Transportasi massal saja tidak cukup untuk atasi kemacetan di Jakarta

Rozinul Aqli

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

3 pasang cagub-cawagub DKI Jakarta tidak memberikan ide baru yang menarik untuk atasi kemacetan di ibu kota

Suasana kemacetan lalu lintas di daerah Pancoran, Jakarta Selatan. Foto oleh Fakhri Hermansyah/Antara

Salah satu hal yang paling mengecewakan dari debat perdana pasangan calon gubernur dan wakil guber DKI Jakarta yang digelar pada Jumat, 13 Januari, adalah tidak adanya ide baru yang menarik untuk mengatasi masalah kemacetan. 

Pengecualian mungkin bisa diberikan pada pasangan nomor urut 3, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dengan ide pembatasan buat mobil mewahnya. Sayangnya, ide ini menarik bukan karena bagus, tapi karena sangat konyol dan tak menunjukkan apapun kecuali kegagalan memahami permasalahan. 

Pasangan nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, tak sempat menjelaskan idenya untuk mengatasi kemacetan selama debat. Namun dari penulusuran berita di dunia maya, kita tahu bahwa Agus-Sylvi tak memiliki ide apapun, kecuali meneruskan semua yang telah dilakukan petahana

Jawaban yang paling kongkret dicetuskan pasangan petahana, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat, yang berpendapat bahwa solusi kemacetan adalah sistem transportasi massal cepat (MRT). Ini adalah pandangan arus utama yang tidak kontroversial. 

Hampir semua orang saya rasa setuju bahwa Jakarta perlu MRT. Tapi soal apakah kebijakan ini saja akan cukup efektif untuk mengurai kemacetan, jawabannya adalah tidak.

Asumsi terselubung yang keliru

Selama ini, wacana tentang penyelesaian masalah kemacetan di Jakarta memang hanya fokus terhadap inovasi untuk membuat proses melaju (commuting) menjadi lebih efisien, seperti membangun MRT. Fokus ini berdasarkan pada pemahaman bahwa kemacetan adalah terutama sebuah problem transportasi. Sepintas, tak ada yang problematis dari pemahaman ini. 

Akan tetapi, kalau kita gali lebih lanjut dan ungkap asumsi tersembunyi yang mendasari pemahaman tersebut, kita akan menyadari bahwa sebenarnya apa yang dianggap permasalahan sebenarnya cuma gejala dari permasalahan yang asli. 

Asumsi tersebut kira-kira berbunyi seperti ini: Bahwa para pekerja tinggal jauh dari kantornya adalah hal yang wajar. Asumsi ini, sebagaimana akan ditunjukkan nanti, keliru. 

Sejumlah kendaraan melintas di samping proyek konstruksi stasiun Mass Rapid Transit (MRT) di Lebak Bulus, Jakarta. Foto oleh Yudhi Mahatma/Antara

Konsekuensi logis dari memahami kekeliruan asumsi tersebut adalah klaim bahwa terpisah jauhnya pekerja dengan kantor adalah hal yang wajar menjadi runtuh. Runtuhnya klaim ini memberi ruang untuk munculnya sebuah klaim alternatif: Pekerja semestinya bisa tinggal di dekat kantornya. 

Saat ini, banyak orang yang bekerja di Jakarta memilih untuk tinggal jauh dari kantornya karena harga sewa ataupun beli properti di pusat kota, di mana kebanyakan kantor itu berada, tak terjangkau dan tak sesuai dengan kebutuhan mereka. Pilihan hunian yang tersedia untuk orang yang ingin tinggal di dekat pusat perkantoran Jakarta terbatas pada apartemen, rumah, dan kamar kos. 

Opsi ini hanya cocok untuk dua kategori penduduk: Mereka yang kaya dan mereka yang belum berkeluarga. Sedangkan mereka yang berpenghasilan menengah dan sudah berkeluarga terpaksa untuk memilih hunian yang lebih jauh dari kantor. 

Sebagai contoh, sebuah keluarga yang punya 2 anak saja biasanya memerlukan setidaknya tiga kamar: Satu untuk suami-istri, sisanya untuk anak-anak. Saat ini, untuk mendapatkan hunian dengan profil seperti ini di dekat pusat perkantoran di Jakarta, mereka minimal harus mengeluarkan biaya sekitar Rp270 juta per tahun untuk sewa apartemen atau sekitar Rp250 juta untuk rumah. 

Dibandingkan dengan di luar pusat kota, perbedaan harganya sangat jauh. Di luar pusat kota, apalagi di kawasan suburb, harga sewa rumah dengan profil yang sama bisa berkisar Rp35 juta per tahun atau Rp90 juta untuk apartemen. 

Jika penghasilan rumah tangga tersebut di bawah atau cuma sedikit di atas kedua nominal tersebut (kebanyakan pekerja di Jakarta berada dalam kategori ini), maka mereka harus terima tinggal lebih jauh. Mereka yang berpenghasilan cukup tinggi biasanya memilih untuk melaju menggunakan mobil, sementara yang pas-pasan tak punya pilihan lain selain pakai sepeda motor atau angkutan umum. 

Inilah menurut saya akar yang nyata dari kemacetan Jakarta: Terlalu mahalnya hunian untuk keluarga di pusat kota.  

Peraturan zonasi terlalu restriktif

Mahalnya tempat tinggal di daerah dekat perkantoran di Jakarta adalah produk campuran dari mekanisme pasar dan regulasi pemerintah. Ketersediaan lahan yang terbatas dan peminat yang banyak memang pasti membuat nilai ekonomi lahan tersebut tinggi. 

Akan tetapi, kenaikan harga akibat mekanisme pasar ini diperparah oleh peraturan zonasi Jakarta yang begitu restriktif. Peraturan zonasi Jakarta, sebagaimana tercantum Perda DKI No. 1 Tahun 2014, secara rinci menentukan daerah mana yang dialokasikan untuk perkantoran, hunian vertikal, perkampungan, komersial, dan sebagainya. 

”Banyak orang yang bekerja di Jakarta memilih untuk tinggal jauh dari kantornya karena harga sewa ataupun beli properti di pusat kota, tak terjangkau.”

Spesialisasi penggunaan lahan seperti ini memang bisa terjadi secara organik, tapi peraturan zonasi membuat spesialisasi itu menjadi lebih tegas dan kaku. Efek dari spesialisasi seperti ini adalah terpisahnya kawasan pemukiman dengan lokasi-lokasi yang menghasilkan lalu-lintas (traffic generators) seperti kantor, pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan sebagainya, yang pada akhirnya memaksa penduduk Jakarta untuk bergantung pada kendaraan bermotor dan menimbulkan kemacetan.

Peraturan zonasi yang restriktif tidak hanya menyebabkan kemacetan, tapi kemungkinan juga berkontribusi terhadap meningkatnya ketimpangan kekayaan di antara masyarakat Jakarta. Penelitian terhadap beberapa negara maju menunjukkan bahwa naiknya ketimpangan kekayaan di beberapa dekade terakhir disebabkan oleh makin mahalnya harga perumahan. 

Mahalnya harga perumahan ini disebabkan oleh regulasi guna lahan yang terlalu ketat membuat laju pembangunan rumah baru tidak mampu mengikuti permintaan pasar akan rumah. Saya belum menemukan riset tentang ini di Jakarta, tapi ada tanda-tanda bahwa hal yang sama juga terjadi di kota ini. 

Harga rumah di Jakarta, terutama di beberapa kawasan tertentu, terus meningkat drastis. Di luar pusat kota, harga rumah juga naik, tapi tak sepesat dan tak segila yang terjadi di pusat. Kalau mekanisme ini tidak diintervensi, jangan heran kalau nanti kesenjangan kekayaan antara mereka yang punya aset dan yang tidak makin menganga lebar.

Untuk mengatasi persoalan kemacetan sekaligus ketimpangan, pemerintah perlu mengganti paradigma tata ruang Jakarta, dari spesialisasi zona menjadi penggunaan lahan campuran (mixed land use). Hal ini berarti mengizinkan pembangunan hunian di wilayah perkantoran dan komersial dan sebaliknya. 

Jika reformasi ini dilakukan, kita bisa mengharapkan beberapa perubahan positif penting terjadi, terutama dalam bentuk meningkatnya suplai hunian di daerah dekat perkantoran. Peningkatan ini mestinya akan berdampak langsung terhadap volume kendaraan di jalanan Jakarta, karena orang-orang yang tinggal di dekat kantor dan pusat perbelanjaan tak perlu mobil untuk hilir-mudik. Kantor dan pemukiman hanyalah contoh untuk menyederhanakan, tapi hal ini berlaku pula untuk fasilitas lain seperti pusat perbelanjaan, restoran, dan tempat hiburan.

Landasan empiris untuk mendukung perubahan ini cukup kuat. Penelitian di Amerika Serikat umumnya menunjukkan bahwa penggunaan lahan campuran berasosiasi dengan tingkat kepemilikan kendaraan pribadi yang rendah. 

Penelitian dari University of California, Berkeley menemukan bahwa orang yang rumahnya dekat dengan toko kelontong (grocery stores) lebih cenderung menggunakan transportasi publik dari pada mereka yang jauh (lebih dari sekitar 100 meter). 

Adapun untuk bukti anekdotal, salah satu contoh sukses penerapan konsep penggunaan lahan campuran adalah ibu kota Republik Guatemala, Guatemala City.  Dengan status kota terpadat di Amerika Tengah, Guatemala juga dihadapkan dengan masalah kemacetan. Untuk mengatasi problem ini, pada tahun 2009, pemerintah kota Guatemala menerapkan sistem ini untuk menggantikan sistem zonasi. 

Beberapa tahun berlangsung, beberapa perkembangan positif mulai terlihat, terutama aktivitas konstruksi yang makin bergairah. Sebagaimana dibahas oleh Bank Dunia, dalam 4 tahun menerapkan tersebut, aktivitas konstruksi di kota Guatemala mengalami peningkatan sebesar 2 kali lipat. Hal ini tentu saja berpengaruh positif pada keterjangkauan harga rumah di kota tersebut. 

Perizinan rumah susun terlalu rumit

Suasana bangunan hunian vertikal dan apartemen di Jakarta. Foto oleh M Agung Rajasa/Antara

Peraturan zonasi bukanlah satu-satunya andil pemerintah yang secara tidak langsung menyebabkan kemacetan. Kebijakan perumahan Jakarta yang begitu restriktif juga turut memperparah kemacetan dengan membatasi suplai hunian di pusat kota dan akhirnya memaksa orang untuk jadi pelaju. 

Satu restriksi yang dalam hemat saya paling berpengaruh negatif berkaitan dangan syarat pembangunan rumah susun. Saat ini, di Jakarta, orang yang ingin membangun rumah susun harus mendapat persetujuan langsung dari gubernur. Di samping itu, masih ada sederet persyaratan lain yang sulit dipenuhi oleh investor yang bermodal menengah. 

Tak heran, hampir semua apartemen yang dibangun di Jakarta adalah apartemen kategori besar dengan jumlah unit ratusan yang dibangun oleh para pengembang raksasa. Barangkali, di samping perhitungan lain, faktor ini jugalah yang membuat banyak orang yang punya lahan di kawasan dekat perkantoran untuk memilih membangun rumah kost yang perizinannya jauh lebih sederhana daripada izin membangun rumah susun. 

Sebagai catatan, rumah susun yang disebut di sini tidak merujuk ke rumah susun yang besar, tapi yang kecil dan menengah (3-8 lantai), yang bisa Anda temukan di kota-kota besar di dunia, terutama di Eropa, yang setiap bangunan bisa berisi 4 hingga puluhan unit rumah, tergantung luas lahan. 

Keuntungan dari banyaknya rumah susun yang seperti ini jelas: lahan yang terbatas bisa mengakomodasi jumlah orang yang lebih banyak dari pada rumah bentuk villa. Di samping itu, kategori penduduk yang akan tertarik untuk mengontrak atau membeli rumah susun seperti ini pun akan lebih luas. 

Kalau kost dan apartemen studio cenderung hanya cocok untuk individu lajang, rumah susun seperti ini bisa dihuni baik oleh yang lajang maupun yang sudah berkeluarga. Kalau rumah susun model seperti ini diperbanyak, harga sewa di pusat kota Jakarta yang jadi magnet ekonomi pun akan menjadi lebih terjangkau. Mereka yang saat ini terpaksa jadi pelaju mungkin akan tertarik untuk meninggalkan rumahnya di pinggiran dan menjual mobilnya untuk hal lain yang lebih berguna. 

Klaim di atas didukung oleh hasil temuan dari banyak penelitian mengenai tata kota. Pusat Penelitian di Departmen Transportasi Arizona, misalnya, melakukan penelitian pada 2012 lalu tentang hubungan antara pembangunan berkepadatan tinggi (higher density development) dengan kemacetan di kota-kota di Amerika Serikat. 

Mereka menemukan bahwa, antara lain, daerah-daerah yang lebih padat mempunyai tingkat ketergantungan yang lebih rendah terhadap kendaraan bermotor. Orang-orang di daerah berkepadatan tinggi memiliki kendaraan sebih sedikit, lebih sering berjalan dan menggunakan transportasi publik. 

Perubahan perlu didukung insentif dan disinsentif

Dua perubahan yang diajukan di atas, perubahan peraturan zoning dan aturan konstruksi, penting untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Agar lebih efektif, pemerintah harus mendukungnya dengan berbagai insentif dan disinsentif. 

Insentif seperti potongan pajak untuk pembangunan rumah susun berkapasitas menengah perlu agar mereka yang saat ini tengah berkecimpung di bisnis kost dan pengembang kecil mau beralih ke jasa rumah susun. Disinsentif seperti pajak yang tinggi untuk rumah berbentuk villa yang boros lahan perlu untuk mendorong mereka mengalihgunakan lahan untuk hunian vertikal. 

Kebijakan semacam ini mungkin akan kontroversial secara politik, akan tetapi ia perlu untuk membuat Jakarta kota yang lebih baik.  —Rappler.com

Rozinul Aqli adalah mahasiswa masters di School of Global Affairs and Public Policy, Kairo.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!