Yang muda, yang berdiplomasi melalui seni

Fidelis E. Satriastanti

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Yang muda, yang berdiplomasi melalui seni
Indonesia harus lebih mengutamakan peran soft diplomacy untuk mengangkat namanya di panggung dunia

JAKARTA, Indonesia – Tidak pernah terpikirkan oleh Gianti Giadi untuk bisa menempatkan dirinya sebagai ‘diplomat’ melalui tariannya.

“Awalnya saya ini hanya hobi menari, tetapi ternyata saya melakukan soft diplomacy [melalui tarian],” ungkap pendiri Gigi Art of Dance, dalam sesi Seni dan Budaya, Festival Indonesian Youth Conference (IYC) 2014 di Jakarta, Sabtu (8/11) lalu.

Perempuan yang biasa disapa dengan Gigi tersebut mengatakan, seni dan budaya bisa menghasilkan kolaborasi yang unik antar negara, dan menumbuhkan komunikasi positif serta menciptakan hubungan yang lebih erat.

“[Seni dan budaya sebagai soft diplomacy] penting banget. Ini cara yang paling mudah bekerja sama dengan negara lain karena sense of interest kita kan sama sehingga kolaborasi jadi lebih accessible,” jelas Gigi.

Dengan modal komitmen dan kerja keras di bidang tari, Gigi berhasil membawa grup tarinya ke berbagai benua, mulai dari Eropa dan Amerika. Ia mengaku bukan penari tradisional. Apa yang dilakukannya adalah menggabungkan tari tradisional dengan seni kontemporer. Hasilnya, ia pernah membawakan Tari Saman dengan gaya flash mob di Times Square Garden, New York, Amerika Serikat.

Meski sering bertukar ide dengan bangsa lainnya, Gigi tidak pernah merasa khawatir akan penjiplakan karya. “Tidak ada ketakutan seperti itu karena ini kan karya yang evolve dan grow, tidak perlu merasa tersaingi,” jelasnya.

Menjadi otentik dan diri sendiri juga dikemukakan oleh musisi Viza Mahasa.

“Indonesia itu negara adidaya dalam bidang seni dan budaya. Kita bisa sejajar dengan bangsa lain. Caranya? Mulailah appreciate [budaya bangsa]. Mulailah merasa saya ini orang Bali, orang Makassar meski memang bukan berasal dari sana. Itu empati yang harus dipunyai oleh generasi muda Indonesia sehingga bisa dilihat oleh bangsa lain,” tandas Viza yang baru saja membentuk band baru bernama Spank tersebut.

Ia mengatakan bahwa negara berkembang seperti Indonesia memerlukan soft power diplomacy. Hal ini dapat mengimbangi cara diplomasi pemerintah yang dinilai kaku.

“Kita [kaum muda] ini yang bisa bikin luwes  dengan soft diplomacy. Kemas seni dengan hal yang modern. Jangan paksakan yang tradisional sehingga bangsa lain bisa melihat potensi yang ada,” paparnya.

Caosa Indryani, mantan staf di Kantor Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mencontohkan soft diplomacy yang dijalankan Presiden AS Barack Obama ketika berkunjung ke Indonesia.

“Presiden Obama menyapa pertama kali dalam bahasa Indonesia. Ia mengatakan, ‘halo’ dan ‘apa kabar’. Itu salah satu bentuk diplomasi yang soft,” kata perempuan yang juga bertanggung jawab mengelola website SBY kala itu.

Meski belum segencar Korea Selatan dalam melancarkan soft diplomacy dalam bentuk televisi, kuliner hingga lagu, Caosa mengatakan bahwa Indonesia melakukan hal yang sama dengan batik. “Pada [pertemuan] APEC 2013 lalu, Indonesia menyediakan batik bagi para kepala negara dan tidak sedikit yang penasaran dengan batik tersebut,” kenangnya.

Keanekaragaman seni dan budaya juga meyakinkan Gigi bahwa Indonesia sangat menonjol dibandingkan dengan negara lainnya. “Kita punya detail kostum yang beda, gerakan juga beda, dan itu sangat kaya. Kreativitas Indonesia tidak kalah,” lanjut perempuan yang kini sudah memiliki 600 murid.

Pesannya kepada anak muda yang ingin menjadi ‘diplomat’ untuk seni dan budaya adalah agar percaya diri dan selalu tahu apa yang ingin dicapai. Setelah itu, tambahnya, mereka harus punya komitmen yang kuat dan kerja keras. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!