Menghadirkan Pram di Perpustakaan Anak Bangsa Blora

Eko Widianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menghadirkan Pram di Perpustakaan Anak Bangsa Blora
Soesilo Toer, adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer, mendirikan Pataba untuk mengenang warisan kakaknya dalam literasi Indonesia

BLORA, Indonesia — Di dinding perpustakaan itu terpasang sebuah papan yang bertuliskan, “Perpustakaan Liar”. 

“Itu papan hadiah dari Pemerintah Blora. Bukan penghinaan tetapi penghargaan,” kata Soesilo Toer, adik dari sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Soesilo tengah berusaha menghidupkan kembali rumah masa kecil Pram, begitu ia akrab disapa, di Blora, Jawa Tengah. Rumah keluarga yang menjadi rumah tinggal masa kecil Pram itu kini disulap menjadi Perpustakaan Anak Bangsa (Pataba).

Awalnya perpustakaan ini bernama Pramudya Ananta Toer Anak Blora, sebelum kemudian berubah menjadi Perpustakaan Anak Bangsa, yang diambil dari salah satu judul buku terlaris Pram, Anak Semua Bangsa.

“Buku berasal dari membeli sendiri dan sumbangan. Pram mengajarkan jangan meminta-minta.”

Beragam koleksi buku ditata rapi di rak-rak yang mengelilingi bagian dalam rumah itu.

“Pataba didirikan pada 21 April 2006, bersamaan dengan Pram meninggal,” kata Soesilo saat menjadi panelis diskusi mengelola perpustakaan dan arsip dalam rangkaian Pameran Malang Sejuta Buku, di Taman Krida Budaya Jawa, pada 22 Oktober.

Rumah yang dulu pernah disebut sebagai rumah hantu dan rumah PKI [Partai Komunis Indonesia] itu pernah dibakar massa saat terjadi pergolakan pada 1965 silam. Namun kini Soesilo berniat menciptakan Pataba dengan suasana keakraban, berharap pengunjung dapat menjadikan Pataba seperti rumah sendiri.

Self service. Selalu disediakan minum untuk pengunjung. Jika membaca lama, saya ajak makan,” kata adik keenam Pram itu.

Bagi pengunjung yang hendak bermalam juga disediakan kamar khusus untuk menginap—sebuah kamar yang digunakan Pram saat ia kecil. Di dalam kamar itu terpampang gambar Pram.

Pataba, yang memang didedikasikan untuk mengenang Pram, juga dijadikan tempat untuk mengenang koleksi buku-buku penulis yang pernah dibuang ke Pulau Buru oleh pemerintah Orde Baru itu. 

Setelah 11 tahun berdiri, perpustakaan yang dimulai hanya dengan 500 eksemplar buku dari koleksi pribadi itu telah berkembang dan kini memiliki 10 ribu eksemplar buku.

“Buku berasal dari membeli sendiri dan sumbangan. Pram mengajarkan jangan meminta-minta,” kata Soesilo. 

Ia mengaku, separuh gajinya sebagai dosen di Universitas Tujuh Belas Agustus dibelikan buku. Setelah itu semua buku diboyong ke Blora.

Selain itu, Soesilo juga menerima sumbangan buku dari peneliti dan akademisi dari Jepang dan Amerika Serikat. “Ada juga buku hadiah dari Pram,” ujarnya. 

Ia mengatakan, selama beroperasi, Pataba telah dikunjungi oleh mahasiswa dan peneliti dari Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Tak ketinggalan peneliti dan penulis dari berbagai penjuru dunia. 

“Kecuali Afrika, belum ada yang berkunjung,” katanya. 

Namun, sejak berdiri 11 tahun lalu sampai saat ini, belum ada satupun tetangga Soesilo yang berkunjung dan membaca buku. Padahal, sekitar 10 keluarga di daerah Pataba merupakan keluarga guru.

“Keluarga guru tetapi miskin membaca,” akunya sedih. 

Karya Pram yang paling fenomenal, Bumi Manusia, menurut Soesilo sudah puluhan kali dicetak di luar negeri. “Sementara saya pameran di Blora, tak ada satu pun yang membeli,” ucapnya sedih.

Berkarya dari memulung

Menurutnya, dirinya dan Pram memiliki perbedaan karakter yang mencolok. Pram di mata Soesilo merupakan sosok yang selalu optimistis, sementara dirinya pesimistis.

Pram lahir saat keluarga mereka sedang kaya dan berjaya, sedangkan Soesilo lahir saat usaha keluarganya bangkrut.

Soesilo sendiri juga merupakan sesosok yang unik. Ia menyandang gelar “Rektor” atau “Tukang korek barang kotor”.

Saban hari ia memulung dan memnemukan beragam barang harga yang dijualnya kembali. Ia mengaku menikmati pekerjaan itu.

“Sejak kecil saya suka memulung,” aku Soesilo. 

Bahkan halaman rumahnya dibangun dengan pecahan keramik hasil memulung selama delapan tahun. Ia memiliki kenangan dan sejarah yang menarik dari kegiatannya setiap hari memulung. 

Ia berencana untuk menggelar pameran karya-karyanya dari hasil memulung. Ia tak mau kalah dengan mendiang kakaknya sebagai seorang penghasil karya.

“Pram harus saya kalahkan. Kalau dalam sastra, saya kalah,” kata Soesilo. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!