Refleksi satu bulan kinerja DPR RI

Adi Mulia Pradana

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Meningkatnya partisipasi publik mengawasi kinerja DPR patut mendapat apresiasi karena pada akhirnya produk yang dihasilkan DPR adalah untuk kepentingan rakyat.

 INDONESIA'S LEGISLATURE. Prabowo Subianto's coalition controls 2/3 of the House of Representatives. File photo by EPA

Belum sebulan sejak dilantik, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali membuat ulah. Dalam sidang paripurna pemilihan pimpinan alat kelengkapan dewan, Selasa (28/10), Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hasrul Azwar menjungkirbalikkan meja karena merasa pemimpin sidang tak menggubris interupsinya.

Hari berikutnya, Rabu (29/10), partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat membuat “DPR Tandingan” karena merasa tidak puas dengan kepemimpinan DPR yang saat ini dikuasai oleh Koalisi Merah Putih.  

Insiden meja terbalik dan DPR Tandingan ini hanyalah secuil bagian dari dinamika terbaru sejak anggota DPR periode 2014-2019 dilantik pada 1 Oktober lalu. Kejadian lainnya meliputi insiden “palu hilang” dan rapat paripurna yang berlangsung selama puluhan jam dalam pemilihan pimpinan DPR dan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hal-hal yang disebutkan di atas seolah menjadikan DPR periode kali ini istimewa.   

Menjadi istimewa mengingat partisipasi publik dalam pemilihan legislatif (Pileg) 9 April lalu sebenarnya tidak meningkat pesat dari tahun 2009. Hanya 75% warga negara Indonesia yang menggunakan hak suaranya dalam Pileg 2014, meningkat empat persen dari Pileg 2009. Namun, pengawasan publik terhadap wakil rakyatnya meningkat sangat pesat. Apa yang terjadi? 

Sebagai contoh, perhatian publik terhadap absensi anggota DPR ditanggapi sangat antusias (meski untuk dicerca) karena sepinya ruang rapat di gedung parlemen.

Mengapa kita harus peduli? 

Di luar persaingan kedua kubu, yang menarik adalah meningkatnya pengawasan publik terhadap wakil rakyat mereka di DPR. Salah satu penyebabnya mungkin adalah karena mereka merasa penyelenggaran pileg yang amat mahal, baik biaya teknis maupun uang yang beredar di tengah masyarakat saat masa kampanye yang ditebar oleh para caleg. Di pikiran mereka, dengan mahalnya biaya penyelenggaran pemilu legislatif, maka kinerja anggota DPR benar-benar harus diawasi.

Merujuk hasil studi politisi PDI-P Pramono Anung, rata-rata pemakaian dana kampanye caleg di Pileg 2009 mencapai 1 hingga 2 miliar rupiah. Di Pileg 2014 ini, diperkirakan biayanya meningkat hingga 3 sampai 4 miliaran rupiah. Sedangkan untuk biaya penyelenggaran Pileg 2014 adalah 16 triliun rupiah, meningkat dari 8,5 triliun rupiah pada Pileg 2009.

Maka setelah Pileg 2014 usai, dimulailah pengawasan ketat terhadap anggota DPR 2009-2014 yang masa jabatannya hanya tinggal sesaat. Terlebih lagi, di penghujung periode dihasilkan sebuah undang-undang kontroversial, yaitu Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), yang dikecam masyarakat karena dinilai menghambat proses demokrasi di Indonesia. 

Jujur saja, saya pribadi mewakili teman-teman di WikiDPR merasa kaget atas insiden palu hilang saat rapat paripurna perdana anggota DPR periode 2014-2019. Namun, lebih terkejut lagi melihat reaksi masyarakat yang mengawal rapat pemilihan pimpinan DPR yang berlangsung selama puluhan jam. Belum pernah rasanya rakyat menunjukkan antusiasme sebesar ini dalam memantau kinerja wakilnya, apalagi sejak hari pertama mereka dilantik. 

Bisa jadi media sosial memiliki peran besar terhadap tingginya tekanan yang diberikan kepada anggota DPR periode ini. Memang pengguna media sosial di Indonesia sudah cukup banyak sejak tahun 2009 lalu, namun penggunaannya bukan untuk mengawasi kinerja pejabat publik. Ditambah lagi saluran berita yang terus mengalir melalui linimasa di Twitter. 

Yang menjadi permasalahan di sini adalah, apakah pantauan masyarakat ini akan berbanding positif dengan kinerja anggota parlemen? Seharusnya iya, karena kini lebih diawasi oleh mata-mata yang terus mengawal gerak-gerik mereka. Tapi rasanya masih terlalu dini untuk menilai mengingat masa bertugas anggota DPR yang baru satu bulan. Sejauh ini perlu diakui bahwa belum ada sesuatu yang memuaskan rakyat dari kinerja DPR. Insiden-insiden seperti meja terbalik dan DPR tandingan hanya menunjukkan contoh ketidakdewasaan berpolitik dan meyakinkan masyarakat bahwa mereka bukan bekerja untuk rakyat.

Buta media sosial 

Tim WikiDPR menghimpun data dari 560 anggota DPR bahwa dari jumlah tersebut kurang dari 20 politisi yang aktif menggunakan Twitter untuk menyapa followers-nya. Ibaratnya, seorang anggota DPR yang tak memiliki akun Twitter belum tentu mengerti bahwa dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan di jaringan tersebut. Padahal pembicaraan online banyak terjadi di ranah media sosial. 

Hal lain yang cukup mengejutkan adalah anggota DPR yang masih muda di bawah umur 35 tahun banyak yang bukan pengguna aktif Twitter. Rendahnya kepedulian wakil rakyat memanfaatkan media sosial tentu menyulitkan mereka untuk berkaca terhadap perilakunya sendiri. 

Bagaimanapun, kinerja DPR selayaknya mendapat pengawasan lebih transparan dan komprehensif oleh siapapun, bukan hanya karena pihak yang menguasai DPR berlawanan arah dengan pihak eksekutif. Kontradiksi semacam ini sudah terjadi selama puluhan tahun di banyak negara demokratis lainnya. Mungkin, masyarakat awam Indonesia yang tidak mengetahui kondisi politik di negara lain menjadi terkejut melihat dinamika politik yang terjadi di Indonesia saat ini.

Justru di sinilah, pertentangan sengit antara kedua kubu di DPR dan kontradiksi tajam antara eksekutif dan legislatif menjadi lebih penting untuk diawasi. Tugas kita sebagai masyarakatlah yang harus terus mengawasi kinerja parlemen. Inilah tanda-tanda perubahan ke arah yang lebih baik, di mana masyarakat awam tak lagi terlalu buta mengenal seluk-beluk parlemen.

Memang merupakan salah satu tugas legislatif untuk mengontrol kinerja eksekutif, tapi bukan berarti menghambat kerja eksekutif. Kedua pihak harus saling membantu mewujudkan pembangunan nasional pasca pemilu, bukannya saling menyandera.

Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut performa anggota DPR periode kali ini. Dalam satu bulan saja, sudah banyak hal menarik yang patut dikomentari. Semoga hingga lima tahun ke depan, kinerja DPR periode 2014-2019 dapat lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, pada Pemilu 2019 rakyat akan lebih mudah untuk memastikan pilihannya. Tidak seperti yang lumrah terjadi selama ini, dimana para calon wakil rakyat hanya mencoba untuk mengenal rakyat dalam beberapa bulan menjelang pemilihan umum.

Ingat, bekerja lebih baik adalah tabungan moral bagi setiap legislator untuk memastikan konstituennya tidak salah pilih. Siapapun yang bekerja baik atau buruk, pada akhirnya publik akan merekam kinerjanya sebagai asas transparansi. Karena bagaimanapun, produk yang dihasilkan DPR akan memengaruhi hidup rakyat itu sendiri. Rakyat yang membayar pajak untuk memakmurkan hidup anggota DPR. —Rappler.com 

Adi Mulia Pradana adalah anggota tim WikiDPR, sebuah inisiatif untuk mengajak warga Indonesia berpartisipasi aktif dalam mendorong transparansi dan komunikasi dengan wakil rakyatnya. Follow Twitter-nya di @adimuliapradana dan @wikiDPR

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!