Mengapa kita perlu berhenti menertawakan humor seksis

Yohannie Linggasari

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa kita perlu berhenti menertawakan humor seksis
Stop jadikan humor seksis wajar

“Ah, lo mah Relaxa. Iya, Relaxa, alias rela diperkosa.”

Masih ingat lelucon di atas? Saya mendengarnya pertama kali ketika saya masih di bangku sekolah dasar. Lelucon berdasarkan permainan kata dari sebuah merek permen tersebut cukup populer di kalangan pelajar. Saat itu saya menganggapnya lucu karena saya tidak begitu mengerti maksudnya, juga tak begitu paham soal pemerkosaan, apalagi perkara seksisme dan feminisme.

Namun sekarang, mendengarnya saja membuat saya mengernyit dan timbul perasaan tidak terima. Dan, tentunya tidak lucu. Itu hanya satu contoh dari banyak kelakar seksis yang bukan hanya dilontarkan oleh orang dewasa, tetapi juga anak di bawah umur.

Hal ini menunjukkan bahwa lelucon sehari-hari di antara masyarakat ternyata masih berkonten seksis dan misoginis. Yang lebih memprihatinkan lagi, anak-anak terbiasa mendengar dan menertawai bercandaan seksis. Bisa terbayang bukan bagaimana kacaunya bila saat dewasa mereka juga menganggap seksisme dan misogini itu adalah hal yang biasa dan dapat diterima?

Di zaman digital seperti sekarang, ternyata lelucon berkonten seksis dan misoginis makin menjadi-jadi. Komedian Kemal Palevi beberapa saat lalu dihujat karena membuat video yang ditayangkan di YouTube, dengan konten seksis dan melecehkan karena menanyakan ukuran bra pada perempuan-perempuan, dan salah satunya ternyata gadis berusia 14 tahun.

Tampaknya, Kemal tidak paham soal apa itu seksisme dan pelecehan seksual. Bahkan, dalam cuitannya di Twitter, ia sempat menyebarkan teaser video tersebut dengan menonjolkan fakta bahwa dia menanyakan ukuran bra gadis 14 tahun, dengan bangga dan merasa itu lucu.

Bukan hanya lazim di budaya populer, lelucon seksis masih dianggap wajar di segala tatanan kehidupan di Indonesia, seperti di keluarga, sekolah, lingkungan kerja, politik, maupun pergaulan sehari-hari.

Saya masih ingat ketika seorang pengajar saya mengeluarkan lelucon di depan kelas tentang betapa teman perempuan saya terlihat menarik ketika rambutnya basah. Seisi kelas tertawa atas dasar “kan cuma bercanda”. Sesungguhnya, candaan itu bernada seksual dan tidak pantas diucapkan, apalagi oleh pengajar ke siswanya.

(BACA: Komedi Indonesia yang sarat testosteron)

Kali lain, seorang rekan mengeluarkan gurauan tentang seorang jurnalis perempuan yang berhasil mendapatkan informasi ekslusif. Bercandaan itu kurang lebih menyatakan bahwa si jurnalis perempuan ini mungkin saja tidur dengan narasumber untuk mendapatkan informasi itu. Tentu saja semuanya tertawa, lagi-lagi atas dasar “bercanda”.

Saya rasa, humor seksis terhadap perempuan sama tidak bisa diterimanya dengan humor seksis terhadap laki-laki. Sebut saja, humor bahwa pria bodoh saat diminta belanja bulanan atau humor bahwa pria bertindak dengan mengikuti dorongan seksual semata. Humor tersebut sama tidak lucunya dan diskriminatif.

Humor punya kekuatan

Mengapa kita tidak boleh menoleransi humor seksis? Karena humor punya kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Fakta bahwa saya mengenal lelucon seksis sejak saya masih berseragam putih-merah menunjukkan ada hal yang tidak beres dalam masyarakat kita.

Humor seksis yang dianggap lumrah akan membuat seksisme dan pelecehan seksual menjadi lazim.

Humor soal pemerkosaan yang dianggap biasa akan membentuk suatu budaya pemerkosaan — budaya yang mendukung kekerasan terhadap perempuan, di mana perempuan dilihat sebagai obyek dan komentar serta lelucon seksual yang mendiskrimasi dan menyakitkan dianggap lucu.

(BACA: Mengapa saya buka suara tentang pelecehan seksual yang pernah saya alami)

Paparan humor seksis pada diri seseorang juga akan berpengaruh pada perilaku orang tersebut. Sebuah penelitian dari Western California University menunjukkan bahwa orang yang kerap terpapar humor seksis dapat menyebabkan orang tersebut menoleransi perilaku memusuhi dan mendiksriminasi perempuan.

Bukan hanya itu, dalam penelitian yang sama juga ditemukan bahwa orang-orang yang terpapar gambar dan humor seksis juga cenderung setuju dengan pemotongan dana bagi organisasi perempuan.

Jadi, ya, humor punya kekuatan untuk mempengaruhi pemikiran manusia dan tindakan mereka. Sayangnya, humor seksis nyatanya masih menjadi bagian dari dunia komedi Indonesia. Humor demikian menjadikan perempuan sebagai obyek dan target. Kemal Palevi hanya satu di antara banyak YouTuber yang menjadikan seksisme sebagai bahan lawakan.

Yang menyedihkan, sosok Kemal ini menjadi idola di kalangan anak muda tertentu serta menjadi panutan bagi kaum muda yang ingin berkarier sebagai komedian melalui jalur lomba Stand Up Comedy atau YouTube. Ketika saya mencoba mencari tahu seperti apa YouTuber-YouTuber lainnya yang baru memulai membuat video, ternyata tak jarang dari mereka yang membuat video seksis seperti Kemal.

Beberapa YouTuber Indonesia yang saya temukan memasukkan konten yang disebut “prank” dengan menjadikan perempuan sebagai objeknya. Sebut saja tantangan meminta nomor handphone perempuan, tantangan “menembak” perempuan, hingga tantangan mencium perempuan. Semua hal yang melecehkan perempuan tersebut dianggap wajar dengan alasan “cuma bercanda”.

Berhenti tertawakan humor seksis

Selama ini kita kerap menoleransi humor seksis dengan alasan itu hanya humor. But no, kita tidak boleh menjadikannya wajar. Faktanya, bukan hanya laki-laki yang bisa tertawa akan lelucon seksis, tetapi juga perempuan.

Mereka yang tertawa akan humor seksis tersebut sesungguhnya turut menunjukkan bahwa jauh di dalam hati dan pikirannya ada prasangka negatif terhadap perempuan, yang ujung-ujungnya berakhir pada pendiskriminasian terhadap perempuan.

Banyak pula yang terpaksa tertawa karena takut dianggap “enggak asyik” atau “terlalu serius”. But, sexist jokes are not funny at all. They are hostile and humiliating. Menertawakan humor seksis sama saja dengan menganggap wajar seksisme dan diskriminasi terhadap perempuan.

Apa jadinya bila orang yang menoleransi humor seksis menjadi pengambil kebijakan di Indonesia?

Tentu, hal itu akan berpengaruh buruk pada kesetaraan gender yang selama ini telah digalakkan oleh para aktivis kesetaraan gender. Saat ini saja, kita tahu beberapa politisi justru mengeluarkan komentar yang menyalahkan korban pemerkosaan. Sebut saja, Marzuki Alie dan Fauzi Bowo yang menyalahkan cara perempuan berpakaian.

Memang mudah sekali membuat humor dari konten-konten bersifat seksis. Tapi komedian seperti itu tidak ada hebat-hebatnya. Komedian yang berhasil menciptakan materi kreatif dengan cara yang tidak seksis itulah yang bisa disebut komedian hebat. Dengan begitu, tidak ada pihak-pihah yang harus dilecehkan atau direndahkan.

Kemarahan para netizen saat video Kemal tersebar sesungguhnya membutikan bahwa masyarakat Indonesia tidak suka dengan konten-konten seksis. Meski tidak pula saya menutup mata bahwa masih banyak komentar-komentar seksis yang mendukung pelecehan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Sekarang atau terlambat, jangan jadikan humor seksis menjadi wajar. Tolak dan jangan tertawakan humor berkonten seksis. —Rappler.com

Tulisan ini sebelumnya diterbitkan di www.magdalene.co

Yohannie Linggasari merupakan eks jurnalis ibukota yang memiliki mimpi menulis bukunya sendiri. Ia mulai mengenal dan mempelajari isu-isu gender dan feminisme di bangku kuliah. Kini berdomisili di Singapura dan memilih bekerja nine-to-six. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!