Rapor merah para calon komisioner Komnas HAM

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Rapor merah para calon komisioner Komnas HAM

ANTARA FOTO

DPR menjadi gerbang terakhir menyaring calon bermasalah

JAKARTA, Indonesia – Koalisi Selamatkan Komnas HAM masih menemukan adanya masalah dari 14 nama calon komisioner Komnas HAM periode 2017-2022 yang baru diumumkan kemarin. Kini, tergantung proses seleksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memastikan nama-nama yang terpilih memiliki kualitas baik.

“Berdasarkan penelusuran koalisi, serta merujuk tahapan psikotest dan wawancara, masih terdapat catatan dari nama-nama tersebut,” kata Direktur Pusat Bantuan Hukum Indonesia Totok Yulianto saat dihubungi Rappler pada Kamis, 3 Agustus.

Sejak tahap awal, koalisi memang sudah melakukan penyisiran latar belakang, konfirmasi langsung dan tidak langsung, serta penilaian jawaban para calon selama tes.

Dari 14 orang tersebut, dari segi kompetensi atau pemahaman HAM, ada 2 calon yang dinilai kurang. Satu calon memiliki pemahaman yang tidak berpegang pada prinsip universal HAM dan satu calon lemah dalam memahami pelibatan TNI di ranah sipil.

Dilihat dari segi Integritas ada 3 calon yang bermasalah. Satu orang berkaitan dengan Tim Sukses dan dekat dengan kepala daerah yang terlibat korupsi; satu orang diduga menjadi pendamping hukum seorang terdakwa kasus TPPU dan perusakan hutan, dan menyampaikan keterangan yang tidak benar; satu orang diduga ada konspirasi dengan perusahaan ketika menjabat posisi di sebuah lembaga negara.

Kemudian, dilihat dari segi Independensi terdapat 2 calon yang bermasalah. Satu orang diduga berafilisasi dengan parpol, organisasi intoleran dan menjabat posisi di sebuah BUMD.

Satu orang lainnya diduga terlibat konspirasi dengan perusahaan dengan memanfaatkan posisinya di sebuah lembaga. Keduanya juga membantah saat dalam proses wawancara.

Dari segi kapasitas, berdasarkan penelusuran kami ada 3 calon yang memiliki catatan negatif. Dua orang bermasalah di antaranya dalam hal komunikasi, kerjasama, kinerja dan kemampuan menjalankan prinsip manajerial; satu orang bermasalah dalam hal komunikasi karena dinilai rekan kerja hanya mengedepankan pencitraan di depan publik saja.

“Meskipun hal ini telah dikonfirmasi oleh pansel dalam wawancara dan dibantah oleh calon, kami akan tetap mendalami temuan yang ada,” kata Totok.

DPR harus obyektif

Bila tidak ada perubahan, DPR akan memilih 7 dari 14 nama yang diajukan pansel. Koalisi berharap DPR akan menerapkan prinsip-prinsip Paris (Paris Principles) dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kehati-hatian ini diperlukan belajar dari pengalaman komisioner periode 2012-2017.

“Jangan sampai terjadi lagi pemaknaan yang keliru atas The Paris Principles terkait dengan keberagaman unsur anggota Komnas HAM yang acap kali diberikan kepada representasi organisasi massa berbasis agama, politik aliran tertentu, dan tokoh dari wilayah tertentu,” kata Totok.

Pada periode ini, ada satu komisioner yang terpilih karena dianggap mewakili wilayah Papua, namun justru sering menimbulkan kontroversi dan bermasalah secara kompetensi.

Koalisi menganjurkan supaya DPR tidak berpihak pada kepentingan politik pragmatis sebagai bahan pertimbangan. Setiap anggota yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan harus memilih 7 nama yang dianggap berkompeten dan berintegritas.

“DPR harus menggunakan indikator penilaian yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dalam melakukan uji kelayakan dan kepatutan,” kata dia.

Adaptasi

Tugas komisioner baru memang tidak mudah. Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan ada 10 kasus pelanggaran HAM berat yang harus segera dituntaskan serta aduan-aduan lain yang berjumlah 2 ribu kasus. Kasus-kasus ini, serta langkah apa yang telah dilakukan, akan dituliskan dalam lapoan 5 tahunan.

“Ini bisa jadi panduan bagi komisioner berikutnya,” kata dia saat dihubungi secara terpisah.

Umumnya, komisioner yang dipilih berjumlah lebih dari 10, bahkan pernah mencapai 23 orang. Namun, melihat dari periode saat ini, panitia seleksi mengusulkan supaya angkanya dikurangi menjadi 9 orang. Adapun, komisioner periode saat ini berjumlah 13 orang.

Kritik yang muncul adalah buruknya komunikasi internal serta sistem adminisitrasi. Sistem pergantian ketua setiap setahun sekali dianggap sebagai bentuk keinginan berkuasa dari para calon; serta munculnya pernyataan-pernyataan individual namun seolah mengatas namakan lembaga.

Menurut dia, pemangkasan jumlah komisioner hingga setengahnya saja ini sudah melalui proses evaluasi ketat. Meski demikian, jumlah komisioner tidak menentukan kinerja lembaga. Seperti contohnya, saat jumlah komisioner mencapai 23 orang pada 1998-2002, ada 3 kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil dibawa ke pengadilan.

“Mungkin saat itu kan peristiwanya masih dekat, jadi political will-nya masih tinggi,” kata Nur.

Maka, selain memastikan kinerja komisioner baik, pemerintah juga harus menunjukkan niatan baik bekerjasama dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. – Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!