Kala tukang tusuk sate dituduh hina Jokowi

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kala tukang tusuk sate dituduh hina Jokowi
Ketika seorang tukang sate ditangkap, publik berharap Presiden Jokowi tetap menghargai kebebasan berekspresi

Beberapa hari belakangan media sosial diramaikan oleh kicauan terkait kasus penahanan polisi atas seorang pemuda usia 24 tahun berinisial MA, asal Ciracas. Dia dituduh mencemarkan nama baik Presiden Joko “Jokowi” Widodo, karena menggunggah hasil rekayasa gambar Jokowi ke status Facebook-nya. Gambar hasil rekayasa dianggap melanggar sejumlah undang-undang, termasuk UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Anti-Pornografi.

Berita itu dimuat luas di media siber dan dibahas di televisi. Anda bisa mengikuti kisahnya di sini dan di sini. Umumnya netizen menganggap penangkapan polisi atas MA yang hanya lulusan SMP itu berlebihan.

Berita ini menjadi santapan empuk bagi politisi. Ketua Pengurus Harian Partai Demokrat Syarief Hasan menyayangkan ada seorang tukang sate ditangkap polisi lantaran dianggap menghina Jokowi lewat Facebook. “Kalau Pak SBY selama 10 tahun sudah pribadi di-bully, gambarnya kadang dibakar, keluarga dihujat, apa yang dilakukan dihujat. Presiden bisa menerima lapang dada,” kata Syarief, Rabu (29/10).

Saat berlangsungnya masa kampanye Pemilihan Presiden 2014, saya diundang oleh Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC) untuk mendiskusikan independensi media dalam meliput pemilu. Ada pertanyaan dari hadirin: “Menurut Anda, bagaimana nasib kemerdekaan pers jika yang menang dalam Pilpres adalah Jokowi? Bagaimana dengan Prabowo?”   

Saya tahu ruangan didominasi oleh wartawan pro Jokowi. Ini saya katakan juga, dan disambut senyum simpul oleh wartawan yang mewakili media asing yang meliput di Indonesia. 

Jawaban saya atas pertanyaan itu adalah, “Bagi saya, Jokowi atau Prabowo yang menjadi presiden, kami, media, tidak boleh taken for granted atas kemerdekaan berekspresi saat ini. Termasuk kemerdekaan pers. Politisi dalam upayanya merebut popularitas di mata rakyat, seringkali menunjukkan pro terhadap kemerdekaan berekspresi. Manakala sudah duduk di kekuasaan, dan mulai terganggu dengan kebebasan berpendapat, mereka akan tergoda juga untuk menjerat kebebasan berekspresi dengan pasal-pasal untuk mengkriminalisasi warga”.

Berkali-kali dalam beragam kesempatan, termasuk di percakapan media sosial, saya mempertanyakan apakah Presiden Jokowi dan politisi di Senayan bakal bersedia mencabut Pasal 27 (3) UU Informatika dan Transaksi Elektronika. Kalau tidak dicabut, setidaknya direvisi sehingga bunyi pasal itu tidak menjadi “pasal karet” yang mudah dikenakan kepada warga saat berkomunikasi di ranah digital. Setelah kasus yang menimpa Prita Mulyasari, kekhawatiran itu tak pernah surut. Kasus Prita bisa disimak di sini.

Tidak kalah pentingnya adalah literasi media dan literasi digital bagi warga seperti MA yang terjerat pasal pencemaran nama baik dan UU Anti-Pornografi. 

Di hari ke-10 Presiden Jokowi, dia melakukan kunjungan perdananya sebagai presiden mengunjungi lokasi dan korban bencana Gunung Sinabung, di Tanah Karo. Sebuah langkah bagus. Tapi kunjungan itu tertutup isunya dengan terungkapnya penahanan MA.

Saya ingin menggunakan peristiwa hari ini sebagai hari untuk menyampaikan ke Presiden Jokowi, pesan dari Bali Road Map, yang menjadi hasil dari pertemuan Global Media Forum di Bali. Pesan yang sarat dengan pengingat atas pentingnya merawat kemerdekaan berekspresi.

Pesan dari Bali Road Map untuk Jokowi            

A Child of the Slum Rises as President of Indonesia, demikian judul artikel yang dimuat koran berpengaruh di AS, New York Times, saat Jokowi diumumkan memenangi hitung cepat yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei pada Pemilihan Presiden 2014, 9 Juli lalu. Harian itu memaparkan pofil Ir. H. Joko Widodo, nama lengkap mantan walikota Solo yang masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, sebagai figur sederhana yang berasal dari desa. Media asing lainnya yang sejak berlangsungnya masa kampanye mendukung pencalonan pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla memuat berita senada. Begitu pula mayoritas media dalam negeri.

Secara pribadi saya tidak terlalu mengenal Jokowi. Saya pertama kali bertemu dengannya pada Januari tahun 2009, saat PDI Perjuangan, partai politik yang mengusung Jokowi sebagai kandidat presiden, menggelar Rapat Kerja Nasional IV di Solo. Sebagai Walikota merangkap tuan rumah, Jokowi nampak sibuk menerima ratusan tamu dari berbagai daerah. Meski demikian, figurnya tidak menonjol.

Malam hari, Jokowi ikut bergabung dengan sejumlah wartawan yang ngobrol santai dengan Puan Maharani, putri ketua umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Lokasi ngobrol di Gladag Langen Bogan (Galabo), sebuah tempat wisata kuliner malam, salah satu kreasi Jokowi untuk menarik minat wisata dan mempromosikan kuliner setempat. Seingat saya, Jokowi lebih banyak diam saat menikmati obrolan seru soal politik. Satu atau dua sapaan dari teman wartawan dijawab dengan senyum.

Di Rakernas IV PDIP itu, Megawati mengkritik pedas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Menurut putri Bung Karno yang pernah menjabat Presiden Republik Indonesia sebelum era Presiden SBY ini, pemerintah saat itu gagal mengendalikan harga sembako dan menjadikan rakyat seperti permainan yoyo. Di mata Megawati, strategi penurunan harga BBM yang tidak dilakukan secara total oleh SBY-JK hanya ditujukan mendapatkan simpati publik, bukan menyelesaikan persoalan utama, misalnya menaikkan daya beli masyarakat. 

“Pemerintah telah menjadikan rakyat seperti permainan anak-anak yang namanya yoyo. Naik turun, naik turun. Terlempar ke sana-kemari, kelihatannya indah. Tapi sebenarnya rakyat tak menentu hidupnya,” ujar Megawati di hadapan ratusan kadernya. Tepuk tangan gemuruh menggema di balai sidang hotel The Sunan, menyambut pernyataan politik itu.

Pada Pemilu Presiden 2014 lalu, Megawati merestui Jusuf Kalla, mendampingi Jokowi menjadi cawapres. Pasangan ini menang, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Saya lebih mengenal JK, karena sering meliput kegiatannya sejak masih menjadi pengusaha dari Makassar, menteri di kabinet Presiden Gus Dur dan Megawati, juga saat beliau menjadi Wakil Presiden periode 2004-2009. 

Hubungan Pak JK dengan media cukup dekat. Dia figur yang mudah diakses oleh siapapun, termasuk wartawan muda. Pak JK selalu membawa sendiri telepon genggamnya. Manakala media mengkritisi kinerjanya, bahkan menyerang sisi personal termasuk keluarganya, JK tak pernah memusuhi media itu. JK akan protes, menegur, tapi tidak memusuhi.

Presiden SBY yang memanen kritik pedas dari media dan media sosial dalam masa jabatan tidak pernah mengkriminalisasi wartawan dan media. Bedanya dengan JK yang membuka pintu bagi beragam media untuk dapat akses wawancara, Presiden SBY memilih media dan jurnalis tertentu untuk wawancara dan menerapkan syarat ketat termasuk daftar pertanyaan. Saya pernah berkali-kali mewawancarai Pak SBY. Belakangan, akses itu kian sulit karena seringnya saya mengkritisi sikap dan kebijakan Presiden melalui akun media sosial.

Pada tahun-tahun terakhir masa jabatannya, SBY nampaknya kehilangan kepercayaan kepada media. Di berbagai kesempatan dia mengeluhkan soal ini. SBY memilih diwawancarai oleh TV Demokrat, yang dikelola partai politiknya dalam menjawab beragam isu aktual. Rekaman wawancara diunggah ke saluran YouTube. Media mengutip dan memberitakan wawancara itu. 

Cara ini bisa dibilang “aman” bagi SBY karena menghindari salah kutip atau ucapannya diedit redaksi jika wawancara itu dilakukan oleh media umum. SBY juga dianggap memaksimalkan penggunaan medium media baru yang populer di Indonesia. Tapi, SBY menghindari engagement  atau keterlibatan dengan media. Pada akhirnya juga membatasi engagement dengan publik. SBY menggunakan media baru sebagaimana cara kerja media lama. Komunikasi satu arah.

Saya menghargai sikap SBY untuk tidak mengkriminalisasi kebebasan pers, tapi saya menyesalkan mengapa dia tidak serius mencabut Pasal 27 (3) UU ITE. Belum lagi dengan sikap tidak tegas Presiden SBY atas tekanan terhadap kelompok minoritas.

Saya optimis Jokowi menghargai kemerdekaan pers dan akan menjaganya. Sulit bagi saya membayangkan bahwa di masa pemerintahannya Jokowi membiarkan warga negara masuk penjara karena mengkritisi pemerintahan dan sikapnya.
-Uni Lubis

Bagaimana dengan Presiden Jokowi? Kendati jarang bertemu langsung, saya mengenal Jokowi dari begitu intensifnya pemberitaan media atas dirinya. Bagi televisi, berita terkait Jokowi menarikkan minute-by-minute rating program. Bagi pengelola media siber, sudut pandang yang “penting, nggak penting” terkait Jokowi mengundang pengunjung dan pembaca.

Awal September 2014 saya sempat bertemu dua kali dengan Jokowi. Yang pertama saat Jokowi makan malam dengan pemimpin redaksi dan wartawan senior. Jokowi lebih banyak menerima masukan dan pertanyaan. Ada yang menyampaikan soal pentingnya memilih juru bicara presiden yang tepat. Ada yang bicara soal pentingnya perhatian pada Papua. Ada yang menanyakan soal struktur dan postur kabinet Jokowi dan bagaimana mengelola koalisi. 

Saya menyampaikan perlunya memasukkan literasi media dan digital ke kurikulum sekolah sejak tingkat dasar, program sederhana yang bisa diimplementasikan untuk mendukung perempuan bekerja seperti mewajibkan ruang laktasi dan pengasuhan anak di kantor publik dan swasta, serta implementasi regulasi bangunan dan fasilitas transportasi yang ramah bagi penyandang disabilitas.

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Margiono saat diminta bicara meminta Jokowi menjaga kemerdekaan pers. Jokowi menanggapi singkat beberapa masukan dan pertanyaan. Soal jaminan kemerdekaan pers tidak dijawab. Tapi Jokowi mencatatnya.

Saya optimis Jokowi menghargai kemerdekaan pers dan akan menjaganya. Jokowi menjadi Walikota Solo, memenangi kursi Gubernur DKI Jakarta lalu terpilih menjadi Presiden 2014-2019 berkat dukungan pemberitaan dari media dan media sosial. Sulit bagi saya membayangkan bahwa di masa pemerintahannya Jokowi membiarkan karya jurnalistik diganjar hukuman pidana penjara. Juga tidak membayangkan Jokowi membiarkan warga negara masuk penjara karena mengkritisi pemerintahan dan sikapnya.

Menjadi pertanyaan juga buat saya apakah pemerintahan Jokowi-JK mau menghapus pasal 27 (3) UU ITE yang kian sering digunakan untuk menjerat pengguna media sosial. Soal ini perlu kesepakatan dengan politisi di DPR juga, karena merevisi UU memerlukan kerja bersama parlemen. Sebagai kepala eksekutif Jokowi diharapkan menganggap revisi UU ITE menyangkut pasal yang menjadi ancaman bagi kemerdekaan berekspresi ini sebagai hal mendesak. Begitupula dengan literasi media dan digital.

Bagaimana Jokowi memandang peran media? Dengan bantuan mesin pencari data di Internet, saya menemukan “komitmen” pasangan Jokowi–JK atas pentingnya peran media di visi-misi yang dipublikasikan situs Komisi Pemilhan Umum (KPU): “Kami akan membuka keterlibatan publik dan media massa dalam pengawasan terhadap tindakan korupsi maupun proses penegakan hukum terhadap tidak pidana korupsi,” demikian tercantum di butir “m”.

Di bagian lain dari visi-misi yang masuk di Nawa Cita program kerja Jokowi-JK, ada janji untuk membangun keterbukaan informasi dan komunikasi publik. Ada tujuh prioritas utama. 

 

  • Jokowi-JK akan menjalankan secara konsisten UU No. 12 Tahun 2008 tentang Keterbukaan dan Informasi Publik. 
  • Pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan instansi Pemerintah Pusat dan Daerah akan ditingkatkan. 
  • Instansi Pusat dan Daerah wajib membuat laporan kinerja yang bisa diakses publik. 
  • Mendukung partisipasi publik masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik. 
  • Menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik.  
  • Menata kembali kepemilikan dan frekuensi penyiaran sehingga tidak terjadi monopoli dan penguasaan oleh sekelompok orang (kartel) industri penyiaran. 
  • Mendorong inovasi dan pengembangan industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT).

 

Bagi saya, komitmen terhadap keterbukaan akses mendapatkan dan menyiarkan informasi sebagaimana dijamin konstitusi kita itu penting bagi kerja wartawan dan media. Tanpa terbukanya akses untuk mendapatkan dan menyiarkan informasi, wartawan (dan media) sulit berperan terutama dalam menggarap isu-isu penting dalam pembangunan sebagaimana tujuan pembangunan milenium (MDG).  

Sekarang, semua pihak sudah bicara soal Post-2015 Agenda. Bagaimana sikap dan rencana tidak semua pemangku kebijakan di negara anggota Pesatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atas tujuan yang belum tercapai. Saat ini sedang terjadi konsultasi intensif di 70-an negara yang difasilitasi Badan Pembangunan PBB (UNDP). 

Ragam isu yang dibahas dalam konsultasi antara negara termasuk lingkungan berkelanjutan, pengelolaan pemerintahan yang bersih dan transparan, pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan, kesehatan, kelaparan, makanan dan nutrisi, kesenjangan ekonomi dan sosial, dinamika populasi, sampai energi dan air. Dalam proses konsultasi dan persiapan Post-2015 saat berakhirnya masa waktu pencapaian MDG, muncul desakan kuat pelibatan media dalam proses pembangunan.

Peran media dan wartawan sesuai dengan esensi jurnalisme, yakni, “menyampaikan informasi kepada publik sedemikian rupa, sehingga publik dapat mengambil keputusan yang berakibat baik bagi hidupnya.” Esensi jurnalisme ini hasil kajian dan survei yang dilakukan duet penulis buku Elemen Jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, terhadap 3.000an responden jurnalis.

Uni Lubis buku ‘World Trends on Freedom on Expression and Media Development’ ke Jokowi saat ia masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Foto oleh unilubis.com

Untuk dapat berperan penting meliput isu pembangunan sesuai dengan esensi jurnalisme di atas, wartawan dan media perlu mendapatkan peningkatan kapasitas dalam peliputan dan penyajian karya jurnalistiknya. Saya berharap Jokowi (dan JK) memperhatikan pentingnya pendidikan dan pelatihan bagi wartawan dan media. 

Pesan dari Global Media Forum yang membahas pentingnya peran media dalam membangun masa depan yang kita inginkan, bagi penduduk bumi, dan tentunya penduduk Indonesia, saya sampaikan dalam kesempatan pertemuan singkat dengan Jokowi di kantornya, di Balai Kota DKI Jakarta, pekan pertama September lalu. Pertemuan itu dalam rangka meminta waktu wawancara untuk ANTV. Kami sempat bicara sejenak soal Global Media Forum yang melahirkan Peta Jalan Bali (Bali Road Map).

Saya teringat, di tas saya ada buku yang baru diluncurkan oleh UNESCO di acara GMF di Bali, yaitu, World Trends of Freedom of Epression and Media Development. Buku itu saya bawa ke mana-mana karena saya menyiapkan tulisan pasca mengikuti acara GMF di mana saya menjadi salah satu pembicara di panel yang membahas Gender Equality. Ini seperti kelanjutan dari keterlibatan spontan saya di acara World Press Freedom Day di kantor UNESCO di Paris, 3 Mei 2014. Saat itu saya juga menjadi pembicara. 

Spontan, saya menyerahkan buku itu ke Jokowi, saya berkata, “Pak Jokowi, buku ini hasil diskusi yang dilakukan ratusan jurnalis, akademisi, dan penggiat hak-hak sipil dari berbagai negara yang difasilitasi UNESCO. Termasuk jurnalis dari Indonesia. Ada rekomendasi bagi pemerintah. Pak Jokowi nggak perlu pusing memikirkan membuat program terkait kemerderdekaan berekspresi dan peran media untuk pembangunan. Di sini sudah lengkap. Tinggal pelaksanaan.” Jokowi manggut-manggut memberikan komitmennya. Dia meminta stafnya memotret penyerahan buku itu.

Jadi, saya boleh berharap bahwa sebagai Presiden 2014-2019, Jokowi sudah well-informed tentang isi buku itu. Semoga di tengah kesibukan yang menggunung, Presiden Jokowi sempat membacanya.

Kalau Jokowi tidak sempat membaca seluruh isi buku yang kaya dengan data itu, maka di bawah ini saya kutipkan isi dari Peta Jalan Bali (Bali Road Map) yang dihasilkan dalam Global Media Forum 25-28 Agustus 2014. Terkait dengan peran pemerintah, Peta Jalan Bali merumuskan rekomendasi berikut:

 

  • Menghormati kemerdekaan berekspresi, termasuk kemerdekaan pers dan hak untuk mencari dan mengakses informasi sebagai hak asasi yang mendasar, dan memungkinkan pencapaian tujuan agenda pembangunan Post-2015
  • Meninjau kembali hambatan-hambatan legal bagi kemerdekaan berekspresi termasuk hambatan kemerdekaan pers seperti hukum pidana penghinaan dan peraturan terkait degan hal itu menyangkut konten media; meninjau struktur peraturan yang menghambat kemerdekaan mengakses informasi.
  • Mempertimbangkan kembali kasus pemidanaan dan pemenjaraan wartawan, agar sesuai dengan standar internasional dan hak asasi manusia.
  • Menghindari penggunaan pembatasan ekonomi di tingkat negara untuk menyepelekan kemerdekaan pers, independensi media dan keberagaman.
  • Mendukung kian terbukanya akses ke Internet, pula ke berbagai medium Internet dan teknologi komunikasi sebagai sarana untuk merealisasikan sifat universal kemerdekaan berekspresi, seraya memerhatikan kesetaraan akses bagi partisipasi perempuan dan laki-laki. 
  • Mempromosikan keberagaman di media, termasuk dengan mendorong lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan media yang dapat dilakukan melalui berbagai insentif, menjamin akses bagi perempuan dan laki-laki dalam hal kepemilikan media dan pengambilan keputusan di media, mendukung peliputan isu-isu terkait kesetaraaan gender sebagai bagian tidak terpisahkan proses pembangunan. 
  • Memerangi diskriminasi, prasangka dan/atau bias yang menghalangi kesamaan akses untuk menikmati hak kemerdekaan berekspresi oleh sejumlah individu maupun kelompok-kelompok.
  • Secara sistematis, mengumpulkan dan membuka seluas mungkin akses bagi publik, termasuk secara digital, segala informasi yang terkait dengan isu pembangunan, seraya melindungi privasi.
  • Mempromosikan program-program yang meningkatkan kompetensi akan literasi media dan informasi di seluruh kelompok masyarakat, teutama anak-anak dan kaum muda, sehingga mereka dapat membekali dirinya dengan kemampuan untuk mengenali, memilih, mengevaluasi dan menggunakan informasi itu, berkreasi dan mengekspresikan informasi dan pendapat mereka, termasuk yang terkait dengan diskursus menyangkut isu pembangunan.
  • Mengupayakan dengan sungguh-sungguh dan terkoordinasi, bahwa semua yang terlibat dalam memproduksi karya jurnalistik dapat bekerja bebas dari rasa takut dan kekhawatiran akan serangan dan ancaman, serta mempromosikan dan mengimplementasikasikan UN Plan of Action on the Safety of Journalists and the Issue of Impunity.
  • Menciptakan lingkungan dan kepastian hukum di mana lembaga penyiaran publik, swasta dan komunitas diberdayakan untuk melayani informasi dan komunikasi yang dibutuhkan oleh individual dan kelompok yang berbeda-beda dalam masyarakat.
  • Memastikan lembaga penyiaran publik dikelola secara independen editorialnya, dilindungi dari intervensi kepentingan politik, dan mendapatkan dukungan dana cukup untuk memproduksi dan menyajikan konten berkualitas yang dibutuhkan publik.
  • Mendukung adanya pelatihan yang berkualitas serta program edukasi bagi wartawan dan pekerja media termasuk dalam menyajikan isu pembangunan.
  • Memastikan sistem yang menjamin transparasi yang lebih baik bagi kepemilikan media.
  • Mempromosikan untuk memasukkan pentingnya menjaga kemerdekaan bereskpresi dan media yang independen dalam UN-Post-2015 Development Agenda.

Daftar di atas juga penting diperhatikan oleh media.

Pemerintahan Jokowi-JK tidak mungkin melaksanakan rekomendasi ini seketika dan tanpa dukungan pihak terkait, terutama media. Dukungan yang saya maksudkan termasuk pengawasan media atas proses pembangunan, juga pengawasan media atas kinerja pemerintahannya. 

Sejarah akan mengingat Jokowi sebagai sosok yang melesat popularitasnya begitu cepat hingga meraih jabatan politik tertingi, menjadi Presiden Republik Indonesia. Jokowi sering dibandingkan dengan sosok Presiden AS Barrack Obama yang menjadi figur sangat populer tidak hanya di negaranya, melainkan juga di seluruh dunia. Tapi, pada akhirnya kinerja saat menjabat sangat menentukan. Presiden Obama kini diulas dalam berbagai survei sebagai salah satu presiden paling tidak populer dalam sejarah di AS. Sebagian karena kinerjanya, dan sebagian lain karena kebijakan penyadapan terhadap warga sipil yang dilakukan lembaga intelijen AS, sebagaimana dibocorkan Edward Snowden. 

Memerintah berbeda dengan kampanye. Begitu juga dengan respon media yang akan berbeda saat gegap gempita menyambut janji-janji kampanye dan angin perubahan, dengan saat menagih janji itu. Saya mendoakan yang terbaik bagi duet Jokowi-JK. Saya berharap media tidak perlu membuat judul berita sebagaimana yang dilakukan koran Los Angeles Times, Why Can’t Obama Run His Government, Smoothly As His Campaign?. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan chief editor news and current affairs di ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!