Banyak cara merawat toleransi tetap tumbuh di Indonesia

Fanny Sara

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Banyak cara merawat toleransi tetap tumbuh di Indonesia
Tokoh-tokoh lintas agama berbagi pandangan mengenai menjaga toleransi di Indonesia

 

JAKARTA, Indonesia — “Siapa hidup berdampingan secara damai, mereka adalah pemenang.”

Itulah kalimat yang diutarakan oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban Din Syamsuddin dalam acara Diversity Dinner Sabang Merauke: 5 Tahun Merawat Toleransi, pada Jumat, 24 November, lalu.

“Bagi bangsa Indonesia, kemajemukan ini adalah kekuatan. Kita harus siap hidup berdampingan secara damai dengan inklusif. Orang lain ada untuk kita. Kita ada bukan untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang lain,” lanjutnya.

Apa yang disampaikan Din Syamsuddin relevan dengan situasi Indonesia saat ini di mana isu intoleransi—terlebih yang dipolitisasi—merebak di berbagai daerah. 

Acara yang menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama ini penting untuk diadakan sebagai pengingat bahwa tidak ada sekat-sekat sesama umat beragama di Tanah Air. Bertemakan “Merawat Toleransi, Melintas Sekat Religi”, acara ini menghadirkan:

  • I Wayan Kantun Mandara (Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Jakarta Pusat)
  • Pdt. Jose Carol (Penasihat Sinode Jemaat Kristen Indonesia)
  • Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja (Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia)
  • Muchlis M. Hanafi (Wakil Direktur Pusat Studi Al-Qur’an)
  • Peter Lesmana (Sekretaris Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)
  • Romo Antonius Benny Susetyo (Rohaniawan, Penasihat Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila)

Dalam diskusi, Romo Benny memberikan masukan tentang dihidupkannya kembali ruang-ruang publik yang memberikan teladan tentang toleransi dan keberagaman.

“Munculkanlah ikon-ikon keteladanan, marilah kita bicara tentang kemanusiaan dan keadilan. Sehingga anak-anak bisa menumbuhkan sikap welas asih, saling memberi, dan saling berbagi,” katanya.

Muchlis turut memberikan pandangan tentang pentingya penghormatan dalam upaya merawat toleransi.

“Toleransi yang saya pahami adalah sikap menghargai dan menghormati orang lain, meskipun kita tidak setuju,” katanya.

Hal ini dinilai relevan, karena seringkali konflik-konflik yang muncul pada awalnya bukan karena masalah keagamaan, sehingga diperlukan kebesaran hati untuk bertoleransi untuk menghindari perseturuan yang tidak perlu. 

Pdt. Jose Carol memberikan pandapat bahwa keindonesiaan kita akan mampu menjadi penguat untuk menjaga perdamaian.

“Bagaimana kita mengajarkan atas penerimaan terhadap perbedaan yang ada. Kita gunakanlah keindonesiaan kita untuk mengenal, untuk melunturkan sekat,” katanya. 

Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja memberikan perspektif dari sudut pandang Buddha, bahwa agama bukanlah tujuan akhir, kesempurnaan menjadi manusia yakni kebahagiaan adalah tujuan, dan kebahagiaan hanya akan tercipta dalam suasana damai. 

“Sejak kecil anak-anak harus tahu pemahamanagamanya, tujuan akhir bukan agama, adalah pencapaian kesempurnaan diri sendiri. Kalau dirinya sempurna, dia bisa menghormati yang lain,” katanya. 

Hal senada juga disampaikan oleh I Wayan Kantun Mandara. Ia memberi gambaran, bahwa saudara ialah mereka yang seudara. Tak hanya manusia, tapi juga semua makhluk. Sehingga perlu untuk selalu berpikir, berkata, dan bertindak baik bagi sesama. 

Dari Konghuchu, Peter Lesmana memberikan pendapat bahwa perdamaian bisa dimulai dari dalam diri.

“Jangan lakukan apa yang tidak ingin orang lain lakukan pada kita.” Hal itu akan membuat setiap orang untuk sadar tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!