekat dengan tempat relokasi. Mereka harus berkorban lebih lagi di transportasi.

Tentu saja hal ini belum menyentuh persoalan lain seperti hak ganti rugi atas harta benda yang hilang atau rusak saat penggusuran.

Dari penelitian ini, Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta Yuanita merekomendasikan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan pemindahan warga ke rumah susun.

“Pemerintah perlu melihat kembali manajemen dan pengelolaan rusun,” kata dia.

Salah satunya juga dengan membuat kebijakan pertanahan yang lebih baik. Hingga saat ini, soal pembangunan dan penetapan harga rumah masih bergantung pada dinamika pasar.

“Kita butuh yang lebih baik, seperti bagaimana pembangunan yang dilakukan tidak dengan menyengsarakan rakyat,” kata dia.

Maksudnya, adalah memastikan rusun berada di lokasi strategis dan tidak jauh dari area sekolah, kerja, maupun rekreasi. Peningkatan fasilitas komplementer seperti transportasi juga tak boleh diabaikan.

Bila kondisi ini terus dibiarkan, bukan mustahil kalau lahir anggapan proses relokasi adalah upaya meminggirkan warga miskin dari ibu kota. “Mereka dipersulit untuk tinggal di sini, hingga terpaksa pulang ke kampung halamannya. Saat ini, kesan seperti itu tak terhindarkan,” kata Alldo.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!