Dialog Menhub Jonan dengan Organda

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dialog Menhub Jonan dengan Organda
Kenaikan tarif BBM memaksa angkutan umum menaikkan ongkos. Plafon 10 persen dianggap tidak cukup. Angkutan umum juga dibelit banyak problem.

Saya masih ribet mencari pulpen di tas ketika Ignasius Jonan memasuki ruang rapat di lantai 9 Gedung Kementerian Perhubungan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Kamis (20/11) sore, Menteri Perhubungan Kabinet Kerja ini menerima dua puluhan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (Organda).  

“Kita satu jam ya,” kata Jonan, sambil melirik jam di dinding begitu duduk di kepala meja. Di kanan Jonan duduk Ketua Umum Organda Eka Sari Lorena Surbakti dan koleganya. Di hadapan mereka Plt Direktur Jendral Perhubungan Darat, Sugiharjo. Sejurus kemudian tanpa basa-basi dari mulut Jonan meluncur monolog sepanjang sekitar 25 menitan. Saya sibuk mencatat di telepon seluler.  

Jonan bercerita panjang soal sukses dia memimpin dan membenahi layanan perkeretaapian. Termasuk memasang alat pendingin udara di kereta api ekonomi. Membenahi stasiun kereta api Senen sehingga bersih dan bebas dari ulah preman dan taksi tidak terdaftar.  

“Kalau kalian datang ke sini maksudnya ingin mendapat BBM subsidi khusus, di sini bukan tempatnya. Tulis surat dan minta ke Menteri ESDM. Itu bukan tupoksi saya. Jangan minta saya tangani yang bukan tupoksi saya. Menurut saya pada akhirnya BBM bersubsidi harus dihapus. Di Cina yang negara komunis saja tidak ada BBM bersubsidi,” kata Jonan, yang sebelum duduk di kursi menteri adalah Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia selama lima tahun delapan bulan.

Memang, kata Jonan, di Tiongkok transportasi publik dikuasai badan usaha milik negara, kecuali yang komersil. Makanya, lanjut Jonan, “Saya mengusulkan restrukturisasi pengelolaan transportasi publik darat”.   

Tentu yang dimaksud adalah yang di bawah naungan Organda, artinya termasuk semua jenis angkutan bus, angkutan barang maupun angkutan manusia. Angkutan kota, taksi, dan semacamnya juga masuk di sini.  

“Untuk owner operator, coba lah dikelompokkan. Jadi ada skala ekonomi. Tidak satu satu kendaraan. Buat misalnya berdasarkan apa? Suku? Wilayah? Atau apa?” kata Jonan.  

Setelah dikelompokkan, buat badan usaha. Mau pakai koperasi? Apa saja. “Skala bisnis ini penting. Kita tidak bisa melawan zaman. Ini bukan seperti bisnis dotcom. Anak-anak muda buat sendiri, lantas dijual 100 juta dolar,” ujar Jonan.   

Tiga puluh menit pertama dalam pertemuan itu suasana agak tegang. Jonan bicara terus dengan kening berkerut.  Beberapa kali menggunakan kalimat, “Harus bisa. Mengapa nggak bisa? Saya ngurus kereta api bisa, kok”. 

Setelah meminta restrukturisasi pengelolaan perusahaan, Jonan membahas soal pelayanan. Lagi-lagi Jonan bercerita kisah sukses mengurusi kereta api. Kelas ekonomi pakai AC. Yang membedakan antara kelas ekonomi dengan non-ekonomi hanya jumlah kursi dalam satu gerbong. Lainnya sama. Termasuk televisi dan colokan listrik sehingga bisa men-charge telepon seluler sepanjang waktu. Maklum ini zaman semua ingin terkoneksi setiap saat. Jonan ingin pola ini diterapkan di bis angkutan antar kota, dan antar desa dan kabupetan.   

Jonan tentu saja tidak menyinggung soal keluhan dari pengguna commuter line yang harus menunggu datangnya kereta api yang acapkali terlambat, membuat ratusan bahkan ribuan penumpang menumpuk di stasiun kereta api.  Ketika masuk ke dalam, berdesakan, sehingga banyak yang merasa sesak nafas. Ini keluhan yang bisa kita pantau dari percakapan di media sosial.

Soal stasiun kereta api yang lebih rapi dan kinclong dan e-ticketing memang terjadi di era kepemimpinan Jonan.

Pengurus Organda mengatakan, selama ini sudah berlaku. “Di bus kita malah ada smoking area. Kalau karaoke dari dulu. Wi-fi pun ada,” celetuk seorang pengurus yang ada duduk di hadapan saya.

Gerbong khusus perempuan di commuter line adalah salah satu kebijakan yang dihasilkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan selama menjabat sebagai Direktur Utama PT KAI Indonesia. Gerbong ini diluncurkan pada 19 Agustus 2010. Foto oleh Adi Weda/EPA

Mengaku liberal

“Saya ini orangnya liberal. Nggak usah ngajari saya soal layanan kalau nggak pernah ngurus kereta api,” kata Jonan.  

Dia menceritakan bahwa sebenarnya masyarakat lebih memerlukan layanan diperbaiki. Juga unsur keselamatan.  Jonan berkisah soal Kereta Api Kertajaya, kereta api ekonomi PSO (public service obligation), yang melayani jalur stasiun Gubeng Surabaya dan stasiun Senen Jakarta.   

Dulu tiketnya Rp 50.000an. Setelah layanan ditingkatkan, ada pendingin udara meskipun tetap kelas ekonomi, tiket naik dua kali lipat dan selalu terjual habis. “Coba saja kalau akhir pekan, gampang nggak dapat tiket Kertajaya?  Artinya orang mau membayar lebih untuk pelayanan yang lebih baik,” ujar Jonan.  

Sebelum berkiprah di PT KAI, Jonan menjabat direktur utama perusahaan pembiayaan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. Dia pernah juga bekerja di Citibank sebagai direktur.  

“Saya ini nggak pernah minta-minta duit ke pemerintah. Termasuk soal modal. Termasuk soal PSO. Harus usaha sendiri. Subsidi saya juga nggak mau. Dulu waktu ada rapat subsidi BBM, zaman menteri keuangan Pak Agus Martowardojo, saya bilang nggak setuju subsidi. Saya beli KRL 600 unit nggak minta uang ke pemerintah,” lanjut Jonan. Meski lahir di Singapura, 51 tahun lalu, Jonan bicara dengan logat Jawa Timuran.

Sudah 25 menit pertemuan. Jonan masih terus menyampaikan pikiran-pikirannya tanpa bisa disela. Saya teringat menjadi moderator sesi transportasi di acara seminar Forum Pemred di Bali, tahun 2013. Waktu diskusi hanya 1 jam, ada 4 pembicara termasuk Jonan dan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar.  Baik PT KAI dan PT Garuda Indonesia sponsor acara. Jadi mereka merasa perlu dan boleh presentasi lengkap. 

Jonan menyiapkan presentasi panjang. Ketika saya katakan waktunya cuma 10 menit, Jonan protes. “Saya minta tambahan waktu, Mbak. Banyak yang harus saya sampaikan.” Well, saya tambah lima menit.  

Pembicara lain juga minta tambahan waktu. Termasuk Wakil Menteri Perhubungan dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin).  Walhasil, tanya jawab dilakukan saat deretan pembicara sesi berikut sudah masuk ruangan.  Termasuk Menteri Perindustrian. Untungnya saat itu Menteri MS Hidayat orangnya santai dan sabar menunggu.

Kembali ke rapat Organda dengan Menhub Jonan. “Kalau mau minta fasilitas potongan suku bunga ke saya, komentar saya so old-fashioned. Itu when I was a boy. You have to compete according to the market,” ujar Jonan.  

Pengurus Organda masih diam. Belum kebagian bicara. Memperkenalkan diri saja belum. Jonan dan Eka Sari saling kenal. Anak-anak mereka bersekolah di sekolah yang sama. 

Saya sempat ngobrol dengan pengurus Organda saat di ruang tunggu. Maksud pertemuan adalah membicarakan pengumuman imbauan kenaikan tarif 10 persen pasca pengumuman kenaikan BBM oleh Presiden Jokowi. Juga surat mereka. Ada banyak masalah di lapangan.

Organda se-Indonesia sempat merencanakan mogok nasional sehari sesudah pengumuman, atas permintaan anggota.  Alasannya, selama ini tarif yang mereka kenakan ke penumpang sudah maksimal di ambang atas yang diizinkan peraturan. Beberapa kepala daerah merespons dengan mengundang Organda daerah berunding soal kenaikan tarif.  

Jonan bercerita panjang soal sukses dia memimpin dan membenahi layanan perkeretaapian. Termasuk memasang alat pendingin udara di kereta api ekonomi. Membenahi stasiun kereta api Senen sehingga bersih dan bebas dari ulah preman dan taksi tidak terdaftar.

Di Bandung, misalnya, Walikota Ridwan Kamil berdialog dengan pengelola angkutan kota dan menyepakati kenaikan tarif Rp 1.000. 

“Jika ada angkot yang menaikkan tarif lebih dari Rp 1.000, silakan kontak @dishub_kotabdg. Lengkapi dengan foto plat nomor angkotnya untuk kita tilang,” kicau akun Twittern @ridwankamil (18/11).

Rencana mogok di provinsi DKI Jakarta pada Rabu (19/11) batal. “Kami menghormati Gubernur Ahok yang dilantik pada hari itu,” kata Eka Lorena Sari yang susah payah membujuk anggotanya agar mendahulukan dialog dengan pemerintah soal tarif.  

Surat Organda ke Menhub

Sebelum pengumuman kenaikan harga BBM, DPP Organda telah mengirimkan surat ke Menteri Perhubungan. Surat perihal Evaluasi Kondisi Transportasi Darat dan Permohonan Insentif  Untuk Angkutan Umum dikirimkan tanggal 11 November 2014, ditandatangani Eka Sari Lorena Soerbakti sebagai ketua umum dan Adriansyah YP sebagai sekretaris jendral.  

Tembusan surat disampaikan ke Menteri Koordinator Kemaritiman, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Dalam Negeri, dan direktur jendral di lingkungan Kemenhub. Surat ini dikirimkan menindaklanjuti pertemuan DPP Organda beserta operator transportasi publik dengan Menteri Perhubungan dan Menteri Perdagangan tanggal 3 November 2014.

Saya akan menuliskan secara lengkap surat itu, sebagai sebuah dokumentasi publik. Jadi, kita bisa menilai apakah problem yang dihadapi Organda dan operator transportasi publik ini nyata adanya. Kalau mereka melebih-lebihkan, sebagai konsumen kita bisa ikut mengawasi, sebagaimana kita mengawasi regulator seperti Jonan dkk.

a. Kondisi kepadatan jalan dan kemacetan lalu lintas yang makin parah telah menambah waktu tempuh serta mengurangi produktivitas kendaraan/aset.

b. Terdapat gangguan keamanan berupa pelemparan pada kendaraan dalam perjalanan, khususnya di sepanjang jalur lintas Sumatera yang banyak mengakibatkan cidera penumpang dan pengemudi.

c. Pertumbuhan kendaraan pribadi sebesar rata-rata 10% untuk roda 4 (empat) dan 18% untuk roda 2 (dua) per tahun serta berkembangnya angkutan umum ilegal termasuk diantaranya taksi gelap di bandara, serta angkutan plat hitam telah menimbulkan persaingan tidak sehat serta mengurangi load factor angkutan umum berizin resmi/legal. Rata-rata load factor saat ini hanya berkisar 45-50%.

d. Tingginya suku bunga investasi untuk pembelian kendaraan angkutan umum yaitu berkisar 16-18% di atas suku bunga kendaraan pribadi yang hanya 8-10% (efektif) disebabkan karena kendaraan angkutan umum dinilai memiliki risiko lebih tinggi akibat kilometer operasinya jauh melebihi kendaraan pribadi. Di samping itu tidak ada jaminan keterisian (load factor) penumpang yang memadai.

e. Harga kendaraan dan komponen suku cadang terus mengalami kenaikan mengikuti laju inflasi dan nilai tukar rupiah serta adanya penerapan pajak berganda.

f. Tumpang tindih regulasi antara tingkat Pusat dengan Daerah, maupun antar Daerah yang mengakibatkan multitafsir pada operator angkutan umum misalnya pada Perda soal over-loading, izin usaha angkutan, izin bongkar muat, uji tipe kendaraan, dan lain-lain.

g. Terjadinya penurunan jumkah perusahaan/armada angkutan umum yang melayani angkutan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP), Angkutan Perkotaan dan Angkutan Pedesaan, karena beralihnya masyarakat menggunakan moda angkutan lain maupun kendaraan pribadi disebabkan rendahnya kualitas angkutan umum (kendaraan berusia tua) serta menurunnya aspek keselamatan.

h. Rencana kebijakan penghapusan subsidi BBM akan berdampak yang signifikan terhadap transportasi/angkutan umum disebabkan karena BBM memberikan konstribusi terbesar dalam biaya operasional kendaraan yaitu 35%-38%.  Dengan demikian kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan tarif yang relatif tinggi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, mempertimbangkan aspek kesinambungan usaha dan pelayanan angkutan umum agar dapat tetap mengedepankan aspek keselamatan dan ketersediaan, maka DPP Organda mengajukan permohonan sebagai berikut:

a. BBM bersubsidi tetap diberikan kepada kendaraan angkutan umum melalui penunjukan SPBU tertentu di wilayah yang dilintasi oleh pelayanan angkutan umum dengan mekanisme pembatasan konsumsi sesuai kebutuhan berdasarkan jenis pelayanan serta pembatasan sistem pengawasan dengan menggunakan RFID (dalam proses pemasangan oleh PT INTI dan Pertamina) serta pengawasan yang melibatkan unsur terkait (Pemda, Pertamina, Kepolisian dan Organda).

b. Penghapusan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Baru (BBN-KB) dan bea masuk kendaraan untuk kendaraan angkutan umum, melalui revisi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2012 Tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

c. Pembebasan tarif jalan tol bagi kendaraan angkutan umum sebagaimana telah diberlakukan di negara lain.

d. Pemberian insentif bunga bank untuk peremajaan kendaraan angkutan umum dalam rangka percepatan revitalisasi angkutan umum melalui mekanisme yang sama dengan pemberian insentif Kredit Perumahan Rakyat (KPR).

e. Penghapusan Bea Masuk suku cadang kendaraan yang diimpor khusus untuk kendaraan angkutan umum.

Organda berharap usulan ini diterima agar dapat memenuhi standar pelayanan minimal sebagaimana Peraturan Menhub No 98 Tahun 2013 dan Nomor 46 Tahun 2014.

Mahasiswa memprotes kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi di depan Istana Negara, pada 18 November 2014. Foto oleh Bagus Indahono/EPA

Kalau melihat tanggapan Menhub Jonan dalam diskusi kemarin, poin pertama soal BBM bersubsidi langsung ditolak.  “Susah menerapkannya,” ujar Jonan.   

Soal pajak dan bea masuk, Jonan berjanji membicarakannya dengan Menteri Keuangan. Begitu pula dengan Kemendagri dan para kepala daerah.  

Yang menjadi domain Kemenhub adalah AKAP. Sementara AKDP ada di wilayah kepala daerah. Penafsiran yang berbeda di tingkat daerah maupun konsumen memicu masalah.  

Tengok saja dampak dari Surat Menteri Perhubungan ke Gubernur dan Bupati/Walikota, soal Penyesuaian Tarif Angkutan Umum dan Antisipasi Dampak Pengalihan Subsidi BBM, tertanggal 18 November 2014, sehari setelah pengumuman kenaikan harga BBM yang dilakukan Presiden Jokowi.

Untuk tarif angkutan umum, disebutkan bahwa besarnya kenaikan tarif kelas ekonomi untuk angkutan antar kota dalam provinsi tidak melebihi 10 persen dari tarif yang berlaku sebelumnya. Untuk angkutan perkotaan dan angkutan pedesaan kenaikan tarif disesuaikan dengan kondisi dan daya beli masyarakat setempat.

Yang terjadi di lapangan, pemerintah daerah dan konsumen hanya memperhatikan angka 10 persen, yang hanya diberlakukan untuk AKAP kelas ekonomi. Yang non-ekonomi sebenarnya bisa lebih besar. “Itu pun kami tidak ingin menaikkan tarif, karena problem load factor,” kata Eka. Gara-gara penerapan tarif baru yang dianggap bertentangan dengan surat Menhub, sudah ada pengelola angkutan umum yang diadukan ke Yayasan Lembaga Konsumen di daerah. 

Dalam surat pemberitahuan Organda melakukan stop operasi, yang dikirimkan ke Komisi V DPR RI, Organda menyebutkan pihaknya keberatan dengan penetapan angka kenaikan maksimal 10 persen itu. “Berdasarkan perhitungan Organda dengan adanya kenaikan sebesar Rp 2.000/liter yaitu sebesar 25 persen kenaikan BBM premium dan 36 persen kenaikan Bahan Bakar Solar, maka dampak langsung kenaikan BBM ini adalah kenaikan tarif kendaraan umum sebesar 29 persen. Bukan 10 persen.

“Organda sejak lama mengajukan skema insentif fiskal. Sejak tahun 2006. Tidak pernah digubris pemerintah.  Padahal pengguna angkutan umum dan barang di Indonesia hanya menikmati kurang dari 7 persen BBM bersubsidi di Indonesia,” kata Eka. Eka mengelola grup angkutan umum Lorena, yang didirikan ayahnya.

Terungkap pula bahwa pihak Ditjen Perhubungan Darat melakukan perhitungan, yang hasilnya tarif angkutan umum harusnya naik 27 persen pasca kenaikan BBM. Masalahnya, kalau angka 27 persen itu diumumkan ke publik sebagai sebuah keputusan resmi, bayangkan rentetan dampak inflasinya. Padahal aturan tarif hanya untuk angkutan kelas ekonomi. Dalam kasus bis antar kota, beda antara ekonomi dengan non-ekonomi sudah tipis. Cuma jumlah kursi yang beda 1 unit dan jarak tempuh, serta jumlah titik berhenti.

Di tengah kesempatan tanya jawab, Jonan sempat pamit sebentar untuk menerima  telpon. “Dari RI 1, yang menggaji saya,” ujarnya. Kali ini dia sambil tersenyum. 

Kembali ke ruangan dia cerita intermezzo. Sebelum pengumuman kenaikan BBM, 14 menteri dipanggil ke Istana Presiden untuk rapat. Makanan disajikan di atas piring yang lumayan keren. Di atasnya, nasi kotak. Masih diikat karet. Dari sebuah restoran Padang. Semua menteri saling lirik melihat penyajian yang begitu apa adanya, lengkap dengan karet. Lalu, Presiden Jokowi membuka kotak, melihat isinya, dan komentar, “Wah, makanannya enak.”  

Kontak semua menteri membuka nasi kotaknya dan makan. “Kalau presiden bilang enak, ya berarti enak,” ujar Jonan.

Sesudah telpon dari Istana, Jonan nampak lebih rileks. Dia mendengarkan beberapa tanggapan. Banyak yang harus dia perhatikan, lakukan perubahan peraturan, penegakan peraturan. Banyak yang harus dipelajari juga oleh Menhub baru. Kementeriannya bukan sekedar mengurus transportasi kereta api. Juga mengurusi angkutan laut dan udara, serta transportasi darat. Lagipula kereta api adalah bisnis yang sifatnya monopoli, dikelola BUMN. Transportasi darat ada ribuan pelaku dengan skala yang berbeda-beda. Kerumitannya berbeda, problemnya berbeda.

“Pak Menhub, asal tahu saja. Di Pelabuhan Belawan, hampir setiap hari ada kontainer hilang. Kadang kontainer yang menghilang itu ada lagi. Tapi isinya dibongkar. Misalnya isinya minyak goreng. Nilainya Rp 1 miliar. Kami mengeluh ke aparat, tidak digubris,” kata seorang pengurus. Kasus yang sama terjadi di pelabuhan lain.

Jonan terdiam. Kaget. “Kok kontainer segede itu bisa hilang?” —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!