Masih perlukah aksi unjuk rasa 5 Mei?

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Masih perlukah aksi unjuk rasa 5 Mei?
Wapres Jusuf "JK" Kalla mengimbau agar menyerahkan hasil sidang kasus Ahok kepada pengadilan.

JAKARTA, Indonesia – Jelang sidang vonis kasus Gubernur petahana DKI, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, ormas Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) kembali menggelar aksi unjuk rasa pada Jumat, 5 Mei atau yang disebut “505”. Ketua Umum GNPF-MUI, Ustadz Bachtiar Natsir mengaku kecewa dengan putusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Ahok hanya dengan pasal 156 KUHP tentang penodaan golongan.

Menurut JPU, Ahok tidak terbukti melakukan penodaan agama sesuai dengan pasal 156a. Hal tersebut di mata Bachtiar telah mempermainkan hukum.

“Drama persidangan yang sudah tercium sejak awal akan menggeser Pasal 156a ke Pasal 156 ternyata betul-betul dilakukan. Ini bukan saja mempermainkan hukum, tetapi juga sudah mengusik rasa keadilan umat Islam Indonesia,” ujar Bachtiar ketika memberikan keterangan pers di gedung AQL Centre pada Selasa, 2 Mei seperti dikutip media.

Dia menganggap tuntutan JPU sudah merendahkan fatwa yang dibuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saat ini dia tengah menyampaikan surat pemberitahuan aksi ke Mapolda Metro Jaya pada Selasa malam kemarin.

Kendati dilakukan berdekatan dengan penyelenggaraan sidang vonis Ahok, namun Bachtiar membantah aksi tersebut untuk menekan hakim atau melakukan intervensi terhadap putusan nanti. Sama seperti aksi sebelumnya, GNPF-MUI mengajak umat Islam untuk berkumpul di Masjid Istiqlal.

Setelah melakukan salat Jumat mereka akan long march menuju ke Mahkamah Agung.

Harus ada batasan

Sementara, Wakil Presiden Jusuf “JK” Kalla menilai aksi demonstrasi 5 Mei mendatang merupakan sesuatu yang tidak perlu. JK meminta agar publik menyerahkan hasilnya kepada proses pengadilan.

“Pemerintah anggap tidak perlu lagi, karena pengadilan urusannya,” ujar JK usai membuka acara World Press Freedom di Jakarta pada Rabu, 3 Mei seperti dikutip media.

Walau demikian, JK menyebut tidak bisa melarang publik untuk berunjuk rasa. Namun, tetap ada batasannya yang meliputi waktu, lokasi dan jumlah peserta. Jika aksi unjuk rasa berakhir ricuh, maka polisi akan bertindak.

Imbauan serupa juga disampaikan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Dia mengatakan tidak perlu lagi ada aksi unjuk rasa karena akan menganggu ketertiban publik.

“Walau unjuk rasa diperbolehkan ya sebagai bagian dari negara demokrasi, tetapi undang-undang itu sendiri menyebutkan ada empat batasan yang tidak boleh yaitu menganggu ketertiban publik, tidak boleh mengangganggu hak asasi orang lain, tidak boleh menghujat dan harus mengindahkan etika dan moral,” tutur Tito ketika ditemui di Mabes Polri.

Dia juga meminta kepada publik yang tidak memiliki kepentingan tidak perlu berbondong-bondong datang. Sebab, jika semua turun ke jalan maka bisa menganggu ketertiban publik.

Tito pun mengingatkan agar aksi unjuk rasa itu tidak bermaksud untuk menyampaikan tekanan kepada hakim dalam persidangan kasus Ahok. Karena hal itu melanggar pasal 6 UU nomor 9 tahun 1998.

“Hakim tentu bebas mengambil keputusan dan dijamin undang-undang berdasarkan minimal dua alat bukti, keyakinan dan pertanggung jawaban memutuskan perkara kepada Tuhan Yang Maha Esa,” katanya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!