Asa Kami untuk Gubernur baru DKI

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Asa Kami untuk Gubernur baru DKI
Akankah Anies-Sandi memenuhi janjinya terhadap warga korban penggusuran?

JAKARTA, Indonesia – Area Jalan Pasar Ikan terlihat sepi pada Kamis sore, 12 Oktober 2017.  Kontras dengan situasi jalan di depan Menara Syahbandar, mobil memenuhi badan jalan. Macet.

Situasi serupa juga nampak ketika Rappler melihat area pemukiman Kampung Akuarium yang berlokasi tak jauh dari Pasar Ikan. Sejak digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI pada April 2016, denyut aktivitas warga melemah.

Warga yang kembali bermukim di area Kampung Akuarium memilih duduk-duduk di rumah mereka seraya menikmati hembusan angin sore ibukota. Apalagi di seberang pemukiman warga terbentang perairan yang bermuara ke Teluk Jakarta. Namun, pemandangan itu tertutup tanggul tinggi yang dibangun oleh Pemprov.

Seorang warga Kampung Akuarium bernama Supiyati bercerita kepada Rappler bahwa semula Pemprov mengatakan tanggul itu akan dibangun jauh dari pemukiman warga. Tapi, pada kenyataannya mereka malah membangun tanggul tepat di depan rumah.

Perempuan yang akrab dipanggil warga sekitar dengan nama Supi mengatakan begitulah situasi area pemukiman Kampung Akuarium. Warga memilih kembali dan mendirikan bangunan semi permanen di atas puing reruntuhan.

Namun, kondisinya sangat tidak layak huni. Tempat yang ditinggali warga hanya terbuat dari papan triplek, seng bekas, besi dan terpal.

Semula, jumlah rumah semi permanen itu hanya ada beberapa. Namun, memasuki tahun 2017, Pemprov DKI mencatat ada 169 keluarga yang bermukim di 150 bangunan semi permanen. Angka itu terus bertambah. 

Supi termasuk dari ratusan warga yang memilih untuk kembali tinggal di Kampung Akuarium. Untuk mendirikan bangunan semi permanen yang berukuran beberapa petak itu, ia harus merogoh uang hingga Rp 3 juta.

“Uang itu saya dapat ketika diajak jadi petugas sensus ekonomi dulu,” kata Supi yang ditemui Rappler di rumahnya pada Kamis, 12 Oktober.

Di rumah itu, Supi tinggal bersama suami dan enam anaknya. Padahal, dulu sebelum digusur, ia bisa tinggal lebih nyaman di rumah permanen berukuran dua lantai. Tetapi, ia tidak bisa berbuat banyak. Buldoser dan alat berat yang didatangkan Pemprov DKI meratakan rumahnya.

Supi mengaku memang sempat tinggal di rumah susun di Rawa Bebek Cakung selama beberapa bulan. Sayangnya, untuk bertahan hidup di sana ia harus membayar uang sewa Rp 300 ribu per bulan. Itu pun belum termasuk iuran air dan listrik. Kalau dihitung-hitung biaya yang harus ia keluarkan bisa mencapai Rp 500 ribu.

Padahal, sejak rumahnya digusur kehidupan ekonominya semakin sulit. Suaminya, Akbar, akhirnya menganggur karena rumah mereka digusur. Tak sanggup membayar, Supi akhirnya memilih hengkang dari rusun di Cakung dan mendirikan bangunan semi permanen di Kampung Akuarium.

“Dulu suami saya kerjanya nelayan serabutan gitu. Sehari bisa dapat Rp 25 ribu. Tapi, sekarang dia malah enggak kerja. Sudah setahun lebih lamanya,” kata dia.

Supi kemudian mengisahkan kembali peristiwa kelam ketika rumahnya digusur Pemprov DKI. Perempuan berusia 34 tahun itu mengatakan hanya diberikan waktu sekitar 7 hari untuk angkat kaki dan menempati rusun.

Perintah pengosongan area Kampung Akuarium direspons protes warga. Mereka bahkan mendatangi Balai Kota agar bisa bertemu dengan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama untuk meminta perpanjangan waktu. Warga berharap jika harus digusur, paling tidak dilakukan setelah hari Lebaran dan ujian anak sekolah rampung.

Aspirasi itu kemudian disampaikan warga kepada Camat Penjaringan, Abdul Khalit. Ia sempat merespons positif permintaan warga dan menjanjikan aksi penggusuran akan ditunda. Namun, pernyataan itu hanya janji kosong.

“Akhirnya, kami tetap digusur. Janji camatnya meleset juga. Padahal, kami sempat mengadakan acara selametan karena mengira tidak akan digusur,” tutur dia. (BACA: Relokasi tanpa dialog ala Ibukota Jakarta)

Tetapi, pengalaman pahit itu berhasil ia lalui. Supi sudah menerima kenyataan bahwa ia harus kembali meniti kehidupan dari nol bersama suami dan enam anaknya.

Bahkan, Supi sudah bisa mentertawakan nasibnya yang ironis. Sebab, rumahnya tetap digusur kendati ia mengantongi sertifikat kepemilikan rumah dan rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan.

Kisah serupa juga didengar Rappler dari Lastri. Rumah ibu empat anak itu turut digusur karena dianggap Pemprov sebagai warga ilegal yang tinggal di atas tanah milik pemerintah. Padahal, Pemprov tidak pernah menunjukkan dokumen resmi kepemilikan area yang mencakup empat Rukun Warga itu.

Lastri mengaku baru pulang dari rumah sakit beberapa hari sebelum rumahnya digusur pada April 2016.

“Saya sempat dirawat di Rumah Sakit Koja karena penyakit jantung,” kata Lastri.

Berbeda dengan Supiyati, sejak awal Lastri tidak bersedia pindah ke rusun yang ada di Marunda. Selain, lokasinya yang lebih jauh, itu malah mematikan pekerjaan suaminya sebagai sopir bajaj.

“Suami saya tempat kerjanya jadi jauh. Bolak-balik Marunda – Kampung Akuarium malah cuma ngabisin ongkos,” tutur dia.

Penghasilan suaminya pun ikut menurun drastis. Dulu, sebelum digusur, suami Lastri bisa membawa uang Rp 150 ribu per hari. Sekarang, mendapat Rp 50 ribu saja sudah untung.

Maka, Lastri dan keluarga turut memilih bertahan di rumah bedeng. Bedanya, ia mengontrak rumah tersebut dari orang lain. Biaya sewanya pun tidak bisa dikatakan murah sebab ia harus merogoh kocek Rp 300 ribu per bulan.

Keyakinan 50-50

RUMAH SEMI PERMANEN. Warga tengah membangun kembali bangunan semi permanen di atas reruntuhan puing di Kampung Akuarium pada Kamis, 12 Oktober. Foto oleh Santi Dewi/Rappler

Kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI pada pada April lalu memang sempat disambut suka cita oleh warga Kampung Akuarium, termasuk Lastri dan Supi. Keduanya mengaku sama-sama memberikan suara bagi pasangan nomor urut satu itu.

Supi mengakui pembawaan Anies yang tenang dan janjinya untuk tidak lagi menggusur warga di Kampung Akuarium, menjadi alasan mengapa ia memilih sosok mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu. Di Kampung Akuarium, Anies-Sandi berhasil meraih 630 suara dari dua TPS. Maka tak heran jika harapan tinggi digantungkan kepada keduanya.

“Saya milih Pak Anies karena pembawaannya tenang dan seger. Saat saya lagi hamil besar anak terakhir, dia sempat megang perut saya. Akhirnya begitu anak saya lahir, saya kasih nama Anies-Sandi,” kata Supi sambil tertawa.

Namun, namanya kemudian diganti menjadi Muhammad Asa sesuai usulan dari Anies yang pernah kembali berkunjung ke Kampung Akuarium.

“Waktu itu, Pak Anies pernah gendong si kecil, lalu ngusulin agar nama anak saya diganti menjadi ‘asa’ yang artinya harapan,” tutur dia lagi.

Lalu, percayakah Supi terhadap janji Anies-Sandi yang tidak akan menggusur dan akan membangun rumahnya lagi? Di luar dugaan ia hanya menaruh kepercayaan 50%. Supi mengaku khawatir jika apa yang dikatakan Anies-Sandi ketika Pilkada kemarin sekedar janji politik.

“Saya ingin melihat dulu Pak Anies bekerja. Tapi, kalau bisa jangan lama-lama mewujudkan janjinya. Jangan juga kami diminta menunggu satu tahun. Kalau bisa penghujung akhir tahun 2017 sudah ada yang terealisasilah janji-janji kampanyenya,” kata Supi.

Ia tidak menampik akan merasa sangat kecewa seandainya kontrak politik yang pernah ditandatangani Anies-Sandi hanya janji kosong. Artinya, Anies-Sandi tidak lebih baik dari Ahok-Djarot yang sudah meratakan rumahnya.

“Kalau Pak Ahok kan walau dia sudah menggusur rumah saya, saya sudah lihat kinerjanya. Saya dapat Kartu Jakarta Pintar dan biaya rumah sakit jadi gratis. Ya, semoga program yang sudah ada dari Pak Ahok bisa diteruskan oleh Anies-Sandi,” katanya.

Harapan lain yang disampaikan Supi yakni agar status kependudukan mereka diaktifkan kembali oleh Kelurahan Penjaringan. Pasalnya, usai digusur, alamat mereka di Jalan Pasar Ikan dihapus dan tidak diakui. Akibatnya, ia kesulitan jika mengurus berbagai dokumen administratif seperti KTP Elektronik, sertifikat kelahiran dan buku nikah.

Rasa was-was juga dirasakan Lastri. Sebab, ia khawatir program Ahok yang sudah bagus tidak akan berlanjut di era kepemimpinan Anies-Sandi.

“Ya, insya Allah lah percaya (Anies-Sandi) memenuhi janji. Mudah-mudahan aja enggak sama seperti yang lainnya,” tutur Lastri.

Janji jangan hanya ditunggu

DINDING. Tulisan di salah satu bangunan yang dibangun kembali di area Kampung Akuarium bertuliskan 'Di Sini Aku Ingin Tumbuh'. Foto oleh Santi Dewi/Rappler

Sementara, aktivis dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Gugun Muhammad dapat memahami harapan yang digantungkan tinggi kepada pemimpin baru DKI. Tetapi, ia menyarankan agar janji manis itu tidak sekedar dinanti. Gugun mengajak warga untuk aktif bertisipasi menyumbang ide dan mengawal janji gubernur baru.

“Gubernur itu kan sifatnya janji politik ya. Ini yang disadari oleh teman-teman di JRMK. Jadi, harus dari kita yang lebih aktif untuk menagih dan mengawal supaya itu terjadi. Kalau hanya berharap, ‘oh, karena sudah pernah berjanji lalu ditunggu realitasnya’ ya itu enggak akan pernah terjadi,” kata Gugun ketika dihubungi Rappler melalui telepon pada Kamis malam, 12 Oktober.

Menurut Gugun, teman-temannya dari JRMK pun sudah sejak lama mengajukan ide kepada Anies-Sandi untuk membangun kembali pemukiman warga di Kampung Akuarium. Bahkan, mereka juga mengusulkan agar proses revitalisasi dilakukan di 5 kampung lainnya.

Model revitalisasi yang diterapkan di masing-masing kampung berbeda-beda. Hal itu sesuai dengan kajian dan profil yang pernah mereka lakukan di masing-masing kampung.

“Ada yang dibangun kembali seperti di Kampung Akuarium dan Bukit Duri. Kalau Kampung Akuarium dan Kunir (di area Pinangsia) akan dibangun kembali di lokasi yang sama (di mana terjadi penggusuran). Sedangkan, Bukit Duri akan dibangun kembali di lokasi yang berbeda,” tutur Gugun.

Sementara, untuk Kampung Tongkol, Kerapu dan Lodan diusulkan agar dilakukan penataan di lokasi. Berdasarkan informasi yang ia dapat, Dinas Perumahan sudah mengirimkan surat kepada Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) untuk ditambahkan 10 kampung lainnya untuk direvitalisasi.

“Sehingga, total ada 16 kampung yang sudah siap untuk dilakukan penataan di tahun 2018. Tetapi, ini bukan penataan fisik yang bersifat langsung ya. Baru masuk di tahap perancangan,” kata dia.

Gugun dan rekan-rekan JRMK menargetkan agar anggaran untuk revitalisasi 16 kampung bisa masuk di RAPBD 2019. Ia berharap tidak ada kemunduran karena semakin lama warga dibiarkan bertahan di area penggusuran akan membahayakan kesehatan mereka.

Rencana lainnya yang diusulkan kepada Pemprov baru DKI yaitu sambil menanti proses pembangunan, harus dibangun shelter atau penampungan sementara bagi warga. Shelter yang dimaksud Gugun yakni berupa rumah bedeng yang layak dan mampu menampung lebih dari 300 warga Kampung Akuarium.

“Rumah bedeng ini walaupun semi permanen tapi berbeda dan lebih layak huni. Kalau yang sekarang kan mereka hanya pakai triplek, seng bekas dan terpal. Masih jauh dari kata layaklah. Shelter itu pun harus ada standarnya. Itu yang kami usulkan,” katanya.

Gugun juga sepakat dengan pendapat warga yang hanya memberikan kepercayaan 50% kepada Anies-Sandi. Tujuannya, agar publik tidak terlena dan terus terjaga mengawal semua program Gubernur baru DKI. Tetapi, ia menekankan terealisasi atau tidak janji-janji kampanye itu kembali kepada warga.

“Kalau warganya diam, hanya bermodalkan rasa percaya dan tidak ngapa-ngapain, maka kemungkinan besar juga tidak akan terjadi apa-apa,” katanya lagi.

Begitupun, Gugun juga meminta kepada warga agar memberikan waktu bagi gubernur baru untuk bekerja. Ia pun menetapkan semacam parameter apakah janji Anies-Sandi dapat terealisasi dalam isu pembangunan kembali rumah yang digusur.

Pertama, ada Peraturan Gubernur yang mengesahkan atau menetapkan pembangunan kembali Kampung Akuarium dan 15 wilayah lainnya. Langkah ini memungkinkan untuk segera dikerjakan oleh Anies-Sandi pada tahun 2017.

Kedua, penganggaran untuk pembangunan kembali kampung-kampung itu sudah dikunci. Hal itu untuk memudahkan pembangunan bisa terealisasi pada tahun 2019. Ketiga, sudah harus ada shelter yang dibangun di tahun ini di area di sekitar Kampung Akuarium,” tutur dia.

Gugun mengatakan jika ke depannya, tidak ada satu dari tiga hal itu yang terealisasi, maka kelanjutan program pembangunan kembali rumah warga di area penggusuran patut dipertanyakan.

Gugatan Class Action terus jalan

DIGUSUR. Suasana di area Kampung Akuarium pasca digusur oleh Pemprov DKI pada April 2016. Foto oleh Santi Dewi/Rappler

Munculnya rezim pemerintahan yang baru ternyata tidak menghentikan gugatan class action yang pernah dilayangkan warga ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Oktober 2016. Pengacara LBH Jakarta Matthew Michele Lenggu yang sejak awal mendampingi warga menjelaskan yang digugat adalah pihak Pemprov DKI dan bukan Ahok. Artinya, siapa pun yang memimpin DKI Jakarta maka akan menjadi pihak tergugat.

Dalam gugatan warga yang teregistrasi nomor 532Pdt.G/2016/PN.JKT.PST, mereka menuntut agar Pemprov DKI membangun kembali bangunan yang pernah mereka gusur. Jika, tuntutan itu tidak dipenuhi, maka mereka menuntut ganti rugi sebesar Rp 17 miliar dan ganti uang sewa senilai Rp 951 juta.

“Jadi, tuntutan utamanya itu bukan meminta uang ganti rugi. Tetapi, kami ingin pemerintah membangun kembali kampung itu. Uang ganti rugi bisa saja dipenuhi jika majelis hakim berpendapat lain,” ujar Matthew yang dihubungi Rappler pada Sabtu malam, 14 Oktober.

Ia menjelaskan gugatan itu berawal dari ego Pemprov DKI yang memilih tetap menggusur secara paksa dan memindahkan mereka ke rumah susun. Padahal, itu semua tidak memberikan solusi kepada warga yang sudah puluhan tahun menghuni Kampung Akuarium. (BACA: Mediasi gagal, warga Kampung Akuarium ajukan gugatan)

Selain itu, LBH Jakarta juga ingin memanfaatkan sesi persidangan tersebut untuk mendengar secara langsung tujuan penggusuran Kampung Akuarium. Sebelumnya, ramai disebut kalau area yang berada di dekat Menara Syahbandar itu akan disulap menjadi area wisata bahari. 

“Klaimnya memang demikian, untuk wisata bahari. Tapi sampai saat ini kami belum pernah melihat adanya dokumen resmi yang menyatakan akan dibangun untuk apa,” kata Mathew.

LBH Jakarta juga pernah menemukan selebaran berupa peta grand design area Kampung Akuarium. Di dalam peta itu tergambar Kampung Akuarium akan diubah menjadi sebuah plasa dan area terbuka. Namun, setelah dicek kembali oleh organisasi Ruang Jakarta (RuJak), desain itu belum final.

Matthew mengaku belum punya kesempatan untuk berdialog dengan Gubernur baru DKI. Padahal, ia sempat bertemu Sandi di Kampung Akuarium di acara UN World Habitat.

Saat itu Sandi kembali menjanjikan tidak akan melakukan penggusuran dan menata dengan sistem zonasi serta kebutuhan masyarakat.

“Tapi, seperti biasa itu kan janji politik. Kami tidak bisa memegang itu. Apalagi realisasinya belum kelihatan, walaupun karakter pemerintahannya nanti akan berubah,” kata dia.

Apa pun itu, Matthew melihat dari tiap gubernur yang memimpin DKI, tidak ada satu pun yang memiliki konsep jelas mengenai hak atas perumahan. Hal ini juga berlaku untuk pasangan Anies-Sandi.

Bahkan, jika merujuk kembali ke beberapa gubernur di masa lalu, mereka masih menjadikan aksi penggusuran sebagai opsi untuk melakukan penataan.

“Padahal, di dalam aturan yang berlaku di Dewan HAM PBB nomor 7 tahun 1997, penggusuran seharusnya dijadikan opsi terakhir dan bukan cara yang utama. Itu pun jika ingin diterapkan harus melalui persayaratan yang ketat, dimulai dari musyawarah yang tulus, memperhatikan hak anak dan perempuan dan tidak membuat mereka menjadi tuna wisma,” kata Matthew.

Janji jelang pelantikan

HASIL KERJA. Ketua tim sinkronisasi Sudirman Said menyerahkan buku hasil kerja selama enam bulan ke pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pada Jumat, 13 Oktober. Foto oleh Ananda Nabila/Rappler

Wakil Gubernur terpilih Sandiaga Uno menjelaskan ada tiga fokus utama usai dilantik pada Senin, 16 Oktober, yakni penciptaan lapangan pekerjaan, pendidikan yang murah dan berkualitas serta biaya hidup yang terjangkau. Tiga pekerjaan rumah tersebut seolah menjadi ringan berkat masukan dari tim sinkronisasi yang selama enam bulan bekerja untuk mengidentifikasi program kerja.

Hasilnya, berdasarkan penelusuran tim sinkronisasi, 23 janji politik Anies-Sandi diturunkan 167 program. Itu termasuk program KJP Plus dan rumah dengan DP 0 rupiah.

“Ada beberapa hal yang bisa langsung dikejar setelah pelantikan yakni aspek pendidikan. KJP Plus itu adalah program yang sudah lama ditunggu publik,” ujar Sandi ketika menggelar keterangan pers di Kebayoran Baru pada Jumat, 13 Oktober.

Di hari itu, ia menerima buku berjudul ‘Sumbangan Pemikiran’ dari Ketua Tim Sinkronisasi Sudirman Said. Di dalam buku itu tercantum semua identifikasi terhadap program kerja Gubernur baru DKI. (BACA: Tim sinkronisasi: 23 janji politik Anies-Sandi diturunkan menjadi 167 program kerja)

Lalu, bagaimana dengan status kependudukan Warga Kampung Akuarium yang dihapus oleh Kelurahan Penjaringan? Menurut Gubernur Anies Baswedan mengaktifkan kembali status kependudukan mereka mungkin saja dilakukan.

“Tetapi, kami tidak hanya akan melihat status kependudukan bagi warga yang berada di Kampung Akuarium, melainkan semua warga yang pernah digusur,” kata Anies ketika ditanya Rappler.

Ia melihat ada peluang untuk memulihkan kembali status kependudukan bagi warga yang rumahnya digusur. Anies pun menyadari tidak semua warga yang menjadi korban penggusuran adalah penduduk ilegal. Sebagian dari mereka ada yang tetap digusur walau mengantongi sertifikat kepemilikan lahan. Tetapi, itu semua membutuhkan proses. – dengan laporan Uni Lubis/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!