FYI 2017: Enak dan sehat tak perlu jadi dua kubu berbeda

Rosa Cindy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

FYI 2017: Enak dan sehat tak perlu jadi dua kubu berbeda

DONNY

Forum for Young Indonesians 2017 bertemakan Our Food, Our Future

JAKARTA, Indonesia — Kebiasaan makan sembarangan dapat menjadi salah satu faktor kegemukan atau kekurusan. Lebih lanjutnya, permasalahan kesehatan akan menghantui tubuh. Bahkan untuk anak muda sekalipun. 

Data Riset Kesehatan Nasional 2016 mengungkapkan angka obesitas di Indonesia mencapai 20,7% alias meningkat pesat dibanding 2013 dengan 15,4%. Hal ini berjalan seiring dengan bergesernya pola makan anak muda yang cenderung lebih sering menyantap makanan cepat saji dan minuman-minuman manis.

“Enak dan sehat enggak seharusnya jadi dua kutub yang berbeda,” kata Ketua Forum for Young Indonesians (FYI) Anindita Sitepu. 

Ia merangkum penjelasan sebelumnya oleh Regional Advocacy Officer for Sustainable Diets for All Silviana Paath pada panel diskusi Youth Leading the Healthy Diet Movement dalam rangkaian acara FYI: Our Food, Our Future yang digelar di Main Hall Usmar Ismail, Jakarta Selatan, pada Minggu, 22 Oktober.

(BACA: FYI: Kemas persoalan pangan untuk kepedulian anak muda)

Ada beberapa unsur yang terkait pangan berkelanjutan menurut Silviana; yaitu sehat, aman, terjangkau, dan ramah lingkungan. Namun, masih ada yang kurang.

“Ada yang kurang, yaitu rasa. Kalau enggak enak, siapa yang mau?” ujarnya.

Menyadari hal ini, lahirlah gerakan Dapur Indonesia yang bertujuan untuk memperjuangkan makanan sehat dan enak, dan menjadikannya sebuah tren. Di sisi lain, anak muda dirasanya bisa berperan penting. Sebab, anak muda merupakan pihak yang sadar pada perubahan tren. 

Hal ini menjadi bukti bahwa anak muda seharusnya bisa berperan dalam memperjuangkan pola konsumsi pangan berkelanjutan yang sehat dan enak. Apalagi, disebutkannya, konsumen mempunyai kekuatan yang luar biasa. Hal ini tercermin pada premis “kalau ada demand, pasti ada supply”. 

“Misalnya kalian suka makan ke restoran mana, tapi kalian rasa makanan sehat dan lokalnya itu kurang, kalian bisa minta [untuk diadakan] lho,” kata Silviana.

Selain itu, anak muda juga lebih akrab pada perkembangan teknologi dan media sosial, yang bisa dimanfaatkan dalam tujuan mempromosikan makanan sehat tersebut. Apalagi dengan maraknya kebiasaan memfoto makanan dan mengunggahnya ke sosial media sebelum menyantap.

“Jadi, ada banyak sekali hal-hal praktis yang bisa kalian lakukan,” ungkapnya.

Nyatakan gerakan anak muda

Upaya memperjuangkan makanan sehat telah dilakukan Fatmawati Purba bersama tim Pencerah Nusantara. Dalam usahanya, ia menggunakan daun kelor yang dianggap masih underrated, padahal banyak terdapat di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Apalagi, kesehatan menjadi salah satu permasalahan utama di daerah tugasnya, Sumbawa Barat.

“Apabila bisa dikembangkan dengan baik, bisa menyelamatkan jutaan jiwa di negara-negara tersebut,” tutur Fatma.

Kelor sendiri terbukti mengandung banyak gizi di dalamnya. Dijelaskan Fatma, kelor memiliki kandungan potassium yang lebih tinggi daripada pisang, vitamin A daripada wortel, zat besi daripada bayam, vitamin C daripada jeruk, kalsium daripada susu, dan protein daripada yogurt.

Foto oleh Rosa Cindy/Rappler  

Dengan kandungan bernutrisi tersebut, kelor digalakkan menjadi bahan pangan utama. Sebab prinsipnya, tumbuh kembang yang baik adalah kunci dari kecerdasan optimal. 

Bahan kelor ini pun dijadikan beragam jenis makanan, seperti mie kelor, kue lumpur kelor, nugget kelor, sempol kelor, puding lumpur kelor, dan lainnya. Harapannya, diversifikasi jenis makanan tetap terjadi, meski hanya dengan satu bahan pokok.

Usaha Fatma pun tidak sia-sia. Gerakannya dikenal dan diapresiasi, bahkan oleh Pemerintah Daerah Sumbawa Barat dengan menetapkan Peraturan Bupati Sumbawa Barat no. 80 tahun 2017 tentang Gerakan Menanam dan Pelestarian Kelor (GEMARI KELOR). 

Pada akhirnya, Fatma sungguh-sungguh menekankan pada pentingnya peningkatan kualitas gizi masyarakat dengan peningkatan kualitas bahan pangan juga.

“Makanan itu nilainya bukan dari penyajiannya, tapi dari nutrisi di kandungannya,” kata Fatma.

Selain Fatma, ada pula Bhaskara Anggarda dan Albert Tulak yang menggagas ide diversifikasi produk olahan ubi jalar di Wamena, Papua. Ide ini dipresentasikan mereka pada kompetisi Seeds for Change, dan terpilih menjadi salah satu dari dua juara utama.

Gagasan ini muncul dari karena masyarakat Wamena tampak semakin meninggalkan ubi jalar sebagai pangan lokalnya setelah menikmati nasi, yang penyebarannya ke wilayah Timur digalakkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Padahal, kebutuhan bahan pangan di Papua sangat tergantung pada pengiriman melalui jalur udara. 

“Jadi kalau Hercules jatuh, pesawat kargonya kecelakaan, selesai. Kita enggak punya bensin, kita enggak punya bahan makanan, kita puasa,” tutur Bhaskara.

Hal lain yang juga menjadi keprihatinan adalah rendahnya kemampuan pengolahan ubi jalar di sana. Selama ini, dijelaskannya, ubi jalar di sana hanya dimasak dalam bentuk rebusan atau gorengan, yang mana bisa dilakukan hampir oleh semua orang.

Pada akhirnya, nilai ekonomisnya menjadi rendah. Bhaskara dan Albert berinisiatif untuk melakukan pemberdayaan wanita-wanita Papua agar bisa mengolah ubi jalar dalam bentuk baru, seperti keripik, brownies, dan kue-kue lainnya.

Jadi, ide ini berfokus pada beberapa hal yang berjalan beriringan, seperti pelestarian ubi jalar sebagai pangan lokal, edukasi pengolahan ubi jalar sebagai bentuk upaya peningkatan kemampuan ekonomi, serta meningkatkan diversifikasi jenis makanan meski dengan satu bahan pokok.

Kedua hal ini dapat menjadi bukti bahwa generasi muda, sebagai pihak-pihak yang masih akan produktif hingga puluhan tahun lagi, amat bisa berkontribusi pada peningkatan pangan berkelanjutan di Indonesia, baik dengan cara praktis seperti promosi makanan sehat, hingga gagasan dan aksi nyata mendalam seperti yang dilakukan Fatma, Bhaskara, dan timnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!