Daya beli saat Lebaran 2017 menurun

Uni Lubis, Muhammad Harvan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Daya beli saat Lebaran 2017 menurun
Penyesuaian tarif dasar listrik sumbang inflasi bulan Juni 2017


JAKARTA, Indonesia –  Hampir semua penjualan di sektor ritel turun selama Lebaran 2017.  Padahal, pengusaha berharap konsumsi ritel meningkat setelah para pekerja di sektor formal menerima Tunjangan Hari Raya (THR).  

“Daya beli masyarakat turun. Secara umum  rata-rata konsumsi masyarakat memang lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryadi Sukamdani, melalui pesan pendek kepada Rappler, Senin, 3 Juli.

Haryadi menyebutkan selama Lebaran, penjualan batik, misalnya, turun 20%, dan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sementara data versi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia menunjukkan bahwa selama Ramadan dan Lebaran 2017 turun 10%.

Sebelumnya, kepada media Haryadi mengatakan   bahwa turunnya daya beli terjadi karena menyusutnya tenaga kerja formal. Menurut data Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, kata Hariyadi, surplus antara peserta yang masuk dan yang keluar kecil, di bawah 20 ribu per April 2017.  Padahal, daya beli disokong terutama oleh penghasilan pekerja di sekor formal.

Data yang disampaikan asosiasi berbeda dengan klaimBadan Pusat Statistik (BPS). BPS optimistis peningkatan pengeluaran rumah tangga selama periode Ramadan dan Lebaran lalu bisa mendongkrak pertumbuhan konsumsi rumah tangga, sebagai salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi. Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, dengan belanja yang jelas meningkat dibanding bulan-bulan sebelumnya dan ditambah dengan tingkat inflasi yang terjaga rendah, 0,69%  untuk Juni, maka konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua tahun ini berpotensi tembus 5%.

“Tapi kalau spending bagus, inflasi justru bergerak liar ya daya beli rendah. Tapi inflasi kita kan malah lebih rendah dibanding tahun lalu,” ujar Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Senin, 3 Juli.

Menurut Suhariyanto, dengan inflasi yang terjaga rendah hingga akhir tahun dan sejalan dengan tingkat pendapatan yang relatif sama, maka target pertumbuhan ekonomi tahun ini di angka 5,1%  bisa tercapai dengan serapan tenaga kerja yang lebih tinggi. Suhariyanto melihat adanya potensi besar untuk mendorong konsumsi rumah tangga justru berasal dari ekonomi kreatif dan industri.

Kenaikan TDL dorong inflasi Juni 2017

BPS  mencatat inflasi bulan Juni 2017 berada pada angka 0,69%. Inflasi ini, salah satu nya, didorong oleh penyesuaian tarif dasar listrik  (TDL) tahap 3 pada bulan Mei lalu yang ditujukan untuk golongan 900VA-RTM. (BACA: 27 juta rumah tangga miskin masih dapat subsidi listrik)

Suharyanto menjelaskan bahwa penyesuaian TDL ini menjadi salah satu penyumbang terbesar inflasi pada bulan Juni 2017. Elemen penyumbang dominan lainnya adalah kenaikan pada sektor komunikasi, transportasi dan jasa keuangan.

“Inflasi Juni 0,69 persen terutama dipengaruhi oleh penyesuaian tarif listrik, angkutan udara dan angkutan antar kota,” ujar Suhariyanto, dalam keterangan tertulisnya.

Data BPS menunjukkan penyesuaian TDL menyumbang andil inflasi sebesar 0,18%. Disusul oleh sektor transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang menyumbang andil inflasi sebesar 0,23%.

BPS mengklaim bahwa bila dibandingkan dengan nilai inflasi pasca Ramadan tahun lalu, inflasi pada Juni 2017 terbilang lebih baik. Menurut BPS, hal ini disebabkan karena harga bahan kebutuhan pangan selama lebaran dan menjelang Idul Fitri lebih terkendali. 

Tercatat inflasi pada sektor bahan pangan hanya terjadi pada komoditas sayur mayur, ikan segar, bawang merah dan daging ayam. Inflasi tidak begitu parah karena komoditas yang cenderung naik menjelang hari raya seperti cabai merah, cabai rawit, dan bawang putih malah mengalami deflasi.

“Bahan-bahan pangan yang bergejolak di Lebaran tidak terjadi pada Lebaran ini. Inflasi terjadi karena kenaikan harga sayur mayur, ikan segar 0,05%, bawang merah dan daging ayam ras masing-masing 0,03%,” ujar Suharyanto.

Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowadjodjo menilai angka inflasi tersebut merupakan pencapaian yang baik. Ia juga menjelaskan dengan nilai inflasi sebesas 0,69% di bulan Juni, menyebabkan nilai inflasi year-on-year Indonesia masih ada pada kisaran 4% yang merupakan target pemerintah untuk tahun 2017.

“Saya rasa kalau inflasi bulan Juni 0,69% itu juga sejalan dengan hasil survei BI minggu keempat, kita minggu ketiga masih 0,5% dan sekarang 0,69%, itu saya rasa BI dalam surveinya 0,64%. Jadi kalau 0,69% ada pada kisaran 4% year on year, saya rasa itu baik dengan rata-rata yang sekarang ini 0,69% pencapaian baik,” ujar Agus Marto.

Ditopang konsumsi rumah tangga

Menanggapi keluhan pelaku industri ritel, Suhariyanto mengatakan inflasi bisa berasal dari industri makanan dan minuman di mana selama periode Puasa dan Lebaran mengalami permintaan yang meningkat. Menurutnya, kondisi yang menimpa sektor ritel saat ini masih bisa tertolong dengan konsumsi rumah tangga yang baik.

“Ritel enggak menurun ya, kalau menurun itu negatif. Namun ini melambat, di mana tetap ada kenaikan, hanya saja lebih rendah dibanding tahun lalu,” kata dia. 

Data Aprindo menunjukkan pertumbuhan ritel modern pada Januari 2017 sebesar 4,4%. Angka ini kemudian menurun di Februari dengan angka pertumbuhan hanya sebesar 11,1%.

Pada Maret 2017 pertumbuhan ritel sempat melonjak ke angka 5,6%, namun kembali menurun ke angka 4,1% di bulan April. Bulan berikutnya, Mei, pertumbuhan ritel kembali terperosok ke angka 3,6%. Padahal, angka pertumbuhan ritel di bulan Mei 2016 lalu sempat menyentuh 11,1%. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!